Berbagai Kecurangan dalam Pemilu



#FlashNews - Mengutip tulisan jurnalis senior, Asyari Usman, yang cukup kritis mengupas kecurangan dalam pemilu. Dalam tulisannya tersebut, diungkapkan tentang pemolesan kecurangan yang dilakukan oleh politisi. Mereka, politisi melakukan kecurangan tanpa mempedulikan halal dan haram. Praktik-praktik pemolesan kecurangan dan berbagai kecurangan pemilu itu terus berulang.

Mereka membangun argumentasi kecurangan di atas kebohongan. Mereka mendapatkan upah hasil pemolesan tanpa memandang halal ataukah tidak. Suasana kecurangan terus dipoles dan terus dilakukan oleh politisi.

Ustazah Esty, menyampaikan pesan dari membaca tulisan jurnalis senior tersebut disimpulkan, faktanya pilpres yang kemarin, terjadi sepenuhnya sesuai dengan prediksi beliau dan ternyata kecurangan itu terus terjadi tanpa peduli halal dan haram. 
Kita bisa melihat betapa praktik-praktik transaksional bisa terjadi dan jauh-jauh hari pun kecurangan pemilu terjadi di masa orde baru, hanya saja tidak sevulgar masa sekarang yang mengelu-elukan kebebasan pers.

Hari ini, dengan kebebasan yang ada orang bisa mengakses internet dan media sosial sehingga bisa membongkar berbagai kecurangan. Bisa kita pahami bahwa pengusaha, penguasa, serta politisi bekerjasama untuk melakukan kecurangan.

Mengapa mereka melakukan hal tersebut? Karena mereka berkuasa dan penguasa melakukan kecurangan menjadi hal yang biasa. Mereka itulah orang-orang yang tidak takut dosa. Karena mereka sendiri yang membuat hukum dan sangat mungkin untuk diubah-ubah. Itulah demokrasi. Mereka, agar tidak terkesan salah dalam melakukan kecurangan, maka mereka melibatkan masyarakat.

Pemilu itu bukan satu-satunya hal yang ada dalam demokrasi. Namun, itu merupakan ornamen dalam demokrasi agar terlihat cantik. 

Jelas bahwa dalam demokrasi, di antaranya ingar-bingar pemilu senantiasa diopinikan sebagai sebuah perjuangan yang bernilai sangat besar bagi bangsa, pemilu diopinikan sebagai inti demokrasi. Hanya senantiasa berujung pada kemunculan penguasa yang ‘demokratis’, tutur Ustazah.

Selain itu, demokrasi senantiasa mengadopsi semua kepentingan para politisi dan pemilik modal bukan rakyat. Ustazah menjelaskan pula bahwa dalam demokrasi, tidak ada kawan dan musuh abadi, yang ada adalah kepentingan abadi.
Ustazah bertanya dengan begitu, apakah kaum muslim terpedaya demokrasi? Disebutkan dalam hadis berikut: 

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: سيَأتي علَى النَّاسِ سنواتٌ خدَّاعاتُ يصدَّقُ فيها الكاذِبُ ويُكَذَّبُ فيها الصَّادِقُ ويُؤتَمنُ فيها الخائنُ ويُخوَّنُ فيها الأمينُ وينطِقُ فيها الرُّوَيْبضةُ قيلَ وما الرُّوَيْبضةُ قالَ الرَّجلُ التَّافِهُ في أمرِ العامَّةِ

“Akan datang tahun-tahun penuh kedustaan yang menimpa manusia, pendusta dipercaya, orang jujur didustakan, pengkhianatan terhadap amanah yang diberi, orang yang jujur dikhianati, dan ruwaibidhah ikut berkomentar”. Lalu ditanya, “apa itu ruwaibidhah? Beliau menjawab: orang-orang bodoh (Ar Rajul At Taafih) yang mengurusi urusan perkara umum.  (HR. Ibnu Majah)

Maka, tak selayaknya kita ikut-ikutan saat kita melakukan suatu perbuatan. Banyak masyarakat saat mereka mengikuti pemerintah, termasuk misalnya dalam masalah penetapan 1 Ramadan, pemerintah yang menanggung dosanya. Apakah yakin pemerintah yang akan menanggung dosa rakyatnya? Tentu jawabannya tidak, setiap kita akan mempertanggungjawabkan dosa masing-masing. Bahkan, disampaikan bahwa penguasa diberikan azab dua kali lipat.

يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِى ٱلنَّارِ يَقُولُونَ يَٰلَيْتَنَآ أَطَعْنَا ٱللَّهَ وَأَطَعْنَا ٱلرَّسُولَا۠  .وَقَالُوا۟ رَبَّنَآ إِنَّآ أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَآءَنَا فَأَضَلُّونَا ٱلسَّبِيلَا۠  .رَبَّنَآ ءَاتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ ٱلْعَذَابِ وَٱلْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا

“Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikan dalam neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul.”  Dan mereka berkata, "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar." (QS. Al Ahzab: 66 -68)

Oleh karena itu, kita dilarang dalam hal apa pun untuk mengikuti tanpa ilmu.

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ ۚ إِنَّ ٱلسَّمْعَ وَٱلْبَصَرَ وَٱلْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًا

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya. (QS. Al Isra: 36)

Tersebab demikian, umat Islam harus memiliki kekuasaan yang benar yang membawa ketaatan. Ustazah menjelaskan dengan tegas dari Tafsir Ibnu Katsir. Qatadah dalam Tafsir Ibnu Katsir mengatakan, Sesungguhnya Nabi saw. menyadari bahwa dia tidak mempunyai kekuatan untuk mengemban tugas (dakwah) ini kecuali dengan kekuasaan. Karena itu Rasulullah saw. memohon kekuasaan yang menolong kepada Allah untuk membela Kitabullah, batasan-batasan Allah, perkara yang Allah fardukan dan untuk menegakkan agama Allah. Sesungguhnya, kekuasaan itu adalah rahmat dari Allah yang Dia kurniakan di kalangan hamba-hamba-Nya. Seandainya tidak ada kekuasaan ini, pasti sebahagian dari mereka menyerang sebahagian yang lain dan yang paling kuat di antara mereka akan memakan yang lemah dari mereka.

Sudah jelas dari sini bahwa untuk mewujudkan Kekuasaan yang menolong (Sulthonan Nashiro), yaitu: 

1.Politiknya harus berlandaskan Islam. 
Kekuasaan yang diperoleh dalam politik haruslah kekuasaan yang menolong Islam dan umatnya. 

2. Politik yang membawa kepada kekuasaan harus ditujukan untuk melanjutkan kehidupan Islam secara menyeluruh di bawah naungan khilafah. 

3. Politik Islam mestilah bertujuan untuk melayani kepentingan rakyat dan menjaga agama.

Tugas kita adalah mengedukasi masyarakat untuk paham Islam. Umat disuguhkan dua pilihan antara memilih roti atau kunci. Ustazah menutup dengan pernyataan bahwa jawabannya adalah kunci, untuk melepaskan umat dari cengkeraman sistem demokrasi. Wallahualam bissawab. ~Heni~

Posting Komentar

0 Komentar