Deni Martanti: Demokrasi Berbiaya Tinggi dan Merusak Mental


Tangerang Selatan – Pengusaha kuliner sekaligus aktivis di Kota Tangerang Selatan, Deni Martanti, menegaskan bahwa saking rusaknya, maka berpolitik dalam di sistem demokrasi itu butuh biaya tinggi dan sangat merusak mental. Hal tersebut disampaikan dalam Diskusi Konstruktif Tokoh Muslimah Kota Tangerang Selatan, Sabtu, 16 Maret 2024 saat merespons pertanyaan peserta diskusi.

“Dalam pemilihan agar terpilih hanya ada dua. Pertama, jika seseorang punya uang. Kedua, jika punya kekuasaan. Kalau tidak punya salah satunya lebih baik tidak usah. Saking rusaknya, berpolitik di sistem demokrasi butuh biaya tinggi dan sangat merusak mental,” lugasnya.

Peserta diskusi yang menanyakan apakah bahayanya memperjuangkan Islam melalui jalur demokrasi, wanita yang akrab dipanggil Deni itu mengatakan, “Selama kita memperjuangkan Islam dalam keadaan sistem demokrasi, mau siapa pun sekelas ustaz memiliki riwayat pendidikan yang banyak, akan terbawa pada arus yang sudah ada, tentu tidak mudah menguatkan diri. Karena banyak sekali anggota DPRD satu periode terjerat korupsi.”

“Harusnya kita mempalajari agama Islam bukan hanya terkait soal ibadah, bagaimana berwudu, membaca Yasin. Hal-hal ini saja yang selalu dibahas. Bukan berarti tidak perlu, tetapi ada hal lain yang lebih penting lagi untuk dibahas. Karena jika hanya seperti ini terus maka pemikiran kita akan selalu dijajah. Sebab banyak intrik untuk melanggengkan demokrasi dengan menyusup pada pemahaman masyarakat,” lanjut Deni membeberkan fakta demokrasi.

Mustahil

Jawaban atas pertanyaan pertama, sebelumnya sudah disampaikan bahwa UU yang telah disahkan pada 2023, pada tindak pidana pasal 188-190. Pada pasal 190 merupakan detil dari pasal sebelumnya. UU ini akan diberlakukan di 2 Januari 2026, ketika kita memperjuangkan Islam dalam sistem demokrasi. Sebelumnya dari perspektif yang mana?

“Demokrasi sudah cacat dari lahir dan memisahkan agama dengan kekuasaan. Jadi bagaimana kita bisa berkolaborasi antara demokrasi dan Islam? Tentu tidak bisa, karena jelas demokrasi terlahir dari sistem sekuler,” tegas Deni.

Lanjut dikatakan, sebuah kemustahilan untuk bercita-cita memperjuangkan syariat Islam yang merupakan kewajiban, justru semakin dipersulit. “Dalam UU Nomor 1 Tahun 2023 Pasal 188-190 dinyatakan hanya berangan-angan saja tidak boleh. Belum lagi surat edaran salah satu menteri terkait pengeras suara masjid sudah diatur sedemikian rupa agar kita tidak menjalankan keinginan sebagai umat Islam,” paparnya.

“Jelas faktanya, malah menyesakkan umat Islam untuk melakukan syariat agamanya. Dari 87 persen sebagai jumlah penduduk di Indonesia yang beragama Islam, hal sederhana yang dilakukan keseharian saja begini, apalagi mewujudkan agenda besar yakni menegakkan syariat kafah. Maka memperjuangkannya dalam keadaan demokrasi sangat mustahil, berbagai aspek polanya sudah sangat berbeda,” tuturnya.

Memungkasi jawabannya, Deni menyarankan untuk langkah awal, semua bisa menyamakan frekuensi. Sebab, butuh cara yang tepat untuk mewujudkan keinginan menerapkan Islam kafah.[] Rere

Posting Komentar

0 Komentar