Suara Muslimah
Tema: Demokrasi Memfasilitasi Kecurangan
Narasumber: Annisa (Aktivis Dakwah Kampus dan Pendidik Generasi)
Q: Apa pendapat Ustazah terkait euforia pesta demokrasi tahun ini?
A: Sejak awal sebelum Pemilu digelar, banyak dagelan politik yang miris dirasakan masyarakat. Soal ditendangnya salah satu parpol dari parpol yang lain, masuknya kasus MKMK, dan kecewanya Mak Banteng atas politik yang mereka alami.
Pada Pemilu 2024 ini juga banyak sekali kecurangannya. Mulai dari kecurangan konvensional, hingga tingkat tinggi. Secara konvensional, tidak ada orang yang tidak tahu bahwa para paslon dan pendukungnya melakukan praktik risywah atau suap dengan berbagai hal. Ada yang memberikan uang kepada masyarakat, kalender, tumbler, kerudung, alat dapur, dan mungkin masyarakat lebih tahu lagi apa saja yang didapat selain itu. Hal ini dilakukan sebelum Pemilu berlangsung, dengan satu tujuan, yakni agar simpati rakyat dapat terambil. Tidak terbayang berapa banyak kocek yang harus dikeluarkan untuk memfasilitasi biaya risywah ini, yang tentu saja di luar biaya cetak spanduk yang begitu banyaknya beredar demi keterkenalan Paslonnya.
Setelah Pemilu, dengan gamblang kecurangan tingkat tinggi ditunjukkan melalui media sosial. Aplikasi SI Rekap dikeluhkan banyak panitia dan pengawas Pemilu, juga masyarakat. Angka yang direkap tidak sesuai dengan data asli pada Formulir C Hasil. Data akhir yang ditampilkan cenderung menguntungkan salah satu Paslon. Walhasil, banyak pos KPPU di tingkat kecamatan yang mengecek ulang antara data utama dengan rekapannya secara manual.
Selain itu, kecurangan lainnya juga terjadi, seperti ditemukan tujuh provinsi yang logistik surat suaranya sudah tercoblos, kotak suara juga ada yang sudah tidak tersegel, dan lain sebagainya.
Q: 5 tahun lalu, barisan Emak-Emak menjadi agen pendulangan suara. Bagaimana tahun ini, Ustazah?
A: Pada tahun ini mayoritas pemilih adalah Gen Z dan milenial. Generasi milenial menempati posisi tertinggi karena jumlahnya paling banyak, yakni 66,82 juta orang, disusul generasi X sebanyak 57,49 juta orang. Generasi Z berada di posisi ketiga yakni sebanyak 46,8 juta orang, dan sisanya adalah pemilih usia baby boomer (28,13 juta orang) dan pre-boomer (3,57 juta orang).
Jika dilihat dari segi usianya, generasi milenial yang lahir di antara usia 1980 hingga 1994. maka rata-rata usia mereka adalah 44 hingga 30 tahun. Gen Z yang lahir antara tahun 1995 hingga 2000-an, mereka kini berusia 29 hingga 24 tahun. Dilihat dari sisi jumlah, maka 55 persen suara dapat dikumpulkan dari generasi milenial dan generasi Z ini.
Q: Kabarnya, dukungan suara Gen Z pada pesta demokrasi kali ini mampu menggantikan suara Emak-Emak lima tahun lalu, benarkah ini Ustazah?
Munculnya Barisan Emak-Emak Militan pada tahun 2018 memang berbarengan dengan kontestasi politik 2019. pada saat itu suara perempuan berjumlah 50 persen dan ini menjadi ajang rebutan para Paslon. Kedua Paslon berlomba untuk menunjukkan keberpihakan mereka kepada kaum hawa seperti menentukan menteri perempuan paling banyak, bagaimana menurunkan angka kematian ibu, meningkatkan pelayanan kesehatan ibu dan anak, dan lain sebagainya.
kini, jumlah milenial dan gen Z yang banyak, bahkan sampai 55 persen, maka para Paslon adu janji untuk memenangkan hati mereka. Ada paslon yang berjanji untuk "Satu keluarga miskin satu sarjana", "SMK Gratis Langsung Kerja untuk keluarga miskin", membuka 17 lapangan kerja di seluruh Indonesia, UMKM Digital, Kartu Start up, dll.
Sehingga dari sini kita melihat bahwa siapa pun yang dapat memuluskan para Paslon menuju RI 1, maka dialah yang akan didekati, diberi janji, dan semoga saja programnya benar-benar akan direalisasi. Sementara program untuk Emak-Emak Militan mulai meredup jika tak bisa dikatakan tidak ada sama sekali.
Q: Perubahan segmen kantong suara setiap 5 tahun sekali, apakah hal yang wajar dilakukan dalam demokrasi, Ustazah?
A: Pemilu sebagai perwujudan dari Demokrasi Perwakilan dianggap sarana rakyat memilih wakil yang akan menyampaikan kepentingannya. Adapun bagi calon penguasa, Pemilu adalah mekanisme formal agar jabatan mereka absah secara hukum.
Keberadaan kantong-kantong suara menjadi fokus utama para Paslon, dimana pun kantong itu, dan siapa pun segmennya, demi memenangkan suara, maka Paslon harus mengambil hatinya. Inilah yang menjadi alasan mengapa politik di Indonesia begitu dinamis, tidak ada kawan sejati, yang ada hanya kepentingan abadi.
Q: Mengapa bisa terjadi seperti itu?
A: Sebab kepentingan menjadi penguasa kini bukan semata mengabdi kepada rakyat, melainkan untuk menjaga kepentingan oligarkhi. Kekuasaan dijalankan pemerintah dengan segala cara agar rakyat dapat dikuasai untuk mencapai tujuan sekelompok elit tertentu.
Adapun Pemilu adalah langkah awal agar penguasa yang sah terkesan dipilih rakyat. Maka segala cara pun dilakukan untuk memenangkan Pemilu, yang tentu saja menyasar kelompok pemilik suara terbanyak. Dan ini adalah wajah asli dari demokrasi yang meniscayakan adanya kecurangan dengan menghalalkan segala cara.
Q: Apakah berbedanya segmentasi pemilih akan benar-benar membawa perubahan yang besar terhadap negeri ini, Ustazah?
A: Selama pemikiran rakyat masih belum tercerahkan oleh Islam bahwa politik itu harus dijalankan dengan mengikuti hukum Allah Swt., sebaliknya rakyat masih bergerak atas kepentingan sesaat dan menerima hukum selain Allah, maka perubahan segmen pemilih tidak akan berpengaruh terhadap perubahan besar di negeri ini.
Keadaan sebaliknya justru yang terjadi, rakyat dengan senang hati menerima risywah, menormalisasi kejahatan yang dilakukan secara masif, terstruktur, dan sistematis terkait pelaksanaan politik sekarang ini. Maka sudah saatnya rakyat belajar Islam kaffah agar memiliki kesadaran politik yang dibangun di atas landasan Islam. Jika sudah demikian, insha Allah perubahan besar di negeri ini akan terjadi. Biindznillah.
0 Komentar