Clean Votes Lahir dari Clean System


Oleh Rini Sarah


Perhelatan Pemilu senantiasa menyisakan polemik. Tiap periode pelaksanaannya selalu berujung dengan mencuatnya isu kecurangan. Baik kecurangan ketika kampanye, proses pemungutan suara, hingga penghitungan suara. 


Pemilu 2024 pun sama. Isu tentang kecurangan dalam pemilu pun mencuat pascapelaksanaannya. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) bersama Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan 310 dugaan pelanggaran dalam pemilihan umum (pemilu) 2024. "Secara umum, kami menemukan sebanyak 310 peristiwa dugaan kecurangan meliputi pelanggaran netralitas, manipulasi suara, penggunaan fasilitas negara oleh kandidat, politik uang, hingga bentuk-bentuk kecurangan lainnya," kata Wakil Ketua Koordinator Kontras, Andi Rezaldy dalam keterangan tertulis, Jumat (23/2/2024). (Kompas.com, 23/2/2024)


Kecurangan demi kecurangan ini  juga digambarkan dengan gamblang dalam sebuah film viral berjudul Dirty Votes. Berbagai kecurangan yang disebutkan di atas dibeberkan dengan gamblang di film itu. Hingga proses ngotak-ngatik peraturan yang telah dibuat pun dibahas di sana. Peraturan yang dimaksud adalah peraturan syarat pencalonan cawapres. Tujuannya agar cawapres yang diusung salah satu partai bisa lolos verifikasi. 


Dirty Votes yang penuh kecurangan ini tidak mungkin akan terjadi jika tidak diwadahi oleh Dirty System. Ya, kecurangan yang terjadi memang difasilitasi oleh demokrasi sebagai sistem yang melandasi pemilu saat ini dan pemilu-pemilu sebelumnya. 


Teori politik ala Machiavelli (1469-1527) teraplikasi secara faktual dalam sistem ini. Bagi Machiavelli, seperti terungkap dalam bukunya, Il Principe, dunia politik itu bebas nilai. Artinya, politik jangan dikaitkan dengan etika (moralitas). Yang terpenting dalam politik adalah bagaimana seorang raja/penguasa berusaha dengan berbagai macam cara untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan agar menjadi selanggeng mungkin meskipun cara-cara tersebut inkonstitusional bahkan bertentangan dengan nilai-nilai moral.


Segala cara dilakukan demi kekuasaan. Itu sah-sah saja dalam demokrasi. Karena landasan demokrasi adalah kedaulatan di tangan manusia. Manusia bisa dengan seenaknya menyepakati sebuah aturan demi hawa nafsunya. Celakanya, hanya segelintir manusia yang bisa mengakses privilese ini. Yaitu, manusia yang punya kekuatan terutama kekuatan finansial (baca: oligark). Jika rakyat mau melawan dengan mengadukan pada lembaga yang berwenang, tentu saja ini pun akan membentur tembok. Karena lembaga-lembaga tersebut pun tentu “sudah diamankan”. 


Pada prinsipnya jika kita menginginkan clean votes yang bebas dari berbagai kecurangan dan hasilnya bisa memuaskan serta menyejahterakan rakyat mau tidak mau kita harus mewujudkan dulu clean system-nya.


The Clean System is Islamic System


Demokrasi sebagai sistem yang melandasi pemilu di berbagai negara di dunia memang merupakan sistem yang bisa membuat manusia ugal-ugalan. Tidak ada hal yang bisa menyetop (stopper) hawa nafsu manusia dalam sistem demokrasi. Jika seseorang melanggar peraturan, apakah dia bisa dikatakan salah? Jika salah, hal apa yang dia langgar? Muara akhirnya, pasti Undang-Undang yang dilanggar. Tapi, karena prinsip kedaulatan rakyat yang menjadi ruh demokrasi, manusia bisa saja mengubah peraturan jika hal itu disepakati oleh pihak-pihak yang berkuasa mengubahnya. Hingga pelanggaran itu menjadi bukan pelanggaran. Terus saja demikian tergantung kepentingan.


Itulah kotornya sistem demokrasi. Hal ini tentu berbeda dengan Islam. Dalam Islam, ada supremasi tertinggi dalam hukum, yaitu Alquran dan Sunah. Muslimin yang menerapkan Islam secara kafah tidak akan berani untuk mengotak-atiknya apalagi mengubahnya. Allah Swt. pun telah menjamin tak akan ada yang akan mampu mengubah Alquran karena Allah akan senantiasa menjaganya. Sebagaimana firman-Nya,  

اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَاِ نَّا لَهٗ لَحٰـفِظُوْنَ

"Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya." (QS. Al-Hijr 15: Ayat 9)


Dalam menutup celah kecurangan, Islam mempunyai hal-hal berikut: Pertama, dari segi asas. Islam menjadikan asas dalam berpolitik dan beramal adalah akidah Islam. Hal ini akan melahirkan sikap takwa. Takwa akan tercermin dari ketaatan pada seluruh hukum Allah. 


Dalam hal pemilihan pemimpin, para kontestan, pihak-pihak penyelenggara pemilihan, dan pemilih tentu saja akan mempunyai paradigma sesuai dengan Islam serta mereka akan terikat dengan pemahaman plus hukum-hukum syariatnya. 


Bagi para calon pemimpin, dia akan sadar bahwa untuk melaju meraih kursi kekuasaan tidak bisa digapai dengan berbagai cara. Semua harus sesuai dengan hukum Islam. Islam mengharamkan kecurangan dalam hal apa pun. Dalam QS Al Muththafifin ayat 1, Allah mencela, menegur dengan keras, dan mengancam orang-orang yang curang dengan redaksi, “Celakalah orang-orang yang curang!” KH Rohmat S Labib, Ulama Ahli Tafsir, mengatakan para pengurang takaran yang biasanya hanya mengambil sedikit saja oleh Allah diancam dengan Al Wail (Neraka), apalagi mereka yang curang dengan sesuatu yang lebih besar. Urusan kepemimpinan adalah hal yang lebih besar daripada mengurangi takaran. Oleh karena itu, setiap mukmin pasti akan takut dengan hal ini. Ia akan sadar untuk tidak melakukan kecurangan sebab takut akan murka Allah. 


Selain itu, para calon pemimpin juga akan menyadari bahwa amanah kepemimpinan itu adalah hal yang berat. Seorang pemimpin dalam Islam akan sadar bahwa konsekuensi dari kekuasaan yang dimiliki dan kebijakan yang dibuat, bukan hanya sekadar berdampak di dunia, tetapi juga berimplikasi terhadap kedudukannya di akhirat. Jika amanah, dia akan dilindungi oleh Allah. Jika khianat, dia akan menjadi hina dan menyesal.


Dalam riwayat dari Abu Dzar al-Ghifari ra. disebutkan ia pernah berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikan aku sebagai pemimpin?” Mendengar permintaanku tersebut, beliau menepuk pundakku seraya bersabda,” Abu Dzar, engkau seorang yang lemah, sementara kepemimpinan itu adalah amanah. Nanti pada Hari Kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut.” (HR Muslim)


Pihak penyelenggara dan pihak-pihak terkait seperti aparat negara dari pusat hingga desa pun sama, dia akan menjalankan tugasnya dengan amanah. Tidak akan bersedia diajak untuk berbuat curang karena ketakwaannya. 


Para pemilih pun sama, mereka tak akan rela disuap demi memilih salah satu calon. Dan, mereka pun akan memilih para wakil rakyat dan pemimpin dengan kualifikasi yang diminta oleh hukum syarak.


Kedua, kekuatan pilar dasar. Dua pilar dalam politik Islam adalah: (1) Kedaulatan di tangan syariah (as-siyaadah li syar’i). Maksud dari hal ini adalah pembuat hukum adalah Allah Swt. semata. Allah berfirman:

إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ ۚ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ

Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus. [QS Yusuf/12: 40]


Dalam ayat ini diterangkan bahwa hanya Allah-lah yang memiliki kewenangan dalam membuat hukum bagi manusia. Manusia sama sekali tidak punya hak untuk itu. Khalifah sendiri sebagai kepala negara Islam yang mempunyai hak untuk melegislasi hukum tidak punya hak untuk membuat hukum. Hukum yang dilegislasi oleh khalifah semua bersumber pada Alquran, Assunnah, Ijma, dan Qiyas saja. Oleh karena itu, tidak akan ada perubahan hukum demi melegalkan kecurangan/pelanggaran hukum dengan cara mengubah konstitusi.


(2) Kekuasaan di tangan umat (as-sulthaan li al-ummah). Artinya, umat yang memiliki pemahaman Islam dan kesadaran politik yang tinggi akan menjadi penentu “hitam-putih” siapa yang akan memimpin dan mengawasi jalannya kekuasaan melalui mekanisme koreksi dan kontrol kepada penguasa (muhaasabah dan amar maruf nahi munkar). Semua kesadaran ini dimanifestasikan dalam bentuk partisipasi politik yang dilakukan, juga karena dorongan keimanan dan ketakwaan melalui kekuatan pribadi, partai politik Islam, dan kelembagaan yang ada: Majelis Umat dan Mahkamah Mazhalim. Bukan karena ingin mendapatkan jatah jabatan tertentu.


Ketiga, mekanisme koreksi penguasa yang berlapis. Proses ini dilakukan secara individu, kelompok (partai politik Islam), kelembagaan atau institusi (Majelis Umat dan Mahkamah Mazhalim). Ketika terjadi kecurangan yang merupakan pelanggaran hukum syarak, maka umat akan bergerak. Mereka akan mengoreksinya. 


Bahkan, jika terjadi sengketa maka Mahkamah Mazhalim yang akan menyelesaikannya. Tentu saja, ketika Mahkamah Mazhalim sedang melakukan tugasnya Khalifah atau aparat negara lain tidak bisa mengintervensi apalagi memecatnya. Karena hukum syarak telah melarangnya. Mahkamah Mazhalim akan bersifat indefendent dan hanya tunduk pada Allah dan Rasulullah saja.


Jika sistem Islam ini diterapkan secara kafah dalam negara Khilafah, insya Allah, dirty votes akan bisa diatasi. Karena Islam adalah satu-satunya Clean System yang bisa melahirkan Clean Votes. Wallahualambishawab.


Posting Komentar

0 Komentar