Dirty Vote, Bukti Rapuhnya Sistem Demokrasi


Oleh Retnaning Putri, S.S., Aktivis Muslimah


#Depok - Dirty Vote merupakan judul sebuah film dokumenter yang disutradarai Dhandy Laksono santer dibicarakan publik. Pasalnya, film berdurasi 1 jam 57 menit ini ditayangkan pada saat masa tenang pemilu. Film tersebut menampilkan tiga pakar hukum tata negara, yaitu Bivitri Susanti, Feri Amsari, dan Zainal Arifin Mochtar yang mengungkap data-data terkait potensi kecurangan dalam proses pemilihan presiden tahun 2024. Sejumlah data-data yang dipaparkan dalam film tersebut tidak hanya data dugaan saja, melainkan data-data riil yang mereka kumpulkan.

Kecurangan dalam proses pemilihan presiden 2024 dalam film tersebut diungkap beberapa hal, yakni: Pertama, rencana pemilu satu putaran. Mengapa harus satu putaran? Zainal mengungkapkan bahwa wacana pemilu 1 putaran terus bergulir karena jika pemilu berlangsung 2 putaran, hal itu tidak akan menguntungkan kubu 02 karena berpotensi kalah. Dia juga menambahkan fakta terkait Pemilu DKI yang terjadi dua kali putaran. 

Kedua, strategi memenangkan satu putaran dengan menyiapkan desain kecurangan yang tersistematis dan terstruktur. Zainal Arifin Mochtar memaparkan, untuk menuju kemenangan satu putaran itu bukan sesuatu yang mudah, tidak sesimpel 50% plus 1 suara lantas kemudian bisa menang dalam satu putaran. Ada persyaratan lain yang harus dipenuhi, dalam pasal 416 ayat (1) dipaparkan: "Pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia."

Desain kecurangan yang tersistematis dan terstruktur tersebut, diungkap dalam data-data yang dipaparkan di film Dirty Vote, yaitu menempatkan kepala daerah/gubernur/bupati dipilih secara sepihak dan diarahkan untuk mendukung salah satu paslon, wewenang dan potensi kecurangan kepala desa, anggaran dan politisasi bansos, penggunaan fasilitas publik, hingga bagaimana pelanggaran etik di lembaga-lembaga negara. 

Ada pernyataan penutup dari film ini yang menarik dan disampaikan oleh Bivitri, "Tapi sebenarnya ini bukan rencana atau desain yang hebat-hebat amat. Skenario seperti ini dilakukan oleh rezim-rezim sebelumnya di banyak negara dan sepanjang sejarah. Karena itu untuk menyusun dan menjalankan skenario kotor seperti ini tak perlu kepintaran atau kecerdasan, yang diperlukan cuma 2, mental culas dan tahan malu.”

Gambaran film ini memperjelas rapuhnya demokrasi.  Hasrat kekuasaan sudah tak terkendali setiap lima tahun sekali. Kemenangan dalam pesta demokrasi ditentukan oleh pihak yang berhasil memperoleh suara terbanyak. Maka wajar jika setiap paslon menjadikan pemilu sebagai ajang untuk memperebutkan suara rakyat. Semua paslon berupaya untuk melakukan pendekatan kepada rakyat dengan blusukan, adu visi misi sekaligus program kerja, hingga membuat acara-acara yang bisa menjawab permasalahan dan keresahan rakyat. Sayangnya, ketika upaya yang dilakukan tidak sesuai dengan harapan salah satu paslon, maka mereka mengambil langkah strategis yaitu melakukan kecurangan.

Data-data yang ditunjukkan dalam Film Dirty Vote, seperti kepingan-kepingan puzzle yang disatukan untuk mengonfirmasi betapa rapuhnya sistem hukum di negara demokrasi, bisa diubah sesuai kepentingan. Bahkan pejabatnya pun jauh dari kata amanah dan adil. Di sisi lain, rakyatnya pun mudah dirayu dengan janji manis kampanye sekaligus uang saku. Sudah awam diketahui bahwa hukum, pejabat, dan rakyat hanya dijadikan sebagai alat untuk memuluskan kepentingan penguasa dan pengusaha yang memegang kendali kekuasaan negara. 

Oleh karena itu, perilaku kecurangan yang dilakukan individu hingga negara dalam sistem sekuler tersebut menjadi halal untuk mendapatkan kemenangan berkuasa. Tentu praktik kecurangan ini tak akan disangkutkan dengan dosa apalagi meletakkan rasa takut pada yang Maha Kuasa, tersebab sekuler telah memisahkan agama dari kehidupan, juga memisahkan agama dari negara. Lantas, masihkah rakyat meletakkan kepercayaan pada rezim yang bermental culas seperti ini? Apa jadinya kehidupan rakyat kedepan jika sistem demokrasi sekulerisme masih tetap dipertahankan?

Sejatinya, harus ada sosok pemimpin yang amanah dalam seluruh aspek kehidupan yang sangat diharapkan mampu membawa perubahan hakiki, yaitu kembali pada aturan Sang Pencipta. Karenanya sekadar pergantian pemimpin saja tanpa disertai perubahan sistem, maka hanya akan kembali mengulang kegagalan-kegagalan masa lalu, janji-janji kesejahteraan dan memenuhi hak hak rakyat akan sangat sulit direalisasikan dalam sistem sekuler kapitalis. Tujuan di balik kursi kepimimpinan yang katanya ingin mengutamakan rakyat menjadi ternodai oleh egoisme pribadi dan golongan. Saling sikut dan saling fitnah bahkan menghalalkan segala upaya demi meraih kekuasaan.

Sudah saatnya rakyat kembali pada sistem yang terbukti baik, yaitu Islam. Sistem yang akan mampu memenuhi kebutuhan rakyat. Karena tujuan di balik kursi kepemimpinan dalam Islam, bukanlah kepentingan pribadi apalagi materi atau kekuasaan. Tapi, tujuan dalam mengemban kepemimpinan adalah dorongan ketakwaan kepada Allah SWT. Dorongan takwa inilah yang menjadikan seseorang takut untuk berlaku curang apalagi meminta-minta kekuasaan kepada rakyat. Mengemis kekuasaan pada rakyat adalah hal yang hina dalam Islam.  Sebab, kekuasaan itu hanya diberikan kepada mereka yang layak memegang amanah, jujur, bertakwa kepada Allah dan berkuasa dengan menerapkan hukum Allah semata.[]

Posting Komentar

0 Komentar