Menyoal Partisipasi Gen-Z dalam Politik


Oleh: Rissa S Mulyana, Mahasiswa Pascasarjana UI

Indonesia baru saja melaksanakan ‘pesta demokrasi’ yang ditandai dengan penyelenggaraan pemilu. Menurut jabarprov.go.id, Pemilu 2024 dipenuhi oleh pemilih dari kalangan Gen Z dan milenial yakni sebanyak 55% atau sekitar 114 juta jiwa. Jumlah yang sangat signifikan. Gen Z dinilai memiliki kontribusi besar bagi kelanjutan masa depan pemerintahan Indonesia dengan terlibat aktif dalam pemilu.
Dari sinilah, berbagai upaya dilakukan oleh para calon pemangku kekuasaan untuk mengambil hati Gen Z agar berpartisipasi aktif dalam pemilu. Hal tersebut dapat kita saksikan melalui kampanye para calon presiden hingga calon anggota legislatif yang dikemas mengikuti selera Gen Z. Mereka menggunakan bahasa ala Gen Z, desain visual dibuat menarik, iklan hingga jingle kampanye dibuat sedemikian rupa untuk menarik perhatian para pemilih muda ini.
Di sisi lain, beberapa pihak mengkhawatirkan minimnya keterlibatan Gen Z dalam Pemilu 2024, padahal keterlibatan mereka sangat diharapkan memperbaiki demokrasi Indonesia ke depan. Seperti dilansir dari www.gemagazine.or.id, (5/2/2024), terdapat beberapa tantangan bagi Gen Z untuk berkontribusi dalam pemilu yaitu minimnya pendidikan politik, pengaruh negatif media sosial yang membuat Gen Z tidak mau terlibat dalam politik, serta partisipasi Gen Z yang masih minim.
Masih dilansir dari situs yang sama, terdapat harapan bagi Gen Z untuk berpartisipasi penuh dalam pemilu tahun ini sebagai ajang memilih pemimpin terbaik. Gen Z juga diharapkan mampu membangun kesadaran politik di kalangan teman sebayanya karena karakteristik mereka yang masih peduli dengan isu-isu sosial di sekitarnya. Hal ini dinilai sebagai salah satu upaya untuk menyelamatkan dan merawat demokrasi di negeri ini. Memang wajar kekhawatiran ini muncul sebab dominasi populasi pemuda yang diwakili oleh Gen Z dan milenial beberapa tahun mendatang menjadikan generasi ini menjadi tumpuan harapan masa depan, termasuk dalam perkara pemerintahan.
Gen Z diharapkan mampu berpartisipasi dan menyuarakan pandangan politiknya sebab kelak merekalah yang akan duduk di kursi kekuasaan. Namun sebelum khawatir mengenai partisipasi mereka dan berbagai hal yang bersifat permukaan, semestinya kita menempatkan dahulu apa itu makna politik yang benar dan sesuai dengan fitrah manusia. Sebab berpolitik dalam alam demokrasi, isinya hanya tentang perebutan kekuasaan semata. Sebagaimana prinsip demokrasi yang sudah khatam kita pahami adalah ‘kedaulatan berada di tangan rakyat’. Artinya, rakyatlah yang berhak menentukan aturan benar dan salah dalam masyarakat yang kemudian diterapkan untuk mengatur interaksi manusia dalam masyarakat.
Konsep ini mungkin sekilas terdengar benar, seakan memberikan manusia ruang untuk menyuarakan aspirasinya dengan menyusun aturan yang harapannya dapat mewujudkan masyarakat yang diimpikan. Namun ketika prinsip ini dijalankan, pertanyaannya rakyat manakah yang diberikan ruang untuk memberikan aspirasi tersebut?
Plato, seorang filsuf Yunani yang menjadi salah satu peletak dasar konsep demokrasi bahkan pernah memberikan kritik terhadap sistem tersebut.
Pertama, karena sifat demokrasi yang memberikan kedaulatan pada rakyat, maka karakteristik rakyat sangat menentukan terlaksananya demokrasi yang ideal. Hadirnya masyarakat awam yang tidak peduli, tidak paham dengan politik hanya akan memunculkan para demagog, yakni kelompok yang pandai membangkitkan semangat rakyat untuk meraih kekuasaan dan mengendalikan opini publik.
Sehingga kedaulatan sebetulnya bukan ada di tangan rakyat, namun di tangan para demagog. Maka menjadi wajar apabila dalam sistem demokrasi, para elite lah yang memiliki keleluasaan untuk menciptakan aturan yang mereka kehendaki demi memuluskan kepentingan kelompok mereka.
Kedua, masyarakat demokrasi bersifat virtueless, tidak ada nilai dan standar sakral yang dianggap penting dan pasti. Masyarakat dalam demokrasi menyandarkan kebenaran pada suara mayoritas, bukan pada standar baku mengenai benar dan salah. Kebenaran adalah hal-hal yang dinilai benar oleh mayoritas, pun sebaliknya.
Bagaimana hal ini dapat dikatakan menjadi sistem yang ideal sementara manusia pada hakikatnya tidak dapat menciptakan standar universal yang kompatibel bagi seluruh umat manusia sebab kepentingan setiap individu pasti berbeda.
Dua kondisi tersebut menjadikan alam demokrasi secara alamiah hanya berbicara tentang perebutan kekuasaan untuk melancarkan kepentingan kelompok khusus yang memiliki privilese untuk menerapkan aturan sesuai kepentingannya. Hal tersebut bertolak belakang dengan makna politik dalam Islam, yakni riayatul syu’unil ummah atau mengurusi urusan umat atau rakyat. Urusan umat mencakup seluruh aspek kehidupan seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, pemerintahan, hukum, dan sosial budaya.
Pelaksanaan politik dalam Islam juga memerlukan kekuasaan namun Islam meletakkan prinsip kekuasaan sebagai sarana menerapkan aturan Allah di muka bumi dan penguasa wajib menjalankan amanah kekuasaan tersebut dengan sebaik-baiknya.
Sebagaimana hadits Rasulullah SAW, “Kekuasaan adalah amanah. Ia merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya, dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya)” (HR Muslim).
Dari sini semoga dapat kita pahami bahwa harapan atas kontribusi Gen Z dalam politik di sistem demokrasi hanya polesan semata untuk mewujudkan kepentingan para kelompok yang haus kekuasaan. Kesadaran politik yang perlu dibangun adalah justru kesadaran politik yang sesuai dengan Islam.
Gen Z perlu memahami bahwa Islam yang turun dari Sang Pencipta juga memiliki konsepsi politik yang bertolak belakang dengan politik kotor dalam sistem sekuler-demokrasi saat ini. Maka menyadari makna politik yang benar serta mengarahkan potensi dan suara Gen Z pada kebenaran seyogyanya itulah yang perlu menjadi perhatian.[]
Yuk raih amal shalih dengan menyebarkan postingan ini sebanyak-banyaknya
Follow kami di

Posting Komentar

0 Komentar