Oleh Hanin Syahidah
#Analisa - Gagal! Idiom yang muncul ketika pembahasan tentang food estate (lumbung pangan) mengemuka kembali akhir-akhir ini. Bahkan, proyek ini disebut sebagai kejahatan lingkungan.
Food estate diartikan sebagai konsep pengembangan pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan di suatu kawasan (ekonomi.bisnis.com, 22/1/2024).
Saat ini, proyek food estate digarap di sejumlah provinsi, yaitu Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Papua Selatan (kompas.id, 24/1/2024).
Penanggung jawab proyek ini merupakan kolaborasi beberapa Kementrian. Namun, Kementerian Pertahanan (Kemhan) menjadi leading sector untuk program food estate yang berlokasi di Kalimantan Tengah. Konon yang ditanam untuk di Kalteng ini adalah singkong dan jagung.
Sayangnya, ratusan bahkan ribuan hektar hutan sudah terlanjur dibabat untuk dijadikan ladang food estate tetapi gagal panen dan justru sebagai pemicu banjir karena hilangnya tutupan hutan.
Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas mengungkapkan, pembukaan lahan seluas 700 hektare untuk proyek food estate kebun singkong di Palangka Raya, Kalimantan Tengah memicu banjir (CNNIndonesia.com, 22/11/2021).
Tidak hanya itu, Nasional Corruption Watch (NCW) menemukan bahwa adanya kerugian negara hingga Rp6 Triliun akibat kegagalan proyek food estate (mnctrijaya.com, 22/10/2023). Padahal semua paham, Indonesia sebagai negara tropis sangat tergantung dengan keseimbangan alam. Termasuk kelestarian hutan. Fungsi hutan sangat penting karena hutan mampu mencegah terjadinya banjir melalui penyerapan air ke dalam tanah lebih optimal karena banyaknya tumbuhan-tumbuhan berakar kuat yang menyimpan cadangan air. Dengan itu bencana banjir bisa di minimalisir.
Hutan juga berfungsi sebagai pengatur tata air hidrologis. Tidak kalah penting juga hutan menyimpan keanekaragaman hayati di dalamnya yang sangat dibutuhkan manusia karena alam dan manusia adalah satu ekosistem yang satu.
Tarjadinya penggundulan hutan/pembukaan lahan secara ugal-ugalan dan sangat luas dengan dalih untuk pertanian, pemukiman, dan pembangunan lainnya menyebabkan keseimbangan alam terganggu. Seharusnya proyek-proyek yang ada tetap harus memperhatikan kondisi lingkungannya, tidak langsung babat habis hutan dan diganti sebagai lahan/ladang pertanian secara luas, dan ujung-ujungnya gagal panen dan sangat merugikan masyarakat sekitar.
Dilansir dari situs resmi walhi.or.id, 15/4/2022, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Kalimantan Tengah, Bayu Herinata menyampaikan bahwa untuk food estate untuk komoditas singkong dari luasan yang menjadi Area Of Interest (AoI) tahap pertama seluas 32.000 Ha. Hasil pantauan mereka di lapangan telah membuka kawasan hutan seluas kurang lebih 600 Ha dan telah memberikan dampak kerusakan lingkungan karena terjadi banjir yang melanda desa-desa terdekat dari lokasi yang telah dibuka.
Sedangkan untuk food estate komoditas padi, dari luasan 30.000 Ha lahan untuk intensifikasi yang dialokasikan oleh Kementerian Pertanian yaitu kembali membuka lahan-lahan gambut dan kanal-kanal yang berada di ekosistem gambut fungsi lindung. Salah satu lokasinya yaitu areal blok A Ex-PLG yang berada di kecamatan Dadahup, Kabupaten Kapuas. Lokasi yang sama juga merupakan areal prioritas restorasi gambut yang dilakukan oleh Badan Restorasi Gambut sebelumnya. Kegiatan pembukaan lahan gambut dan kanal-kanal untuk pengairan lahan pertanian dinilai kontraproduktif dengan upaya restorasi gambut dengan membangun infrastruktur pembasahan gambut berupa sekat kanal dan penanaman kembali lahan gambut.
Pemerintah harus menghentikan upaya perluasan atau ekstensifikasi lahan food estate di kawasan gambut dan kawasan hutan di Kalteng. Selain itu, pihak pemangku kebijakan seharusnya juga melakukan evaluasi terhadap kegiatan intensifikasi food estate yang telah dilakukan. Hal ini karena dampak kerusakan lingkungan dan kerugian ekonomi sosial yang lebih besar akan diterima oleh masyarakat jika program ini dipaksakan untuk terus dilaksanakan.
Sementara Direktur Eksekutif Daerah WALHI Papua, Maikel Primus Peuki menyatakan bahwa arahan lokasi untuk food estate di Papua yaitu seluas ± 2.684.680,68 hektar. Parahnya, lebih dari dua juta hektar berada di kawasan hutan. Tidak dapat dielakkan, kebijakan tersebut akan mendorong laju konversi dan deforestasi di Papua. Sebagian besar tanah Papua merupakan wilayah adat. Program food estate yang berbasis korporasi petani akan mengorbankan wilayah adat dan kearifan dalam pemanfaatannya.
Program Food Estate hanya akan mempertegas dominasi investasi, meningkatkan pelanggaran HAM, sekaligus pengabaian hak konstitusional Orang Asli Papua di atas tanahnya sendiri. Potensi deforestasi yang begitu besar sama artinya menaruh Masyarakat Adat dan Orang Asli Papua di bawah bayang ancaman bencana ekologis. Bagi Masyarakat Adat Papua hutan adalah mama yang memberi kehidupan. Mencukupi kebutuhan dan menyediakan segala yang diperlukan secara gratis.
Program food estate di Papua harus dihentikan. Pemerintah maupun Pemerintah Otonomi Khusus lebih baik menaruh fokus melahirkan kebijakan yang memastikan dipenuhinya daulat Orang Asli Papua atas wilayah adat dan hutan dan hak lainnya.
Roy Lumban Gaol dari Eksekutif Daerah WALHI Sumatera Utara menyampaikan, "Program Food Estate karpet merah bagi korporasi untuk penguasaan lahan dan sumber daya alam". Seluas 1.500 Ha lahan pembukaan saat ini nyatanya dibagi-bagi kepada korporasi. Sementara masyarakat petani hanya sebagai buruh. Dampak pembukaan lahan tersebut akan berpotensi menghilangkan terhadap keberadaan sumber mata air dan penghilangan hutan kemenyan sebagai komoditi lokal yang dikelola secara turun temurun oleh masyarakat lokal. Roy menyerukan untuk menghentikan food estate di Sumatera Utara dan mengembalikan kedaulatan pangan kepada petani bukan penguasaan korporasi.
Umbu Wulang, Direktur Eksekutif Daerah WALHI NTT menyampaikan klaim Menteri Pertanian itu menyesatkan dalam konteks: Pertama, keberpihakan pada petani miskin. Klaim 5.000 hektar yang dimaksud oleh Menteri Pertanian adalah kawasan food estate yang ada di Sumba Tengah. Tagline dari food estate di Sumba Tengah adalah untuk mengurangi kemiskinan. Dalam laporan masyarakat yang diterima WALHI NTT, kepemilikan lahan di kawasan food estate itu diduga justru didominasi para pejabat daerah dan kalangan menengah ke atas secara ekonomi.
Masyarakat petani kecil justru mendapat bagian paling sedikit. Kebanyakan dari mereka dengan later belakang ketidakberdayaan ekonomi sudah menggadaikan lahannya sebelum program food estate dicanangkan di kawasan tersebut. Kondisi ini bagi WALHI NTT justru paradoks dengan klaim keberhasilan Menteri Pertanian. "Menteri Pertanian seharusnya ketika klaim keberhasilan jangan bicarakan aspek produksi pangannya yang sebenarnya juga bermasalah di lapangan. Tapi berani tidak Menteri Pertanian buka data ke publik, berapa jumlah petani miskin yang punya lahan di kawasan tersebut. Berani juga tidak buka data, tentang tata kuasa lahan di kawasan food estate tersebut. Termasuk berapa persen kontribusi food estate pada pengurangan kemiskinan di Sumba Tengah. Sebagaimana kita ketahui angka kemiskinan di Sumba Tengah mencapai 34,27 persen dari total penduduk," ujar Umbu Wulang Tanaamah Paranggi, Direktur Eksekutif Daerah WALHI NTT.
Dalam konteks keberpihakan pada petani kecil dan marjinal, proyek food estate di Sumba Tengah gagal. Hal ini ditambah dengan masih munculnya konflik agraria antara masyarakat dan pemerintah daerah pada tahun 2021.
Kedua, daya dukung dan daya tampung lingkungan. Pemerintah berencana untuk menambah kawasan food estate menjadi 20 ribu hektar dengan mengedepankan embung dan sumur bor sebagai sumber pengairan. WALHI NTT memperingatkan bahaya kekeringan luar biasa yang akan melanda apabila pemaksaan penggunaan air tanah dilakukan terus menerus.
Demikianlah proyek food estate yang digadang-gadang menjadi lumbung pangan nasional justru sebaliknya, rakyat tidak merasakan keberhasilannya. Petani tetap miskin dan terbelakang karena keuntungannya hanya dinikmati kalangan pejabat dan pengusaha yang terlibat di dalamnya. Rkyat tetap tidak mendapat apa-apa, yang didapat rakyat hanya bencananya berupa banjir yang tak berkesudahan, dan terjadi kekeringan ketika musim kemarau melanda.
Begitulah proyek pembangunan dalam kapitalisme yang hanya menguntungkan segelintir orang yang ada dalam lingkaran kekuasaan dan pemodal, tapi selalu abai dengan kondisi lingkungan dan keseimbangannya. Hal ini sangat berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam hutan termasuk dalam kepemilikan umum yang harus terus dijaga kelestariannya.
Hasil hutan sebesar-besarnya digunakan untuk memberi pelayanan terbaik negara kepada rakyat demi untuk kesejahteraan rakyatnya. Jika toh perlu ada ekstensifikasi lahan untuk pertanian tetap harus meminta pendapat ahli agar tidak mengganggu keseimbangan dan kelestarian lingkungan. Bahkan, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menilai seluruh proyek food estate yang dijalankan Kementerian Pertahanan gagal dijalankan karena melanggar kaidah akademis yang ada.
Kaidah akademis itu ada empat, yaitu kelayakan tanah dan agroklimat, kelayakan infrastruktur, kelayakan sosial dan ekonomi, serta kelayakan teknologi. "Mengapa (food estate) gagal? Karena melanggar kaidah akademis. Seluruh food estate di Indonesia melanggar empat pilar pengembangan lahan pangan," kata Andreas dalam acara Outlook Ekonomi Sektor-sektor Strategis 2024 di Jakarta Selatan, Selasa (23/1/2024) (TribbunNews.com, 23/1/2024).
Dengan gagalnya proyek food estate yang terlanjur merusak ekosistem hutan, Maka kerugiannya kembali akan di rasakan rakyat negeri ini. Prof Fahmi Amhar (Peneliti Badan Informasi Geospatial) mencatat bahwa hasil hutan di seluruh Indonesia saat ini sudah senilai APBN satu tahun (Rp3.325,1 triliun di tahun 2024). Maka seharusnya tetap dijaga kelestariannya termasuk juga komponen sumber daya alam lain yang dimiliki agar tidak dieksploitasi secara brutal demi keuntungan sesaat segelintir orang. Misal laut, danau, bahan tambang, gas alam cair dan minyak bumi. Hal ini karena semua adalah hak rakyat yang harus dijaga dan hasilnya seharusnya untuk kesejahteraan rakyat.
Sebagai contoh kalau diteliti keuntungan Freeport per-tahun sebesar 141T dan itu ternyata semua dibawa ke Amerika. Padahal jika itu dikelola sendiri oleh Indonesia bisa mampu untuk menyekolahkan anak-anak Indonesia secara gratis dari PAUD sampai Lulus perguruan tinggi, karena angka usia sekolah di tahun 2023 yang lalu hanya membutuhkan dana sebesar 62,3 T setahun. Itu hanya dari Freeport belum dari bahan tambang yang lainnya misal batu bara, nikel dan sebagainya.
Indonesia diberi Allah kekayaan yang luar biasa. Seharusnya rakyatnya sejahtera tetapi sayangnya derita rakyat terus terjadi. Hal itu disebabkan kapitalis/pengusaha dibiarkan menguasai banyak aset-aset kepemilikan umum seperti hutan, laut, sawit, bahkan pulau dan sumber daya alam lainnya.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) bersama Auriga mencatat kepemilikan lahan tambang, hutan, dan sawit terpusat di korporasi-korporasi besar. Sinar Mas menjadi salah satu korporasi besar yang memiliki luas lahan terbesar. Grup Sinar Mas memiliki 3,07 juta hektare lahan konsesi tambang, hutan, dan sawit. Luas lahan ini bahkan dapat lebih luas jika turut menghitung kepemilkan lahan properti Sinar Mas (Databoks.katadata.co.id, 18/4/2022).
Luas kekuasaan wilayah satu korporasi raksasa Sinar Mas group setara 3 Kali lipat pulau Sulawesi, belum korporasi yang lainnya. Pantas saja rakyat terus terlunta-lunta karena semua haknya "digagahi" para raksasa korporasi/swasta. Maka, sudah saatnya umat Islam sebagai umat mayoritas negeri ini cerdas dan tidak terpaku dengan sistem kapitalisme-demokrasi hari ini. Tetapi kembali ke fitrah umat terbaik yakni dengan penerapan Islam secara Kaffah, wallahu a'lam biasshawwab.
0 Komentar