Rakyat Terjerat Pajak Akibat Penerapan Sistem Tukang Palak



Oleh Siti Rima Sarinah


“Orang Bijak Bayar Pajak”. Slogan ini tentu sangat familiar bagi masyarakat Indonesia. Slogan ini mengisyaratkan masyarakat yang rajin membayar pajak adalah orang yang bijak. Walaupun pajak sangat terasa memberatkan, tetapi pajak tetap diberlakukan. Sebab, pajak merupakan salah satu sumber pendapataan negeri ini selain utang luar negeri. Ironis, negeri yang dikenal sebagai Zamrud Khatulistiwa hidup dengan pajak, padahal kekayaan alamnya sangat melimpah ruah.

Tak terkecuali Kota Hujan Bogor. Bogor yang dikenal dengan keindahan alamnya dan banyak menawarkan tempat liburan serta hiburan. Pajak juga menjadi sumber pendapatan asli daerah yang berasal dari pajak tempat wisata. Kenaikan pajak hiburan sebesar 40%-75% yang ditetapkan oleh pemerintah, ditolak oleh sejumlah pengusaha di Kota Bogor. Menurut Ketua Paguyuban Pengusaha Bar, Café dan Restoran, Erik JW, ”Kondisi saat ini sangat berat, karena dua tahun yang lalu kondisi ekonomi terpuruk akibat pandemi". Pihaknya meminta pemerintah tidak menaikkan pajak hiburan. (jppn.com, 17/01/2024)

Tidak dipungkiri kenaikan pajak akan berdampak pada omset pengusaha. Sebab, kenaikan pajak akan dibebankan pada konsumen dengan menaikkan tarif. Terjadinya kenaikan tarif harga akan berakibat turunnya daya beli konsumen. Kenaikan pajak hiburan ini merujuk pada pasal 52 ayat 2, yang menyatakan khusus tarif pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) atas jasa hiburan pada diskotik, kelab malam, bar, mandi uap, atau spa ditetapkan paling rendah 40% hingga 75%.

Kenaikan pajak ini bukan hanya berdampak pada pengusaha, melainkan rakyat pun diperas untuk memenuhi target pemasukan dari pajak sebagai pendapat utama APBN. Bukan hanya hiburan yang dikenakan pajak, melainkan juga seluruh lini kehidupan masyarakat selalu berkaitan dengan pajak. Pajak bak lintah darat yang terus mengisap rakyat. Hingga rakyat terjerat dan tercekik oleh pajak pun, pemerintah tak bergeming untuk menghentikan pajak.

Padahal sudah sangat jelas bahwa kebijakan pajak adalah kebijakan zalim yang menyengsarakan rakyat. Beban kehidupan yang semakin tinggi dan mahal sudah cukup membebani rakyat, dan harus ditambah membayar pajak. Alih-alih dengan membayar pajak mereka mendapatkan kompensasinya, yang terjadi malah sebaliknya rakyat semakin jauh dari kata sejahtera. Walaupun rakyat sudah bekerja keras banting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup, ternyata kesejahteraan hanyalah mimpi bagi rakyat. 

Kebijakan pajak yang diterapkan di negeri ini merupakan buah karya penerapan sistem kapitalis sekuler. Sistem ini hanya menganggap rakyat sebagai 'sapi perahan' untuk terus dipalak dengan pajak meski rakyatnya miskin. Sementara, selama ini kekayaan alam Indonesia dikelola dengan sistem kapitalisme dengan wujud liberalisasi ekonomi. Semua kekayaan alam diserahkan pengelolaannya kepada swasta asing dan aseng. Sehingga negara hanya mengumpulkan uang receh dari pajak yang tidak seberapa.  

Satu-satunya cara untuk membebaskan rakyat dari jeratan pajak adalah mengubah pendapatan utama negara. Adalah sistem Islam (khilafah), sistem yang mampu mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran. Sebab, sistem yang berasal dari sang pemilik jiwa manusia dan pencipta alam semesta ini telah menurunkan seperangkat aturan sempurna bagi manusia sebagai problem solving di semua lini kehidupan. 

Islam sebagai sebuah sistem hidup mampu membiayai kebutuhan negara dan rakyat tanpa pajak dan tanpa utang luar negeri. Hal ini dibuktikan dari kemampuan finansial negara khilafah yang memiliki sumber-sumber pemasukan negara di antaranya, fai', kharaj, jizyah, harta kepemilikan umum, dan zakat (zakat mal, zakat perdagangan, zakat pertanian, zakat ternak). Semua sumber pemasukan ini disimpan di Baitul Maal dan dikelola sesuai syariat Islam.

Selain itu, negara khilafah menetapkan pembagian kepemilikan sesuai syariat yaitu kepemilikan individu, umum, dan negara. Sehingga semua jenis barang tambang yang menjadi kepemilikan umum tidak boleh diswastanisasi apalagi diserahkan pengelolaannya kepada asing dan aseng. Dengan mekanisme pengaturan seperti ini, negara akan berhasil mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran di tengah-tengah rakyat.

Adapun dharibah (pajak) dalam kondisi tertentu juga menjadi salah satu sumber pendapatan negara. Namun faktanya jauh berbeda dengan kebijakan pajak yang diterapkan saat ini. Dharibah hanya dipungut jika kas negara kosong atau tidak mencukupi untuk memenuhi pengeluaran yang wajib ditunaikan. Yaitu pembiayaan wajib yang harus dipenuhi, yang apabila tidak dipenuhi akan menimbulkan dharar atau bahaya bagi kaum muslimin. Jadi dharibah hanya bersifat insidental, yang akan dihentikan jika sejumlah pembiayaan tersebut sudah terpenuhi. Dharibah tidak dipungut dari semua orang seperti yang terjadi saat ini, melainkan hanya dipungut dari kaum muslimin yang memiliki kelebihan harta (kaya).

Allah Swt. berfirman, ”Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara batil.” (TQS An-Nisaa: 29). Ayat ini menegaskan bahwa Allah Swt. melarang manusia saling memakan harta sesamanya dengan jalan yang tidak dibenarkan. Mengambil pajak dari orang yang tidak wajib pajak, merupakan jalan batil memakan harta sesamanya. Perlu menjadi pengingat bagi para pemimpin kaum muslimin, "Sesungguhnya para penarik pajak (pemungut pajak) diazab di neraka" (HR Ahmad).

Oleh karena itu, tidak sepatutnya kita bertahan hidup dalam sistem 'tukang palak' (kapitalisme) buatan manusia. Segeralah beralih pada sistem Islam yang datangnya dari Allah Swt. Yang akan menjauhkan umat manusia dari kemudaratan dan kerusakan, selalu membawa rahmat serta kemaslahatan bagi manusia. Dan mampu mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran hidup bagi seluruh umat manusia. Wallahua’lam.

Posting Komentar

0 Komentar