Oleh Faiza Salsabila, Mahasiswi FKM Universitas Indonesia
Momentum diskursus mengenai kepemimpinan dan kekuasaan di Indonesia akhir-akhir ini menyita perhatian banyak pihak, pasalnya akan ada pemilihan eksekutif dan legislatif pada 14 Februari 2024 mendatang. ‘Pesta’ demokrasi yang terjadwal setiap 5 tahun sekali ini bagaikan memberikan harapan kepada rakyat bahwa suara mereka sangat berarti dalam menentukan masa depan negara setidaknya dalam jangka waktu 5 tahun ke depan. Tak sedikit yang menginginkan kepemimpinan dan kekuasaan yang baik sehingga akan berdampak pada baiknya kondisi masyarakat.
Kepemimpinan dan kekuasaan tentunya tidak dapat dipisahkan dari 2 faktor, yakni kualitas personal pemimpin dan kualitas sistem yang diterapkan. Kualitas sistem lebih berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan masyarakat. Kualitas sistem yang buruk dapat memaksa personel pemimpin yang baik menjadi buruk, begitu pula sebaliknya.
Lebih dari itu, kualitas ideologi yang dianut memengaruhi kualitas sistem yang diterapkan. Buku The Oxford handbook of Political Ideologies yang terbit pada 2015, yang disunting oleh beberapa ilmuwan politik seperti Michael Freeden, Lyman Tower Sargent dan Marc Stears mengangkat tentang bagaimana peran ideologi politik suatu negara yang berpengaruh pada nasib kehidupan masyarakat dunia. Menurut mereka, berbagai konflik besar antar negara sebenarnya lebih terkait persoalan ideologi daripada personal pemimpin negara-negara tersebut.
Kekuasaan dalam Kapitalisme: Korporatokrasi dan Neo-imperialisme
Saat ini, ideologi yang banyak diemban oleh berbagai negara di dunia termasuk Indonesia adalah kapitalisme. Peradaban Barat yang digadang-gadang sebagai basis ideologi kapitalisme diprediksi akan segera runtuh karena ketidakmampuannya menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan manusia, justru menghasilkan berbagai kerusakan dan kesengsaraan dalam berbagai aspek seperti ekonomi, sosial, budaya, moral, politik, kekuasaan dan sebagainya.
Pertentangan ideologi kapitalisme dengan fitrah dan akal manusia menjadi penyebab utama ideologi ini menggali kuburannya sendiri. Ideologi ini memuja manusia sebagai pusat segalanya. Maka, sebaik apa pun kualitas personal pemimpin suatu negara, jika sistem yang dipakai masih menggunakan sistem kapitalisme, pada akhirnya ia akan terseret juga pada berbagai kerusakan.
Buku Confession of an Economic Hit Man yang ditulis oleh John Perkins (2005), menyebutkan istilah corporatocracy, yakni istilah yang mewakili pemerintahan dengan kewenangan dan kebijakannya didominasi oleh korporasi atau perusahaan-perusahaan besar. Hal ini berdampak pada lahirnya berbagai kebijakan negara dan undang-undang yang dijadikan instrumen untuk melayani kepentingan korporasi tersebut ketimbang melayani kepentingan rakyat. Indonesia sebagai negeri gemah ripah loh jinawi pun tidak terlepas dari jerat korporatokrasi ini.
Edward Aspinall dan Ward Berenschot (2019) sebagai pakar politik bahkan menyoroti secara khusus dalam kajian yang berjudul “Democracy for Sale: Election Clientilism, and the State of Indonesia”. Menurut mereka, terdapat jejaring informal politik yang memiliki akses khusus pada kekuasaan di Indonesia. Bahkan hampir seluruh institusi formal pada setiap tingkatan di Indonesia telah membentuk koneksi personal untuk kepentingan transaksi kekuasaan.
Sedangkan klientilisme, seperti dilansir dari laman aclc.kpk.go.id, diartikan sebagai salah satu bentuk korupsi politik yang berlangsung dalam hubungan relasi kekuasaan politik dengan corak patron-client (bentuk relasi yang saling menguntungkan kedua belah pihak). Hubungan tersebut biasanya terjadi ketika elite politik yang memiliki otoritas kekuasaan atau posisi politik mengeksploitasi simpatisan atau warga dengan janji-janji demi “dipertukarkan” dengan dukungan dan loyalitas politik.
Sejatinya, politik demokrasi yang lahir dari ideologi kapitalisme menjadi alat penjajahan baru (neo-imperialisme) untuk menguasai negeri-negeri Muslim. Sebagaimana yang disebut oleh Blum (2013) dalam bukunya America’s Deadliest Export Democracy bahwa Amerika Serikat bersama sekutunya menggunakan demokrasi sebagai alat untuk mendominasi seluruh dunia termasuk dunia Islam. Maka tak heran jika kaum yang menyandang gelar sebagai umat terbaik kini menghadapi dampak dari neo-imperialisme sehingga menjadi terjajah, lemah, tereksploitasi dan terbelakang.
Pembagian lembaga dalam sistem demokrasi menjadi tiga; eksekutif, legislatif, dan yudikatif, tidak bermakna apa pun, selain berujung pada kekuasaan tunggal, yakni kekuasaan pemilik modal. Mengutip perkataan seorang aktivis Muslimah, Retno Sukmaningrum, “Plato, peletak dasar demokrasi, telah meramal akan lahirnya kekuasaan tiran tersebut. Demokrasi yang menjadikan kedaulatan di tangan rakyat, memberikan kesempatan masyarakat untuk memerintah diri mereka sendiri [dan] pada akhirnya akan membawa rakyat mendukung kekuasaan yang dikendalikan oleh para tiran”
Kekuasaan dalam Islam: Sulthan(an) Nashir(an) untuk Melayani Islam dan Rakyat
Tidak bisa dinafikan bahwa kekuasaan merupakan elemen penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Islam pun tidak bisa tegak dengan sempurna tanpa kekuasaan. Namun, kekuasaan yang dituntut untuk ditegakkan dalam Islam bukan sembarang kekuasaan, melainkan kekuasaaan yang menolong (Sulthan(an) nashir(an)).
Kekuasaan bak belati bermata dua yang dapat memotong ke dua arah dan memiliki makna suatu keuntungan (kesempatan) yang disertai dengan bahaya/ancaman (harga yang harus dibayar). Menurut Ustaz M. Taufik NT, kekuasaan bisa menolong pemegangnya untuk berbuat kebaikan, begitu pula sebaliknya, kekuasaan juga dapat mencelakakan pemegangnya untuk melakukan berbagai kerusakan secara massif dan efektif. Sebut saja Fir’aun, kekuasaannya yang besar justru membuat dia jemawa hingga menuhankan dirinya sendiri dan merusak urusan rakyat.
Rasulullah SAW bersabda, “Al-imaam alladzii “alaa an-naasi raa’in wa huwa mas’ulun ‘an ra’iyyatih (pemimpin yang memimpin rakyat adalah pengatur urusan mereka dan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia pimpin)” (HR al-Bukhari).
KH. Rohkhmat S. Labib ketika menjelaskan kata ‘ar-riayah’, ia menyampaikan bahwa makna asalnya adalah hifzh asy-syay’i, menjaga dan memelihara sesuatu, itulah tugas pemimpin terhadap rakyatnya. Menjaga dan memelihara akidah, darah, kehormatan, kekayaan, kehidupan mereka, dan lainnya. Oleh karena itu, Islam dengan keras mengecam pemimpin yang tidak menjalankan tugas tersebut. Rasulullah SAW sampai mendoakan keburukan bagi pemimpin yang memberatkan rakyat yang dia urus. Sebaliknya, Islam juga memberikan penghargaan yang tinggi kepada pemimpin yang adil dengan menjadikannya satu dari 7 golongan yang mendapatkan naungan Allah SWT pada Hari Kiamat.
Dalam Islam, politik bukan menitikberatkan pada perebutan kekuasaan, melainkan pada pengaturan urusan masyarakat dengan hukum-hukum Islam, baik di dalam maupun luar negeri. Politik (as-siyasâh) berakar dari kata sâsa–yasûsu–siyâsat[an], artinya ‘mengatur, memimpin, memelihara dan mengurus suatu urusan’. Politik dilaksanakan oleh negara dan rakyat. Negara secara langsung melakukan pengaturan ini dengan hukum-hukum Islam. Rakyat mengawasi, mengoreksi, dan meluruskan negara jika menyimpang dari Islam.
Gambaran tersebut diungkapkan oleh Ibnu Qutaibah (w. 276H), “Perumpamaan antara Islam, kekuasaan, dan rakyat adalah laksana tenda besar, tiang, dan tali pengikat serta pasaknya. Tenda besarnya adalah Islam. Tiangnya adalah kekuasaan. Tali pengikat dan pasaknya adalah rakyat. Satu bagian tidak akan baik tanpa bagian yang lainnya.”
Keberadaan tiang (kekuasaan/negara), dan tali serta pasak (rakyat) sebagai penopang untuk menegakkan tenda (Islam). Jika tenda (Islam) tegak, ia akan menaungi siapa saja yang berada di bawahnya, tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lainnya. Jika kepala negara membuat kebijakan yang berpotensi menguntungkan kelompok tertentu serta menyulitkan kelompok Islam yang lain, maka rakyat—terutama ulama—dituntut mengambil peran politik, yakni dengan menasihati penguasa.
Khalifah Abu Ja’far al-Manshur pernah menyampaikan keinginannya kepada Imam Malik bin Anas untuk menyeragamkan kaum Muslim dengan kitab Muwaththa’-nya. Imam Malik menolak dan menasihati khalifah agar jangan melakukan itu. Padahal, kebijakan khalifah ini berpotensi “menguntungkan” Imam Malik, tetapi akan menyulitkan mazhab lainnya.
Islam memberikan beberapa pedoman mengenai kekuasaan dan kepemimpinan, di antaranya terkait syarat-syarat pemimpin, sistem yang wajib diberlakukan dan tata cara mengangkat maupun menurunkan penguasa. Syarat-syarat pemimpin terdiri dari 7 syarat, yakni Muslim, laki-laki, balig, berakal, adil, merdeka, dan mampu melaksanakan tugas sebagai pemimpin/kepala negara.
Pada poin mampu, cukuplah kisah Abu Dzar ra. menjadi pengingat, beliau pernah menawarkan diri untuk diangkat menjadi penguasa daerah, Rasulullah ﷺ, dengan penuh kasih sayang baginda ﷺ mengingatkan, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya kamu lemah. Sedangkan jabatan itu amanah. Jabatan itu kelak pada Hari Kiamat akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang mengambilnya dengan sebenar-benarnya, serta ditunaikan dengan sebaik-baiknya” (HR Muslim).
Begitulah, Rasulullah ﷺ mengajarkan filosofi jabatan sebagai amanah, tanggung jawab, kewajiban, kehinaan, dan penuh penyesalan. Menurut Ibnu Abbas, ‘al amanah adalah amal-amal yang dipercayakan Allah SWT kepada hamba, yakni fardhu-fardhu. Dengan demikian, mengkhianati amanah adalah dengan cara tidak melaksanakan fardhu-fardhu tersebut, melepaskan diri dari hukum-hukumnya dan dari mengikuti sunnahnya serta menyia-nyiakan hal-hak orang lain.
Amat tingginya penghargaan amanah dalam Islam, bahkan hingga disejajarkan dengan kadar keimanan sesorang, sebagaimana dalam suatu hadis riwayat Ahmad, Rasulullah ﷺ: “Tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki (sifat) amanah dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati janjinya.”
Jabatan bukanlah hak, kebanggaan, dan kemuliaan, baik di dunia maupun di akhirat. Ketika filosofi ini dipegang kuat-kuat dan dilaksanakan dengan baik oleh pemegang amanah, maka ia akan selamat. Jauh sebelum menerima amanah, ia harus mengukur kemampuannya, layakkah ia? Jika ia merasa tidak layak atau ada yang lebih layak darinya, ia akan menolak, karena ia tahu, kekuasaan bukanlah kebanggaan dan kemuliaan.
Umar bin al-Khaththab pun murka saat sebagian sahabat memintanya untuk mencalonkan putranya, Abdullah bin ‘Umar, sebagai khalifah penggantinya. “Celakalah kamu! Tidak ada dari keluargaku yang ingin aku libatkan… Cukuplah dari keluarga Umar satu orang yang dimintai pertanggungjawaban terhadap urusan umat Muhammad ﷺ. Saya sudah banting tulang dan meninggalkan keluargaku, kalau selamat dengan hidup ala kadarnya, tanpa beban, dan imbalan pun rasanya sudah bahagia” (Ibn al-Atsir, al-Kamil fi at-Tarikh, II/219-220)
Pada perkara sistem yang wajib diberlakukan, Islam telah menetapkan bahwa seorang pemimpin/penguasa wajib berhukum dengan hukum Allah dalam mengatur urusan rakyatnya. Kedaulatan berada di tangan syariah. Jika terjadi perselisihan rakyat dengan penguasa maka harus tetap dikembalikan pada hukum Allah SWT untuk menyelesaikan hal tersebut sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nisa’: 49.
Selain itu, Islam juga melarang berbilangnya kepala negara. Terkait mengangkat dan menurunkan penguasa, Islam memberikan metode pengangkatan berupa baiat. Sedangkan pada persoalan person (siapa yang akan dibaiat), hal tersebut diserahkan kepada rakyat. Mereka berhak memilih siapa yang mereka kehendaki dari orang-orang yang memenuhi syarat menjadi khalifah. Seseorang yang dipilih juga tidak boleh dipaksa menjadi penguasa.
Jika seseorang tersebut menerima jabatan sebagai khalifah, ia wajib diberhentikan apabila ia murtad, gila permanen, atau ditawan musuh yang kuat sehingga tidak ada harapan untuk bisa bebas. Pada ketiga hal ini, ia akan otomatis diberhentikan dan tidak wajib menaatnya di waktu itu.
Apabila kepala negara kehilangan sifat ‘adalahnya, fasik terang-terangan, berubah menjadi wanita, ditekan pihak lain sehingga ia tidak mampu berpendapat sendiri, sering kambuh penyakit gilanya, serta tidak mampu lagi melaksanakan tugas, maka ia harus diberhentikan. Hanya saja, dalam keadaan-keadaan ini, khalifah tetap wajib ditaati sampai ada keputusan hakim yang mengikat tentang pemberhentiannya.[]
0 Komentar