Oleh Ruruh Hapsari
Dilansir dari Kompas.com bahwa terdapat perwakilan dari sedikitnya sembilan kampus di Indonesia yang ramai-ramai mengkritisi jalannya demokrasi pada pemerintahan Jokowi (4/2/2024). Terdiri dari Guru Besar dan Mahasiswa dari universitas ternama di Indonesia. Mereka menyoroti sikap Jokowi pada Pemilu 2024 bahwa seharusnya pesta demokrasi digelar secara demokratis dan presiden tidak ikut campur dalam perhelatannya.
Pada Petisi Bulaksumur di UGM 31 Januari 2024 lalu, para Guru Besar, Dosen, dan Mahasiswa merasa prihatin terhadap penyimpangan prinsip-prinsip moral, demokrasi, kerakyatan serta keadilan sosial. Tidak ketinggalan mereka juga menyinggung adanya pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi, kenetralan ASN, serta penyalahgunaan kekuasaan dan pemanfaatan sumber daya negara untuk kepentingan politik praktis.
Berlangsung Lama
Sesungguhnya bila dilihat selama sepuluh tahun terakhir masa jabatan Jokowi, bukan hanya kali ini saja landasan demokrasi yang dipercaya sebagai asas pokok negeri ini tidak digunakan oleh presiden.
Diberitakan oleh Tempo.co tiga tahun yang lalu, Dosen University of Sydney, Thomas Power saat meneropong lima tahun kepemimpinan Jokowi menemukan bahwa demokrasi di Indonesia menurun era Jokowi. Indikatornya adalah pemilu dan oposisi resmi, lembaga penegakkan hukum dan lembaga yudisial yang independen, media yang bebas dan berkualitas serta oposisi tidak resmi dan ada kesempatan untuk berunjuk rasa (25/10/2021).
Saat itu, Thomas menyatakan bahwa Indonesia nyaris tidak memiliki partai yang mewakili rakyat karena partai dikuasai oleh kepentingan elit. Dua pasangan calon pada pemilu 2019 cenderung anti demokratik, menurutnya. Kemudian adanya serangan fisik dan kriminalisasi pada penegakkan hukum dan lembaga yudisial. narasi Taliban, revisi UU KPK hingga polemik tes wawasan kebangsaan, itu semua merupakan bentuk penghapusan independensi lembaga hukum dan lembaga yudisial, ujar Thomas.
Kemudian media yang mengkritisi pemerintah terancam dilaporkan bahkan dipolisikan. Ditambah pemerintah pun mulai membatasi dan membubarkan kegiatan oposisi seperti munculnya gerakan #2019GantiPresiden yang menurut Thomas hal itu merupakan tindakan melawan radikalisme.
Di lain pihak, Wijayanto, Direktur Pusat Media Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES) menyatakan bahwa pada setiap penghujung tahun, situasi demokrasi secara konsisten kian memburuk. (kompas.com, 29/1/2024)
Wijayanto menyatakan sejak 2019, LP3ES sudah memprediksi bahwa praktik demokrasi di negeri ini mengalami kemunduran secara serius dan cenderug mengarah pada otorianisme. Ia pun tidak menyangka bahwa kemunduran demokrasi di Indonesia terjadi dalam waktu yang cepat dan ada kemungkinan bisa memburuk.
Selain itu penurunan wajah demokrasi di Indonesia ini bisa dilihat paling tidak dari tiga lembaga yang mengukurnya. Pertama, Freedom House menempatkan Indonesia sejak 2014 berada di kategori negara yang demokrasinya bebas sebagian, padahal sebelumnya Indonesia masuk ke kategori bebas degan skor 2,5.
Kedua, The Economist Intelligence Unit (EIU) dengan versi Democracy Index menempatkan Indonesia termasuk cacat dalam demokrasi di sepanjang 13 tahun terakhir.
Lalu ketiga, Indeks Demokrasi Indonesia yang diukur oleh sejumlah lembaga dalam negeri menempatkan negeri ini pada kondisi sedang. (Kompas.id, 17/1/2024)
Landasan Sesungguhnya
Akal manusia lah yang melahirkan sistem demokrasi ini. Sejatinya manusia yang serba terbatas, maka buatannya pun demikian. Manusia memang diciptakan bukan dalam keadaan serba bisa, hal ini untuk menyadari bahwa dibalik semuanya ada Pencipta yang menciptakannya, alam semesta dan segala isinya.
Walaupun manusia serba terbatas, namun ia diberikan kemampuan untuk mengatur sesamanya dan hanya mengatur bukan menciptakan aturan. Sedangkan aturan yang digunakan adalah ciptaan Allah ta’ala, Sang Maha Pencipta. Di sinilah letak kelemahan manusia, ia bukan pembuat aturan, karena ia tidak tahu segalanya, ia akan selalu berpihak dan cendrung pada sesuatu.
Begitu juga demokrasi, aturan buatan manusia yang selalu berpihak pada yang membayar dan cenderung pada kelompoknya. Sehingga dari awal kelahirannya, aturan ini tidak bisa digunakan untuk mengatur manusia apalagi menjadi asas sebuah negara.
Tinjauan saja selama 79 tahun ini, apakah Indonesia pernah satu kali saja betul-betul sejahtera di tangan demokrasi? Sehingga adanya kenyataan saat ini yang jauh dari kata sejahtera, sangat bisa diprediksi dari awal kelahiran demokrasi itu sendiri, pun di seluruh negeri.
Sehingga manusia harus melihat bahwa ada sistem alternalif yang mengatur manusia yang melahirkan kesejahteraan, keadilan juga pemerataan. Sistem itu tidak lain adalah sistem aturan dari Sang Maha Kuasa yang Maha Adil (Allah). Manusia hanya mengambil dan menerapkannya saja.
Dengan menggunakan demokrasi, keadilan, pemerataan, dan kesejahteraan tidak pernah dijamin walaupun individu di dalamnya manusia yang sholih. Karena tidak cukup ada hubungannya apakah yang menerapkan aturan adalah orang sholih ataupun tidak, yang menjadi masalah adalah sistem aturannya mendatangkan kesejahteraan ataukah tidak.
Oleh karenanya selain orang yang duduk di dalamnya adalah orang sholih, aturan yang diterapkan negara pun harus sesuai dengan Sang Pembuat Hukum (Allah). Maka bisa disimpulkan bahwa dengan selalu mengandalkan demokrasi untuk mencapai kedaulatan, kesejahteraan, persamaan, dan keadilan, semuanya tidak akan pernah tercapai. Wallahu’alam.
0 Komentar