Fenomena Bunuh Diri Satu Keluarga, Bukti Rapuhnya Keluarga

 


Oleh Siti Rima Sarinah


Akhir-akhir ini kasus bunuh diri yang melibatkan anggota keluarga  mencuat di berbagai daerah. Kasus bunuh diri satu keluarga di kawasan Penjaringan Jakarta Utara, menambah deretan panjang kasus bunuh diri yang melanda keluarga di negeri ini. Menurut Kapolsek Metro Penjaringan, Kompol Agus Ady Wijaya, satu keluarga tewas jatuh dari lantai 22 apartemen dalam keadaan tangan yang saling terikat. Korban yang berjumlah empat orang mengalami luka kepala, kepala pecah bagian belakang, patah di sekujur tubuh, kedua tangan dan kaki.  (viva.co.id, 12/03/2024)

Sejumlah kasus bunuh diri yang terjadi dengan beragam motif yang melatarbelakangi tindakan tersebut, dari depresi hingga tekanan ekonomi. Kasus bunuh diri ini juga marak terjadi pada mahasiswa, remaja, bahkan anak-anak. Berdasarkan data Pusat Informasi Polri ada 971 kasus bunuh diri di Indonesia sepanjang periode Januari hingga 18 Oktober 2023. Angka ini sudah melampaui kasus bunuh diri di tahun 2022 yang jumlahnya 900 kasus. (detiknews, 22/01/2024)

Fakta ini menunjukkan bahwa kondisi masyarakat tidak baik-baik saja dan dibutuhkan segera keterlibatan berbagai pihak khususnya negara, untuk mencegah peristiwa serupa terulang. Bunuh diri memang seakan menjadi solusi untuk menghadapi berbagai problem kehidupan yang mendera masyarakat. Tidak dipungkiri, beratnya beban kehidupan yang semakin sulit baik secara ekonomi maupun sosial diduga kuat menjadi pemicu terjadinya fenomena  gangguan mental seperti stres dan depresi. Hal inilah yang menjadi faktor pemicu mengapa banyak orang yang mengakhiri hidupnya dengan cara yang tragis.  Ditambah rapuhnya tatanan keluarga dan kurangnya iman juga menjadi faktor lain menjadikan bunuh diri sebagai jalan pintas.  

Stres sosial yang dialami oleh masyarakat akibat beratnya menjalani kehidupan di alam kapitalis sekuler. Sistem inilah yang menjadi biang kerok lemahnya mental masyarakat menghadapi berbagai kesulitan hidup. Sekularisme yang menjauhkan nilai agama dalam kehidupan telah sukses menciptakan masyarakat mengalami sakit mental kronis. Akhirnya, keluarga menjadi rapuh ditambah minimnya iman dalam keluarga dan masyarakat merupakan prestasi sekularisme yang telah menjauhkan agama dari kehidupan masyarakat.

Padahal, agama sangat berperan penting sebagai obat penawar lemahnya mental masyarakat di negeri ini yang notabene beragama muslim. Namun sayangnya, pengajaran agama yang membentuk kerangka keimanan dalam membangun mentalitas yang kokoh generasi justru tidak ditanamkan di lembaga-lembaga pendidikan. Dan kebanyakan masyarakat pun mengabaikan agama, tidak mengerti agama, dan tidak mau belajar. Walhasil, masyarakat dan generasi tidak mampu menemukan solusi yang benar tatkala menghadapi persoalan.

Hal ini terjadi tak lepas dari sistem yang mengagungkan akal manusia yang lemah, telah mengatur seluruh lini kehidupan dengan asas yang batil. Maka wajarlah menghasilkan potret masyarakat yang rentan dengan sakit mental dan menjadikan bunuh diri sebagai jalan pintas untuk mengatasi persoalan hidupnya. 

Lalu apa yang dilakukan oleh negara untuk mengatasi masyarakatnya yang sedang mengalami sakit mental akut? Tidak ada yang dilakukan oleh negara. Justru keberadaan negara memperparah dengan penerapan sistem aturan di seluruh lini kehidupan bernafaskan kapitalis sekuler. Negara dengan asas sekuler enggan terlibat dan tidak peduli untuk mengurusi urusan moral masyarakat dan generasi. Walaupun begitu banyak kasus bunuh diri, kekerasan, KDRT, kriminal, dan lain sebagainya terjadi di tengah masyarakat.

Sudah jelas terbukti bahwa apapun yang dibawa oleh peradaban kapitalis sekuler hanyalah kerusakan. Sistem ini telah gagal total untuk mewujudkan individu-individu masyarakat yang memiliki ketahanan mental berbasis keimanan sehingga gagal melahirkan generasi, keluarga, dan masyarakat dengan kehidupan yang makmur dan sejahtera. Sehingga peradaban sampah ini harus dibuang dan diganti dengan peradaban yang menjadikan agama sebagai pondasi dasar dalam menjalani kehidupan. 

Peradaban Islam sebagai satu-satunya peradaban yang menghadirkan peran Sang Pencipta dalam kehidupan. Selama belasan abad lamanya peradaban Islam telah berhasil menghadirkan kebahagiaan hakiki bagi umat manusia dalam kehidupan. Sistem yang menjadi support system bagi kesehatan mental masyarakat. Sebab, akidah Islam yang menjadi asas kehidupan memiliki aturan sesuai dengan akal dan fitrah manusia. Dengan landasan akidah inilah umat mampu menghadapi berbagai ujian kehidupan.

Aturan Islam yang maha sempurna diterapkan oleh penguasa di seluruh lini kehidupan umat manusia. Sehingga dapat mewujudkan nilai-nilai yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan, dari nilai ruhiyah, madaniyah, akhlakiyah, dan insaniah. Realisasi nilai-nilai dalam kehidupan inilah mampu mewujudkan generasi, keluarga, dan masyarakat yang tangguh berlandaskan keimanan dan ketakwaan.

Maka penguasa dalam Islam sangat memahami dengan sungguh-sungguh bahwa rakyat adalah amanah yang harus dijaga, diurus, dan dilindungi bak hewan gembalaanya. Menjaga hak-hak seluruh rakyat dan menjamin kebahagiaan mereka dengan tercukupi semua kebutuhan pokok secara adil dan merata. Selain itu penguasa pun berperan aktif dalam pembinaan generasi, keluarga, dan masyarakat yang tertuang dalam sistem pendidikan dan sosial untuk menanamkan ideologi Islam yang kokoh yang akan menumbuhkan sosok-sosok muslim berkepribadian Islam yang siap terikat dengan hukum-hukumnya dan mendakwahnya.  

Walhasil, hanya ada satu sistem yang layak diterapkan dan hadir di tengah umat manusia saat ini, yaitu peradaban Islam dalam naungan sistem khilafah islamiyah. Maka sistem ini harus diperjuangkan oleh seluruh umat Islam agar umat manusia bisa kembali menjalani realitas kehidupan dengan penuh kebahagiaan dalam naungan cahaya Islam. Wallahua’lam


Posting Komentar

0 Komentar