Oleh Karina Fitriani Fatimah
(Alumnus of master degree of applied computer science, Albert-Ludwigs- Universität Freiburg, Germany)
#Telaah Utama- Program food estate sempat menjadi sorotan dalam debat calon wakil presiden (cawapres) untuk Pilpres 2024 di Jakarta hari Minggu (21/1). Ada calon yang menilai program tersebut harus dihentikan karena merugikan petani dan memicu konflik agraria. Sementara calon lain menyebut program food estate telah gagal dan hanya memperparah kerusakan lingkungan yang dapat merugikan negara. Menanggapi kritikan tersebut kemudian ada calon yang menyanggah kritikan tersebut dan menyebut food estate tidak sepenuhnya gagal karena beberapa diantaranya berhasil terlaksana panen. (cnnindonesia.com, 23/01/2024)
Senada dengan pihak yang pro dengan pelaksanaan program lumbung pangan, Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman menyatakan bahwa program food estate bukanlah proyek instan. Ia menambahkan program tersebut membutuhkan proses penggarapan yang berkesinambungan serta teknologi yang mumpuni guna menyulap lahan mati menjadi lahan produktif. Lantas benarkah klaim pemerintah tentang program food estate yang mampu mengokohkan ketahanan pangan Indonesia?
Proyek food estate pada dasarnya merupakan bagian dari Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024 yang digagas oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan berada di bawah kendali mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Food estate kemudian masuk ke dalam proyek prioritas strategis mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 108 Tahun 2022 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2023 dimana kemudian pemerintah menganggarkan setidaknya Rp235,46 miliar untuk proyek tersebut. Luas lahan yang digarap pun tidak main-main, yakni mencapai 165.000 ha lahan dengan 30.000 ha lahan percontohan penerapan teknologi pertanian 4.0. (pertanian.go.id, 30/01/2023)
Istilah food estate sendiri mengacu pada kegiatan usaha budi daya tanaman skala luas (>25 hektare/ha) yang dilakukan dengan konsep pertanian sebagai sistem industrial yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), modal, serta organisasi dan manajemen modern. Food estate kemudian diarahkan kepada sistem agribisnis yang berakar kuat di pedesaan dengan berbasis pemberdayaan masyarakat adat/lokal yang merupakan landasan dalam pengembangan wilayah. Yang kemudian secara alamiah program tersebut menjadi jalur perkawinan antara sistem pertanian dan industri, yang secara pasti melibatkan kedua belah pihak yakni para petani dan korporasi.
Namun proyek ambisius food estate nyatanya telah mengalami kegagalan berkali-kali bahkan sejak era kepemimpinan Soeharto. Sebut saja Mega Rice Project besutan Soeharto yang menargetkan untuk mengubah 1,4 juta hektar lahan gambut di Kalimantan Tengah menjadi pusat produksi beras, dengan menelan biaya setidaknya Rp. 6 triliun. Akan tetapi proyek tersebut kandas dan dibatalkan oleh Badan Perencanaan Nasional pada 1999. Begitu pula program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang diluncurkan mantan Presiden SBY pada 2010 silam dengan tujuan mewujudkan swasembada pangan dan energi, juga mengalami kegagalan. Bahkan proyek food estate sepanjang tahun 2013 dan 2015 di wilayah Bulungan, Ketapang dan Merauke turut tidak membuahkan hasil. (money.kompas.com, 24/01/2024)
Kegagalan program food estate yang terjadi berulang kali bukanlah tanpa sebab. Deretan kegagalan proyek lumbung pangan terjadi lantaran proyek pangan ambisius itu selalu mengabaikan kaidah akademis pengembangan lahan pertanian. Padahal setidaknya terdapat empat pilar yang harus dipenuhi dalam menjalankan proyek pengembangan lahan pangan antara lain kelayakan tanah dan agroklimat, kelayakan teknologi, kelayakan infrastruktur dan kelayakan sosial ekonomi. Yang sayangnya hampir dipastikan setidaknya satu dari keempat pilar tidak terpenuhi di setiap program yang dijalankan rezim yang tengah berkuasa.
Dalam hal kelayakan tanah misalnya, Desa Tewai Baru, Gunung Mas seluas 700 hektar yang menjadi area ekstensifikasi terluas dari deforestasi di Kalimantan Tengah merupakan bagian dari lanskap ekoregion dataran fluvial Kalimantan dengan jenis tanah aluvium yang bertekstur pasir. Karakteristik jenis tanah ini berpotensi tinggi sebagai pengatur tata air karena teksturnya yang mudah menyerap dan mengeluarkan air. Sayangnya, lapisan tanah yang gembur justru mudah tererosi dan menyebabkan runoff dan membawa material tanah yang menyebabkan sedimentasi saluran air, mempersempit bahkan menutup saluran air dan menyebabkan banjir di area sekitarnya.
Oleh karena itu, lahan di wilayah Gunung Mas bukan lahan yang tepat untuk bercocok tanam karena merupakan tanah pasir atau pasir sebetulnya. Sehingga tidak dimungkinkan untuk tanaman jagung apalagi singkong yang dimaksudkan untuk dibudidayakan di wilayah tersebut untuk tumbuh dengan baik. Maka tidak mengherankan jika kemudian rezim tetap memaksakan ambisinya dengan jalan menanam jagung dengan menggunakan polybag di sepanjang area Gunung Mas. Padahal upaya tersebut justru menunjukkan kemustahilan penanaman secara berkelanjutan hingga panen di area tersebut.
Di sisi lain, mengubah fungsi lahan gambut menjadi lahan pertanian bukanlah solusi yang tepat karena menimbulkan banyak masalah. Hal ini dikarenakan alih fungsi lahan gambut biasanya disertai dengan tindakan drainase melalui pembuatan kanal-kanal untuk mengalirkan air di dalam gambut. Upaya semacam ini tidak hanya memerlukan usaha dan biaya yang sangat besar, tetapi juga membuat gambut menjadi kering dan rawan terbakar hingga mengeluarkan emisi karbon. Bahkan pembuatan kanal semacam ini rentan mengekspos sedimen pirit yang membuat tanah tercemar.
Pirit yang terekspos di lahan gambut akan membuat tanah sangat masam (ph<3,5) sehingga sulit ditanami. Pirit pun dapat larut dan mencemari air di sekitar area tersebut. Pencemaran air pernah terjadi pada pembuatan kanal sepanjang 187 km di Proyek PLG menyebabkan kematian ikan secara massal di Sungai Mangkatip dan anak-anak sungai Barito pada tahun 1997.
Selain daripada kelayakan tanah, kelayakan teknologi dan infrastruktur menjadi faktor yang sangat penting guna memaksimalkan potensi keberhasilan program food estate. Pasalnya proyek semacam ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat luas dalam jumlah besar, sehingga memungkinkan negara untuk menuju kepada swasembada pangan. Namun alih-alih ketahanan pangan yang dicapai, yang ada justru banyak terjadi proyek yang mangkrak dan terhenti di tengah jalan tanpa ada kejelasan. Padahal dana yang sudah dikeluarkan bahkan mencapai triliunan rupiah.
Di sisi lain, proyek lumbung pangan yang terjadi sejak dahulu kala sangat tidak memerhatikan kelayakan sosial ekonomi masyarakat sekitar. Tidak jarang kemudian proyek ini memunculkan konflik agraria berkepanjangan yang bahkan mengancam kehidupan rakyat sekitar. Seperti di Desa Tewai Baru yang warganya harus kehilangan sumber mata pencaharian. Padahal masyarakat di sana sehari-hari memanfaatkan hasil hutan kayu maupun non kayu dari hutan di sekitar desanya. Food estate pun tidak jarang hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pangan Jawa-sentris ataupun komoditas yang bisa diekspor, tetapi tidak mewakili kebutuhan pangan masyarakat lokal. Pada akhirnya justru marak terjadi bencana kelaparan di area sekitar lumbung pangan.
Dengan keterkaitan food estate yang erat dengan korporasi pada akhirnya menjadikan lumbung pangan mengarah pada pemenuhan kebutuhan bahan baku industri pangan yang dijalankan korporasi bukan untuk ketahanan pangan nasional. Lumbung pangan di Sumut misalnya yang mengembangkan kentang, bawang merah, dan bawang putih justru hasil panennya dimonopoli sejumlah perusahaan besar yang menanamkan modalnya, khususnya di lokasi lumbung pangan Kabupaten Humbang Hasundutan. Terdapat tujuh perusahaan yang berinvestasi, yakni PT Indofood, PT Calbee Wings, PT Champ, PT Semangat Tani Maju Bersama, PT Agra Garlica, PT Agri Indo Sejahtera, dan PT Karya Tani Semesta.
Lumbung pangan di Desa Ria-ria, Sumut bahkan terbukti telah mengakibatkan terjadinya perampasan kontrol atas tanah dan terlucutinya otonomi petani terhadap pertaniannya. Di mana petani kecil cenderung menjadi pemasok bahan baku atau bahan mentah bagi korporasi agribisnis, sekaligus pasar bagi industri input pertanian dan turut menjadi tenaga kerja bagi industri pangan. Bahkan seluruh hasil pertanian lumbung pangan wajib disetorkan ke Koperasi Unit Bersama (KUB) yang dibentuk, yang di mana KUB tersebut mematok harga jual lebih rendah daripada pengepul di pasaran (betahita.id, 01/03/2022). Dari sini terlihat bagaimana lumbung pangan yang ada mengarah pada kepentingan segelintir pemodal maupun korporasi besar nasional dan transnasional.
Mirisnya lagi, di tengah-tengah kian menurunnya minat masyarakat desa mengembangkan sektor pertanian, paradigma pembangunan kapitalistik yang diterapkan di negeri ini justru mendorong alih fungsi lahan pertanian berjalan lebih masif lagi. Data Direktorat Pengendalian dan Pemantauan Pertanahan Kementrian ATR/BPN menyebutkan, pada 2019 saja, rata-rata konversi lahan sawah menjadi non sawah sebanyak 100.000 ha per tahun, sedangkan rata-rata kemampuan cetak sawah per tahun hanya 60.000 ha jika secara maksimal dilakukan.
Masifnya konversi lahan pertanian untuk pembangunan bandara, kereta cepat, hingga gedung-gedung pencakar langit tentulah menjadi sebuah ancaman bagi ketahanan pangan negeri. Karena bagaimanapun sektor pertanian adalah sektor yang sangat strategis yang berpengaruh terhadap pertahanan dan keamanan negara. Sedangkan ketergantungan pangan pada negara lain bisa menjadi pembuka problem yang lebih besar, termasuk penjajahan dan tergadainya kedaulatan negara.
Dari sini kita melihat bahwa akar masalah tidak terwujudnya ketahanan pangan di negeri ini adalah karena bercokolnya liberalisasi pangan. Di mana pihak asing dan aseng mendominasi dalam menggarap proyek-proyek strategis terkait pangan dan penguasaan lahan-lahan strategis. Dominasi swasta tampak terlihat jelas baik dalam pengembangan proyek food estate maupun berkurangnya lahan-lahan pertanian. Negara secara struktural membiarkan swasta menguasai lahan pertanian ataupun melakukan alih fungsi lahan secara serampangan.
Padahal sebelumnya ada regulasi untuk melindungi lahan pertanian dari alih fungsi, yaitu UU 41/2019 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Namun celakanya aturan dalam UU itu justru dianulir oleh UU Cipta Kerja yang kian memudahkan pihak swasta untuk menguasai lahan dengan mudah. Pada akhirnya kita melihat bagaimana hukum positif negeri ini penuh kontradiksi. Di satu sisi negara dengan proyek food estate “memaksakan diri” mengolah lahan mati menjadi lahan produktif, dan di sisi lain negara membiarkan korporasi menguasai lahan pertanian yang subur dan melakukan alih fungsi lahan.
Ironisnya, sikap ugal-ugalan rezim dalam mengelola SDA melalui proyek food estate dan pembiaran alih fungsi lahan sejatinya secara langsung berdampak pada semakin parahnya kerusakan lingkungan di dalam negeri. Proyek ambisius lumbung pangan telah terbukti mengancam komitmen Indonesia mengatasi krisis iklim dengan kian meningkatnya deforestasi dan pengelolaan lahan gambut. Padahal baik hutan maupun lahan gambut yang “dihancurkan” proyek lumbung pangan sama-sama berperan penting dalam mencegah banjir dan longsor serta mengatasi krisis iklim. Sedangkan masifnya alih fungsi lahan secara nyata kian mengurangi daerah resapan air, yang justru meningkatkan resiko bencana.
Dari sini kita dapat melihat dengan jelas bagaimana pembangunan berbasis konsep kapitalis-liberal yang dianut negeri ini telah menggadaikan kepentingan rakyat dan semakin memperparah kerusakan lingkungan. Konsekuensi dari terlibatnya korporasi di sektor pertanian negeri justru menghancurkan mimpi bangsa ini menuju ketahanan pangan madani. Jika negeri ini tak kunjung membalikkan keadaan, haruskah kita tetap menggantungkan kehidupan bangsa ini pada pasar impor? Dan masih pantaskah Indonesia menyandang gelar negara agraris? Wallahu a’lam bi ash-shawab.
0 Komentar