Reunifikasi Negeri Umat Nabi (Muhammad saw.)

 


Dunia Islam telah terbelah. Itu merupakan sebuah fakta yang kita alami saat ini. Di bulan ini, tepat 100 tahun umat Islam tercerai-berai jadi lebih dari 50 negara bangsa. Ya, setelah tali persatuan umat sekaligus ibu yang mengurus mereka yaitu Khilafah Islamiyah dihancurkan, umat Islam berhamburan, lalu membentuk negara-negara kecil dengan batas imaginer hasil goresan penjajah. 



Umat Nabi Muhammad saw. yang dulunya merupakan satu tubuh, semenjak saat itu menjadi asing satu sama lain. Hanya gara-gara hidup dalam garis demarkasi berbeda mereka lupa bahwa mereka bersaudara. Padahal, akidah mereka sama. Tak jarang, ras dan bahasa juga sama. Tapi tinggal dalam negara bangsa berbeda, membuat persatuan itu sirna.



Tentu saja, ketika umat Islam dipaksa bernaung dalam berbagai negara bangsa, Ia kehilangan kedigjayaannya. Umat yang dulu disegani, ditakuti oleh para musuhnya, lalu mumpuni dalam berbagai aspek kehidupan seakan tak ada bekasnya. Yang tersisa hanya umat seperti gambaran sebuah hadis dari Tsauban, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hampir-hampir bangsa-bangsa (kafir) saling mengajak untuk memerangi kalian, sebagaimana orang-orang yang akan makan saling mengajak menuju piring besar mereka.” Seorang sahabat bertanya: “Apakah disebabkan dari sedikitnya kita pada hari itu?” Beliau menjawab: “Tidak, bahkan pada hari itu kalian banyak, tetapi kalian buih, seperti buih di lautan. Dan Allah akan menghilangkan rasa gentar dari dada musuh terhadap kalian. Dan Allah akan menimpakan wahn (kelemahan) di dalam hati kalian.” Seorang sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah wahn itu?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Cinta dunia dan takut menghadapi kematian.” (HR. Abu Dawud no. 4297)



Tidak ada lagi rasa gentar lagi dalam diri musuh-musuh Islam. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diberi kemenangan dengan kegentaran (musuh) sejauh perjalanan satu bulan.” (Muttafaqun ‘alaih)



Inilah kondisi kita, kaum muslim, saat ini. Tapi, bukan tidak ada harapan untuk bisa mengembalikan kedigjayaan. Asal kaum muslim mau kembali berpegang teguh pada tali agama Allah dan melakukan upaya reunifikasi negeri-negeri umat Nabi (saw.) yang telah terserak ini.



Reunifikasi


Reunifikasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai penyatuan kembali. Sedangkan laman daring Wikipedia mendefinisikan reunifikasi dengan lebih spesifik. Menurut Wikipedia, reunifikasi adalah proses penyatuan kembali dua negara atau lebih menjadi satu negara induk, yang sebelumnya terpecah karena peristiwa sejarah, baik dengan damai maupun dengan peperangan.



Reunifikasi dalam artian penyatuan kembali negara yang pernah terpecah bukanlah hal yang mustahil. Karena, faktanya memang hal ini pernah terjadi dan masih ada negara yang mengidamkan hal ini terjadi pada negaranya. Salah satu negara yang sukses reunifikasi adalah Vietnam. Sebelumnya, pascaditandatanganinya Perjanjian Jenewa pada 21 Juli 1954, Vietnam terbagi dua menjadi Vietnam Utara yang dikuasai oleh Ho Chi Min dengan ibu kota di Hanoi dan Vietnam Selatan dikuasai Kaisar Bao Dai dan PM Ngo Dinh Diem dengan ibu kota di Saigon. Setelah terpecah dan terlibat perang selama dua dekade, Vietnam Utara dan Selatan akhirnya bersatu pada 2 Juli 1976.



Lalu, ada juga reunifikasi sukses lainnya yang berjalan tanpa perang. Kasusnya seperti reunifikasi antara Jerman Timur dan Jerman Barat pada tahun 1990 sehingga membentuk Republik Federal Jerman saat ini. Pembentukan Republik Yaman yang bersatu juga dilakukan dengan damai, walaupun sempat terjadi pemberontakan pada tahun 1994 yang berhasil ditumpas.



Sementara negara yang masih mengidamkan reunifikasi adalah Korea dan China. Korea Utara dan Korea Selatan resmi terpisah sejak Perang Dunia II atau tahun 1945. Ketika Perang Dunia II berakhir, bagian utara Korea dikuasai oleh Uni Soviet dan selatan dikuasai oleh AS. Kedua Korea sebenarnya masing-masing berharap dapat mempersatukan Korea di bawah rezim dan ideologi masing-masing. Korea Utara lalu melancarkan aksi militer pada tahun 1950 dengan harapan mempersatukan Korea di bawah rezim komunis, yang mengakibatkan perang antara kedua negara, yang memicu intervensi AS dan Republik Rakyat Tiongkok.



Sekarang ini, walau perundingan reunifikasi Korea macet, tetapi kedua belah pihak percaya bahwa mereka akan bersatu pada masa depan. Pemerintah Korea Selatan bahkan memiliki suatu badan khusus yang disebut "Kementerian Unifikasi", yang mengurusi persiapan reunifikasi Korea Selatan dengan Korea Utara.



Hal serupa dialami oleh China juga. Republik Rakyat China (Tiongkok) sampai pemerintahan Xi Jinping masih mengidamkan reunifikasi bersama Taiwan yang telah terpisah sejak 1949. “Realisasi reunifikasi seutuhnya dengan tanah air merupakan suatu proses pembangunan yang tidak dapat dielakkan, merupakan hal yang benar dan merupakan hal yang diinginkan oleh masyarakat. Tanah air harus dan akan dipersatukan kembali," kata Xi dalam pidatonya yang memperingati 130 tahun kelahiran pendiri Republik Rakyat China, Mao Zedong, seperti dilansir CNN, Rabu (27/12/2023). (news.detik.com)



Jadi, reunifikasi bukanlah hal utopis. Bahkan, bagi sebagian negara hal itu merupakan mimpi besar. Jadi, jika kaum muslim mendambakan hal yang sama, itu hal yang lumrah saja. Bahkan, bagi kita sebagai kaum muslim harus menjadi agenda besar yang wajib diperjuangkan. 




Persatuan



Selama 14 abad lamanya umat Islam sejatinya pernah disatukam dalam lembaga kepemimpinan global. Lembaga itu adalah Negara Khilafah Islamiyah. Ini adalah sebuah realitas sejarah yang tidak terbantahkan. Realitas ini dihitung sejak pertama kali Baginda Rasulullah saw. sukses membangun Daulah Islamiah di Madinah, dilanjutkan dengan era Khulafaurasyidin, era Khilafah Umayah, era Khilafah Abbasiyah, dan era Khilafah Utsmaniyah. Sepanjang sejarahnya, Khilafah Islam pernah menyatukan kaum muslim di dua pertiga bagian dunia.



Sebagaimana ditulis di awal tulisan, negara pemersatu umat ini berhasil dihancurkan oleh tangan Inggris melalui anteknya Kemal Mustafa Attaturk pada 3 Maret 1924. Sejak itu, umat Islam sedunia mulai terpecah-belah. Mereka dipisahkan oleh negara-bangsa (nation-state) dengan warna nasionalisme (kebangsaan)-nya masing-masing. Nasionalisme dan nation-state (negara-bangsa) inilah yang menjadi cikal-bakal keterpecahbelahan umat Islam sedunia, sekaligus mengoyak-ngoyak persatuan mereka dan ukhuah islamiah yang selama ini terjalin di antara mereka.



Seharusnya, umat Islam menyadari bahwa mereka mempunyai kewajiban untuk bersatu. Oleh karena itu, lalai atau bahkan merusak jalinan persatuan umat dan ukhuah islamiah adalah dosa, sebagaimana meninggalkan bentuk kewajiban-kewajiban yang lain. Kewajiban memelihara persatuan umat dan ukhuah islamiah ini didasarkan pada sejumlah dalil Al-Qu’ran maupun Sunah.



Pertama, dalil Al-Qur’an. Di antaranya adalah firman Allah Swt. berikut,


إِنَّمَا الْمًؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ


“Sungguh kaum mukmin itu bersaudara. Oleh karena itu, damaikanlah di antara dua saudara kalian…” (TQS Al-Hujurat [49]: 10)



Dari ayat di atas tersurat bahwa siapa pun, asalkan mukmin, adalah bersaudara. Sebabnya, dasar ukhuah (persaudaraan) adalah kesamaan akidah. Ayat ini menghendaki ukhuah kaum mukmin harus benar-benar kuat, bahkan lebih kuat daripada persaudaraan karena nasab. Persaudaraan nasab bisa terputus karena perbedaan agama. Sebaliknya, ukhuah islamiah tidak terputus karena perbedaan nasab. Bahkan persaudaraan nasab dianggap tidak ada jika kosong dari persaudaraan (akidah) Islam. (Ash-Shabuni, Shafwah at-Tafaasir, 3/217)



Dalam ayat lain, Allah Swt. juga berfirman,


وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا


“Berpeganglah kalian semuanya pada tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai-berai…” (TQS Ali Imran [3]: 103)



Imam Ibnu Katsir menyatakan bahwa tali Allah (habl Allâh) adalah Al-Qur’an yang diturunkan dari langit ke bumi. Siapa pun yang berpegang teguh pada Al-Qur’an berarti ia berjalan di atas jalan lurus. Ayat tersebut merupakan perintah Allah Swt. kepada mereka untuk berpegang pada al-jamâ‘ah (persatuan) dan melarang mereka dari tafarruq (bercerai-berai). Dari sini terang sekali bahwa keterceraiberaian tersebut disebabkan Islam tidak dijadikan sebagai pegangan dalam mengatur kehidupan. (Ibn Katsir, Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azhîm, I/477)



Agar kaum muslim tidak tercerai-berai dari Islam sebagai jalan Allah Swt., Al-Qur’an menegaskan:


وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ


“Yang diperintahkan ini adalah jalanku yang lurus. Oleh karena itu, ikutilah jalan tersebut dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan lain karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian adalah diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian bertakwa.” (TQS Al-An‘am [6]: 153)



Ayat di atas dengan terang menunjukkan bahwa jika umat Islam tidak benar-benar mengikuti jalan Islam, malah justru mengikuti jalan-jalan yang bertolak belakang dengan Islam, niscaya jalan-jalan yang bukan berasal dari Islam tersebut akan mencerai-beraikan mereka dari jalan Allah Swt.. Itulah sebetulnya yang—disadari atau tidak—dialami kaum muslim saat ini ketika mereka memilih sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) sebagai jalan hidup mereka.



Kedua, dalil Sunah. Rasulullah saw. antara lain bersabda,


الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا


“Mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan satu bangunan. Sebagiannya menguatkan sebagian lainnya.” (HR Bukhari, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ahmad)



Sebaliknya, banyak hadis yang melarang kaum muslim untuk menyerukan perpecahan atas dasar ‘ashabiyah. Di antaranya sabda Nabi saw. berikut,


لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ


“Tidak termasuk golongan kami orang yang menyerukan ‘ashabiyah. Tidak termasuk golongan kami orang yang berperang atas dasar ‘ashabiyah. Tidak termasuk golongan kami orang yang mati di atas dasar ‘ashabiyah.” (HR Abu Dawud)



Pemahaman terkait kewajiban bersatu dan berpegang pada tali agama Allah bagi umat Islam ini akan menjadi landasan kokoh bagi umat agar mau melakukan reunifikasi negeri-negerinya kembali, sebagaimana dulu. Hanya saja perlu pemahaman lanjutan, bahwa persatuan umat Islam yang wajib itu tak akan terwujud jika tidak ada institusi negara yang satu bagi seluruh umat Islam di dunia, yaitu Khilafah Islamiyah. Oleh karena itu, menegakkan kembali Khilafah adalah wajib. Ini sesuai dengan kaidah syariah mâ lâ yatimmu al-wâjib illâ bihi fahuwa wâjib (selama suatu kewajiban tidak sempurna pelaksanaannya karena sesuatu perkara, maka sesuatu tersebut wajib adanya).



Kesatuan Khilafah ini penting agar umat tidak terpecah-belah dan tercerai-berai seperti saat ini. Oleh karena itulah, Dr. Mushthafa Hilmi dalam kitabnya, Nizhâm al-Khilâfah fî al-Fikri al-Islâmî, menyatakan, “Persatuan umat itu mengharuskan mereka dihimpun dalam satu sistem pemerintahan, yaitu Khilafah.”


Walhasil, jika kita menginginkan reunifikasi negeri umat Nabi saw. ini terwujud, maka mari sama-sama berjuang untuk menegakkan institusi pemersatunya, yaitu Khilafah Islamiyah. Mari jadikan penegakkan Khilafah ini menjadi agenda umat Islam sedunia. Allahu Akbar!



Oleh Rini Sarah



Posting Komentar

0 Komentar