Oleh Karina Fitriani Fatimah
(Alumnus of master degree of applied computer science, Albert-Ludwigs- Universität Freiburg, Germany)
#Telaah Utama- Ada yang menarik dalam perhelatan pesta demokrasi 2024 ini. Hal yang tampak cukup mencolok adalah mayoritas pemilih yang ternyata didominasi oleh kalangan generasi milenial dan Gen Z. Berdasarkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Juli lalu, pemilih dari kalangan generasi Z alias pemilih yang lahir pada tahun 1997-2006 mencapai 46.800.161 pemilih atau 22,85%.
Jumlah fantastis dari kalangan Gen Z sebagai pemilih kemudian akhirnya membuat banyak parpol maupun paslon capres-cawapres memutar otak guna 'mendekati' mereka.
Beberapa sarana yang cukup populer digunakan parpol guna menarik hati kalangan Gen Z yakni intensnya penggunaan platform media sosial dan masuknya sejumlah selebritis kondang dalam barisan parpol baik sebagai 'penggembira' maupun calon legislatif.
Getolnya parpol merangkul kawula muda tidak lain bertujuan mendulang suara sebanyak-banyaknya guna menggemukkan probabilitas mereka untuk menduduki tampuk kekuasaan.
Sejak kampanye ketiga paslon capres-cawapres mulai digelar, kita melihat bagaimana riuhnya media sosial sebagai arena 'promosi diri' para bakal calon. Hal tersebut dilakukan dengan memanfaatkan pola pengambilan informasi Gen Z yang cenderung 'asal comot' informasi dari berbagai media sosial dan malas mengikuti rentetan perkembangan aktivitas politik secara runut dan teratur. Celakanya, pola semacam ini menjadikan Gen Z sebagai sasaran empuk penyuntikan doktrin, penyebaran hoaks, hingga pencitraan diri yang jauh dari kondisi sebenarnya di lapangan.
Pada akhirnya, banyak Gen Z yang mengenal ketiga paslon sebatas 'si Alim', 'si Gemoy', ataupun 'si Sederhana', tanpa memahami dengan baik visi misi, ataupun gagasan-gagasan para paslon.
Di sisi lain, ada pula sebagian kalangan Gen Z yang tidak begitu tertarik membahas politik. Mereka beranggapan politik itu kotor, penuh gimmick, terlalu rumit, atau bahkan dianggap tidak berkolerasi dengan kehidupan keseharian mereka. Dengan pandangan semacam ini, mereka cenderung anti bicara politik ataupun enggan mengakses informasi yang berkaitan dengannya.
Hasil survei Program Analytic Fellowship Maverick Indonesia bahkan mengungkapkan hanya 24% dari 722 responden Gen Z di wilayah Jabodetabek, Bandung, dan Yogyakarta yang mencari berita sosial-politik secara aktif.
Terpaparnya Gen Z dengan 'panasnya' pergerakan politik dalam negeri pada akhirnya mengonfirmasi bahwa generasi muda haruslah melek politik. Suka tidak suka, Gen Z sepatutnya menjadi subjek politik yang menggerakkan arah perubahan, sebagaimana peran pemuda dalam setiap peradaban. Namun sayang, yang terjadi saat ini para pemuda justru banyak yang terjebak dalam politik praktis pragmatis, yang secara sadar ataupun tidak mereka mulai termakan janji-janji manis para (calon) tikus berdasi.
Terkungkungnya pemikiran politik generasi muda terutama Gen Z dalam politik praktis pragmatis sesungguhnya disebabkan oleh pendidikan politik berbasis demokrasi-kapitalisme yang bercokol di negeri ini.
Seluruh prosesi pembelajaran politik yang dilakukan Bawaslu di beberapa daerah dalam area sekolah dan kampus terfokus pada satu tujuan, yakni memahamkan politik dalam konsep demokrasi. Di mana implementasi politik demokrasi yang mereka suarakan adalah pentingnya keikutsertaan pemuda dalam pemilu tanpa menelaah lebih jauh kelayakan demokrasi sebagai sistem politik yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pendidikan politik demokrasi yang selama ini digencarkan di dalam negeri justru mengaburkan makna politik sebagai alat pengaturan urusan umat, bahkan hanya memberi dogma-dogma demokrasi yang menipu dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat tetapi justru melanggengkan oligarki.
Pada akhirnya, 'suara' Gen Z yang diperoleh selama pesta demokrasi hanya dijadikan sebagai karpet merah para cuan dan penguasa untuk memperpanjang usia imperialisme di negeri ini.
Tidak hanya itu, penerapan sistem sekuler- demokrasi negeri ini yang tidak mengenal halal haram, benar-benar telah menegasikan nilai-nilai dasar kehidupan kecuali nilai materi. Di mana nilai-nilai immaterial semisal nilai moral, kemanusiaan, ruhiyah, hingga akhlakiyah kian memudar bahkan mulai ditinggalkan oleh kaum generasi muda.
Mereka yang disebut-sebut sebagai pembawa tongkat estafet peradaban bangsa justru disibukkan dengan mengejar dunia dan menakar segala sesuatu dalam kehidupan dengan nilai-nilai materi semata.
Pembajakan potensi kaum intelektual dan generasi muda sejatinya terjadi di negeri ini secara masif dan terstruktur dengan semakin menguatnya kedudukan rezim kapitalis sekuler neoliberal. Berbagai kebijakan zalim yang disahkan telah menyandera pergerakan pemuda khususnya dan masyarakat pada umumnya, yang membuat mereka sibuk mencari sesuap nasi dan teralihkan dari tugasnya sebagai pembangun negeri.
Celakanya, tidak sedikit kawula muda yang terperosok dalam paradigma kejahatan berbasis intelektualitas seperti dalam praktik plagiarisme, jual-beli gelar, 'pengaturan' hasil riset, hingga perebutan proyek.
Kerusakan ini terjadi tidak lain karena penerapan sistem demokrasi yang hanya fokus mencetak generasi pekerja bukan generasi cemerlang dan berkepribadian Islam.
Miris memang. Minimnya pemahaman politik yang shahih di kalangan generasi muda dengan berdasar pada akidah buatan Sang Pencipta, kemudian membuat Gen Z terombang-ambing dalam pusaran arus demokrasi.
Sekalipun mayoritas dari mereka adalah pemuda muslim, nyatanya banyak dari mereka yang justru tidak menjadikan Islam sebagai landasan berpolitik mereka guna berjuang pada perubahan hakiki. Padahal kaum Gen Z hari ini adalah calon-calon pemimpin umat di dekade berikutnya, yang secara pasti akan memetakan kehidupan berbangsa di kemudian hari.
Oleh karenanya, sudah saatnya bagi Gen Z untuk menyadari tanggung jawab dan besarnya peran mereka dalam pembangunan peradaban umat. Di mana mereka sejatinya adalah para hamba Allah yang diwajibkan bertekuk lutut pada peraturan Sang Pencipta, bukan aturan buatan manusia seperti halnya demokrasi.
Mereka pun harus menyadari bahwa demokrasi bukanlah solusi bagi carut-marutnya permasalahan negeri. Karena sistem hidup buatan manusia pasti lemah, kurang, dan tidak akan mampu mencabut masalah hingga akarnya.
Satu-satunya jalan bagi generasi muda untuk memenuhi tugas mereka sebagai pembangun peradaban yakni dengan mengembalikan aturan-aturan Allah Swt. dalam kancah kehidupan umat tanpa kecuali. Dan ini hanya akan bisa diwujudkan dengan aktivitas amar ma’ruf nahyi munkar di antara anggota masyarakat dengan memusatkan perhatian mereka dalam mencabut sistem demokrasi dari negeri ini dan menggantinya dengan Islam.
Sejatinya, rahmat Allah hanya ada dalam Islam sebagaimana firmanNya, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” [TQS. Al-Anbiya: 107]. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
0 Komentar