Penghargaan Toleransi Dalam Kacamata Sekularisme


Oleh Titin Kartini

#KotaBogor - Wali Kota Bogor, Bima Arya menyampaikan rasa terima kasihnya kepada seluruh warga, tokoh lintas agama, tokoh masyarakat, organisasi kepemudaan, dinas, dan semua yang sudah bekerja untuk mengubah citra intoleran dan mengembalikan DNA yang sangat toleran dan cinta keberagaman di Kota Bogor. Hal ini disampaikan Bima Arya, usai dirinya mendapatkan penghargaan Kepemimpinan Toleransi Terbaik oleh Setara Institute. Selain itu Kota Bogor juga menempati urutan ketiga sebagai kota paling toleran di Indonesia. Hasbulah sebagai Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) mengatakan dengan diraihnya penghargaan tersebut Kota Bogor memiliki kepemimpinan terbaik dalam hal toleransi. Hal ini merupakan kemampuan Wali Kota untuk mengakselerasi, melibatkan banyak pihak, ungkapnya. (kotabogor.go.id, 1/2/2024)

Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Ismail Hasani mengatakan Indeks Kota Toleran adalah satu kerja studi pengukuran terhadap kinerja kota-kota di Indonesia. Ekosistem toleransi ini di antaranya ditopang oleh tiga hal. Pertama, kepemimpinan politik toleransi. Kedua, kepemimpinan sosial. Ketiga adalah kepemimpinan birokrasi. "Kinerja wali kota paling menentukan, selain itu juga ada kinerja masyarakat, tokoh agama, tokoh sosial, elemen masyarakat sipil dan seterusnya. Jadi di dalam Indeks Kota Toleransi ini ada empat variabel yang hari ini kita perkenalkan tiga penopang kepemimpinan ekosistem toleransi," jelasnya. (detik.com, 31/01/2024)

Lantas, apakah yang dimaksud dengan toleransi? Toleransi menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) memiliki makna sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) terhadap pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan dan kelakuan) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.


Merujuk pada definisi toleransi dalam KBBI, sudah benarkah yang terjadi di negeri ini atas makna toleransi yang sesungguhnya? Sayangnya hal ini tidak dirasakan benar-benar terjadi, karena toleransi yang saat ini bergema, berasas pada sekularisme dimana agama tidak boleh mencampuri urusan kehidupan. Agama hanya dijadikan sarana ibadah ritual belaka, bahkan ide plularisme yang menganggap semua agama itu benar harus diterima masyarakat walau pada kenyataannya bertentangan dengan agama mayoritas penduduk di negeri ini (Islam).

Wujud toleransi beragama dalam pandangan sistem kapitalis sekuler ini di antaranya mengucapkan selamat atas perayaan agama lain. Penjagaan terhadap upacara keagamaan lain, misalnya muslim menjaga gereja saat perayaan Natal. Walaupun tidak pernah berlaku sebaliknya, nonmuslim tidak pernah menjaga masjid saat umat muslim berhari raya. Toleransi berlanjut hingga kaum muslimin ikut berpartisipasi dalam ibadah-ibadah mereka, serta perayaan hari besar agama lain. Di Kota Bogor, toleransi semacam ini dibalut dengan keberagaman budaya. Hingga umat muslim tidak bisa membedakan apakah ini bentuk toleransi ataukah sudah pada ranah merusak akidah muslim hingga menganggap bahwa semua agama adalah benar.

Pada dasarnya, Islam tidak menolak adanya pluralitas atau keberagaman, keberadaan agama lain selain Islam. Namun Islam mempunyai prinsip hidup berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunah yang harus dijalankan setiap penganutnya. Allah Swt. berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 256 yang artinya, "Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Thagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui". Dalam ayat tersebut jelas Islam menghormati agama lain dan tidak memaksakan akidah Islam kepada nonmuslim.

Dalam QS. Al Kafirun ayat 6, Allah Swt. dengan tegas berfirman, "Lakum diinukum wa liya diin. (untukmu agamamu, dan untukku agamaku)". Betapa Islam menghargai dan menghormati agama selain Islam untuk beribadah sesuai keyakinan mereka tanpa umat Islam mengganggunya, bahkan haram hukumnya bagi muslim mengganggu keyakinan agama lain.

Hal ini tentu bukan isapan jempol belaka. Telah terbukti sebagaimana pada saat Rasulullah saw. membangun sebuah negara dengan Islam sebagai asasnya. Beliau memberikan jaminan kebebasan beragama di luar Islam, hingga nyawa dan harta mereka pun terlindungi dalam naungan Islam. Rasulullah saw. pun tak segan menghukum jika ada umatnya mengganggu agama lain. Setelah Rasulullah saw. wafat, hal ini diteruskan oleh para sahabat pada masa Khulafaur Rasyidin, dan masa kekhilafahan selanjutnya, dimana Al-Qur'an dan As-Sunah menjadi landasan dalam melaksanakan kehidupan. Tak ada cerita para Khalifah memaksakan ataupun mengganggu umat lain agar mengikuti akidah Islam. Kaum muslim tunduk dan patuh pada aturan yang telah ditetapkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunah.

Kita pasti pernah mendengar cerita tentang penaklukan Konstantinopel oleh Sultan Muhammad Al Fatih, dimana pada waktu itu Hagia Sophia menjadi tempat berlindung kaum Nasrani tetapi tak sedikit pun sang Sultan mengganggu atau menyakiti umat Nasrani. Hal itu menjadi bukti toleransi umat Islam sesungguhnya.

Namun lihatlah hari ini, umat muslim dipaksa untuk mengikuti ritual agama lain bahkan dituntut untuk mengucapkan sesuatu yang bertentangan dengan akidah Islam atas nama toleransi. Toleransi dalam kacamata sekulerisme justru memaksakan segala sesuatu walaupun bertentangan dengan akidah Islam, mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan. Padahal Allah Swt. berfirman: “Jangan kalian mencampur kebenaran dengan kebatilan. Jangan juga kalian menyembunyikan kebenaran. Padahal kalian menyadarinya” (QS. Al-Baqarah: 42).

Maka toleransi dalam sistem kapitalis sekuler hanyalah sebuah slogan, karena pada kenyataannya banyak umat muslim justru terzalimi karena tidak bisa berpegang teguh pada ajaran Islam. Mereka yang berpegang teguh pada ajaran Islam justru dicap intoleran. Hanya dengan aturan Ilahi Robbi makna toleransi yang sesungguhnya dapat terlaksana. Dan tentu saja dalam suatu sistem yang memanusiakan manusia.

Alhasil semua kembali kepada sistem yang bersumber dari Sang Pencipta, bukan sistem buatan manusia dimana segala sesuatu hanya diukur dari akal manusia yang serba terbatas. Kerukunan antarumat beragama akan terwujud secara hakiki dengan penerapan sistem Islam secara kafah dalam bingkai khilafah, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw., Khulafaur Rasyidin, juga para Khalifah sesudahnya. Wallahu a'lam.

Posting Komentar

0 Komentar