Smart City, Untuk Siapa?

 


Oleh Siti Rima Sarinah


Satu lagi terobosan baru yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengembangkan Kota Hujan sebagai Smart City. Upaya pengembangan ini melalui 6 aspek penerapan di antaranya Smart Economy, Smart Environment, Smart Living, Smart Mobility, Smart People dan Smart Government. Bersamaan dengan konsep Smart City, Kota Bogor juga memiliki konsep Green City dan Heritage City yang ketiganya berjalan beriringan.

Wakil Walikota Bogor Dedie A. Rachim mengatakan Smart City pada aspek mobility yang sinkron dengan konsep Green City adalah upaya penataan sistem transportasi yang disenergikan dengan tiga proyek strategis nasional di Kota Bogor, yakni Bogor Outer Ring Road (BORR), Double Track Bogor-Sukabumi yang direncanakan akan berlanjut hingga Yogyakarta, dan perencanaan Light Rail Transit (LRT) hingga Kota Bogor. Dengan konsep itu, pola mobility masyarakat akan sejalan dengan konsep Smart City yang juga masuk ke dalam Smart People. (rri.co.id,27/01/2024)

Selintas Smart City sebagai konsep yang tampak sangat hebat. Sebuah kota yang penuh dengan fasilitas lengkap dengan hunian yang aman dan nyaman. Hal ini tentu menjadi dambaan setiap individu rakyat untuk bisa hidup dan tinggal di dalamnya. Namun sayangnya, hidup dan tinggal dalam konsep Smart City tidak bisa dirasakan oleh setiap elemen masyarakat. Nyatanya hanya orang berkantong tebal sajalah yang bisa memiliki akses di dalamnya. Smart City yang menawarkan berbagai fasilitas dan kenyamanan ini tentu harus dibayar dengan biaya yang tidak murah alias mahal.

Padahal faktanya, masih banyak masyarakat di negeri ini yang harus tinggal di lingkungan yang tidak layak huni, seperti di bantaran kali, bantaran rel kereta, dan kolong jembatan pun jadi tempat alternatif untuk tinggal. Banyak juga yang tinggal di perkampungan yang sangat padat penduduk, dalam bangunan yang sempit tapi beberapa anggota keluarga tinggal di dalamnya. Mereka harus tinggal di tempat yang rawan akan bencana dan penyakit, karena mereka hanya mampu membeli tanah di lingkungan yang ala kadarnya tanpa fasilitas yang memadai. Walaupun pemerintah telah menggalakkan program rumah layak huni, tetapi program tersebut tidak berjalan maksimal karena terkendala biaya. Adanya konsep Smart City semakin memperlihatkan potret kesenjangan ekonomi dan sosial antara si kaya dan si miskin, karena pada faktanya pengembangan kota dengan konsep Smart City bukan ditujukan untuk rakyat melainkan hanya untuk kalangan tertentu yang mampu mengaksesnya.

Tatkala Kota Bogor disulap menjadi Smart City, maka hal ini jelas akan memberikan banyak keuntungan. Kota Bogor yang dikenal sebagai kota wisata dengan keindahan alamnya ditambah dengan konsep Smart City akan menjadi magnet bagi para wisatawan asing dan lokal untuk berkunjung dan berlibur hingga menetap di kota hujan ini. Dan hal ini tentu akan meningkatkan sektor pariwisata yang menjadi sumber pemasukan utama bagi Kota Bogor.

Konsep Smart City seharusnya dapat mewujudkan kualitas hidup masyakarat yang lebih baik, dan tidak hanya sebatas penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, melainkan juga peningkatan kenyamanan dan kesejahteraan rakyat. Dan konsep ini harus dibarengi dengan keseriusan pemerintah menyediakan semua sarana fasilitas publik dari perumahan, transportasi, dan lain sebagainya secara optimal.

Namun sayangnya, konsep Smart City saat ini dibangun berlandaskan ideologi yang menuhankan materi di atas segalanya, yakni ideologi kapitalisme sekulerisme. Keberadaan sistem ini memang bukan untuk menjadikan kepentingan rakyat sebagai prioritasnya. Walaupun Smart City digadang-gadang sebagai solusi pemerintah untuk mengatasi masalah hunian layak bagi masyarakat, namun hal ini tidak sebanding dengan kemampuan ekonomi masyarakat yang sangat minim. Sehingga pengembangan Smart City hanya ditujukan untuk kepentingan pemilik modal dengan menghabiskan lahan di lokasi strategis. Inilah pembangunan ala kapitalis dengan orientasi materi. Yang bisa menikmati pembangunan hanyalah kalangan tertentu, sedangkan rakyat kecil harus kehilangan ruang hidup dan tidak memiliki akses terhadap layanan publik yang memadai.

Inilah bukti ketidakseriusan pemerintah untuk mengurusi kepentingan rakyat. Sebab semua kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah selalu bernapaskan kapitalis sekuler yang hanya menguntungkan para pemilik modal untuk berinventasi dan mendapatkan keuntungan. Dan mengganti peran pemerintah hanya sebagai regulator bukan periayah/ pengurus urusan rakyatnya. 

Kebijakan Smart City yang hakiki adalah dengan menjadikan rakyat sebagai prioritas utamanya. Maka setiap kebijakan yang diambil selalu mempertimbangkan kepentingan dan kebutuhan rakyat. Fakta ini hanya akan terwujud dalam sistem pemerintahan Islam (khilafah) yang berasal dari Zat pemilik jiwa manusia dan alam semesta. 

Islam tidak menolak kemajuan teknologi. Justru teknologi menjadi faktor pendukung perkembangan yang digunakan untuk mempermudah layanan terhadap masyarakat. Negara pun akan melakukan langkah antisipasi dan edukasi melalui sistem pendidikan terkait penggunaan dan pemanfaatan teknologi. Agar rakyat tidak menyalahgunakan teknologi dan tidak terkontaminasi arus negatif dari perkembangan teknologi seperti liberalisme, hedonisme, dan sebagainya.

Kemajuan teknologi tidak datang dengan sendirinya, dibutuhkan sistem yang kuat sebagai penopangnya. Selama 13 abad, Islam dengan seperangkat sistemnya mampu membuktikan kepada dunia bahwa Islam mampu menjadikan negeri-negeri muslim maju di saat Barat masih berada dalam kegelapan. Hal ini terbukti di masa kekhilafahan, perkembangan ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat. Berbagai macam penemuan semua didedikasikan untuk kemaslahatan masyarakat, bukan untuk mengambil keuntungan pribadi atau golongan. Semua ini dilakukan semata-mata hanya ingin meraih rida Ilahi.

Rakyat pun merasakan keberadaan Smart City yang bukan hanya memberikan hunian yang aman dan nyaman. Melainkan negara juga menyediakan prasarana publik dengan maksimal. Hidup makmur sejahtera menjadi potret nyata kehidupan rakyat di seluruh penjuru negeri, bukan hanya di kawasan tertentu saja. Kebijakan ini bisa terwujud tatkala Islam diterapkan dalam kehidupan bernegara. Dan memosisikan pemerintah sebagai pelayan bagi rakyatnya. Walhasil, Smart City yang hakiki hanya bisa terwujud nyata ketika Islam diterapkan secara kafah dalam bingkai negara khilafah. Wallahua’lam.


Posting Komentar

0 Komentar