Penulis Zakiyah Amin, M.M.
Pemerintah provinsi DKI Jakarta resmi menaikkan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) untuk kategori hiburan pada diskotik, karaoke, klub malam, bar, dan mandi uap atau spa menjadi 40 persen. Aturan ini berlaku sejak 5 januari 2024. Aturan tersebut diteken langsung oleh pejabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono. (KumparanBisnis, 16/01/2024)
Kenaikan pajak hiburan tersebut menuai protes dari para pengusaha yang punya tempat hiburan, seperti karaoke Inul Vizta. Mereka keberatan, pemerintah menaikkan pajak hiburan dari 25 persen menjadi paling tinggi 75 persen. Di mana aturan mengenai pajak hiburan tercantum dalam UU no 1 tahun 2022 tentang hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang penerapannya dilakukan dua tahun setelah diundangkan.
Pajak Hiburan, Salah Satu Sumber Pendapatan Negara
Defenisi pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa, jika melanggar akan kena sanksi dan tujuannya untuk memenuhi keperluan negara termasuk mensejahterakan rakyat. Defenisi ternyata tidak selamanya mewakili fakta, bahkan banyak yang melenceng. Terbukti, rakyat sejak dulu sampai hari ini banyak yang tidak merasakan manfaatnya. Padahal, pajak hiburan sudah berlaku sejak lama. Justru faktanya dipergunakan oleh segelintir orang, termasuk pejabat negara. Banyak pegawai pajak hidupnya mewah. Kasus-kasus tertangkapnya pejabat pajak dengan laporan kekayaan pribadi yang mencengangkan.
Dalam sistem kapitalisme teori-teori ekonomi tentang pajak, diundangkan menjadi dasar kewajiban pajak. Pajak hiburan salah satu sumber pendapatan negara yang bersifat tetap dan kontinu. Kebergantungan negara terhadap pendapatan pajak hiburan semakin mempertegas kerdilnya ide dasar sistem saat ini.
Begitu banyak hal yang harus disoroti terkait pajak hiburan ini. Yaitu teori-teori ekonomi yang diundangkan sebagai dasar diwajibkannya pajak. Di mana teori-teori tersebut tidak memiliki kekuatan permanen sehingga bisa di ubah-ubah sesuai kepentingan penguasa.
Pajak yang dipungut dari usaha hiburan dalam sistem kapitalisme pun diwajibkan. Padahal keberadaan saŕana-sarana hiburan kapitalisme ini akan sangat berbahaya bagi keutuhan keluarga, masyarakat, dan negara. Karena tempat-tempat hiburan sudah dipastikan rawan maksiat. Menghibur orang-orang yang datang dengan berbagai macam hiburan seperti di klub malam, karaoke, diskotik, dan lainnya.
Hasil penarikan pajaknya pun dipergunakan oleh penguasa sebagai pengelola negara, yang katanya untuk memakmurkan rakyat. Rakyat yang kebetulan kecipratan manfaatnya pun belum tentu sejahtera. Sedangkan pengusahanya terus melanggengkan usahanya tanpa merasa merugikan siapapun.
Pajak hiburan ini membahayakan umat Islam yang mayoritas jumlahnya di negeri ini, karena didapatkan dari usaha yang dilarang dalam syariat Islam. Beginilah nasib umat Islam dalam sistem kapitalisme yang aturan pajaknya tidak bersumber dari wahyu dan sunnah Nabi. Negara seolah tidak peduli akan dampaknya memungut pajak hiburan, yang penting uang dan cuan. Seyogianya negara tidak perlu memberikan keluasan lebih kepada usaha hiburan dengan alasan pajak karena selain alasan syar’i juga karena tidak memberikan dampak positif bagi rakyat.
Pajak Hiburan, Benarkah Memberikan Kemaslahatan?
Adapun aturan baru mengenai pajak hiburan tercantum dalam Peraturan Daerah (Perda) nomor 1 tahun 2024 tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Aturan baru ini menuai protes dari pengusaha hiburan. Keberatan pajaknya dinaikkan dari 25 persen menjadi paling tinggi 75 persen. Walaupun protes tersebut sebenarnya tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kemaslahatan rakyat, karena tidak sepenuhnya juga untuk kemakmuran rakyat tapi untuk kepentingan segelintir orang saja. Kenaikan pajak hiburan ini juga merupakan dampak dari UU Cipta Kerja. Di mana UU Ciptaker, menurut Jimly Asshiddiqie (ketua MK periode 2003-2008) yang kini menjabat anggota dewan perwakilan daerah menyatakan dengan jelas bahwa UU Ciptaker inkonstitusional pada November 2021.
Hal ini memperjelas wajah sistem kapitalisme bahwa ide-ide yang dihasilkan, termasuk pemungutan pajak hiburan adalah absurd. Wajib adanya dibuang jauh-jauh karena bisa menjadi toksik dalam berkehidupan bagi umat Islam. Kemaslahatan bagi rakyat hanya ilusi belaka jika mengandalkan pajak hiburan. Lalu bagaimana solusinya bagi kemaslahatan umat?
Islam, Solusi Hakiki
Menurut Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam buku Nidzom Al-Islam halaman 86, pajak (dharibah) adalah harta yang diambil dari warga negara untuk pengelolaan berbagai urusan negara. Jika penguasa memungut pajak untuk sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah atau bahkan tidak ada dalilnya dari Alquran atau hadis berarti penguasa itu telah mewajibkan pajak atas dasar kehendak penguasa itu sendiri bukan atas dasar kehendak Allah Swt. Pemungutan pajak hiburan tidak ada dalilnya baik Alquran maupun dalam hadis Nabi, maka haram hukumnya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang artinya:
“Tidak akan masuk surga siapa saja yang memungut cukai/pajak (yang tidak syar’i).” (HR Ahmad dan Al-Hakim)
Maka dari itu, jika terdapat suatu kewajiban syar’i atas kas negara (Baitul Mal) dan juga atas kaum muslimin, misal kewajiban syar’i biaya untuk jihad dan keperluannya. Jika dalam Baitul Mal tidak terdapat harta atau terdapat harta namun tidak cukup untuk membiayai kewajiban syar’i itu, maka Khalifah boleh mewajibkan pajak atas kaum muslimin sesuai dengan ketentuan hukum-hukum syarak. (Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, Muqoddimat Al Dustur, Juz ll, hlm 117)
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka solusi yang tepat dan benar untuk mengatasi problem pemungutan pajak adalah kembali ke Islam sebagai solusi yang hakiki karena bersumber dari Alquran dan sunnah. Hendaknya kita selalu mengingat salah satu firman Allah yang artinya:
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” ( TQS Al-Baqarah: 216). Wallahu a’lam bissawab.
0 Komentar