Kerusakan generasi hari ini semakin menjadi-jadi. Suasana Ramadan tidak menghalangi aksi tak terpuji oleh sekelompok remaja, melakukan aksi kekerasan yaitu perang sarung. Perang sarung adalah jenis tawuran yang menggunakan alat berupa kain sarung yang bagian ujungnya diikat dengan batu, gir atau sajam yang biasanya dilakukan pada bulan Ramadan. Perang sarung ini merupakan tradisi berujung pada tindak kriminalitas yang telah banyak memakan korban.
Maraknya aksi perang sarung yang dilakukan oleh sekelompok remaja di Kota Bogor, sangat meresahkan masyarakat. Empat pelaku dan seorang perekam tawuran perang sarung yang sempat viral di media sosial ditangkap polisi. Para pelaku yang ditangkap masih berstatus pelajar asal Kota Bogor. Kepala Polresta Bogor Kota, Komisaris Besar Teguh Prakoso menjelaskan pemicu aksi perang sarung berawal dari saling ejek, lalu janjian melalui media sosial untuk saling bertemu. Dalam kejadian tersebut Polresta Bogor menangkap 4 orang remaja dan juga mengamankan 25 remaja yang terlibat kegiatan serupa dilokasi lain. (viva.co.id,13/03/2024)
Aksi perang sarung ini seakan dilakukan massif oleh sekelompok remaja hampir di setiap wilayah di negeri ini. 27 remaja Cianjur diringkus saat perang sarung yang diisi dengan batu dan 4 orang terluka. Perang sarung jelang sahur marak terjadi di Kota Semarang, 50 remaja di Ngaliyan diamankan. ABG di Lampung Selatan dan Bekasi meninggal dunia diduga lakukan aksi perang sarung. Fenomena perang sarung ini membuat generasi semakin ganas dan brutal. Hanya karena masalah sepele dengan mudahnya para remaja melakukan kekerasan yang berujung pada kematian.
Fenomena kekerasan ini bak penyakit menular dilakukan oleh generasi hingga tak segan-segan menyebarkan video aksi kekerasan ke media sosial. Fakta ini memperlihatkan bahwa para pemuda saat ini ber-“sumbu pendek” menyelesaikan setiap permasalahan hanya dengan jalan kekerasan. Potret rusaknya generasi hari ini muncul dengan sendirinya, ada faktor-faktor tertentu yang menyebabkan mengapa terlahir generasi bengis dan brutal. Di antaranya beredarnya konten-konten kekerasan berseliweran dengan bebas di dunia maya, internet, game, dan lain sebagainya. Sehingga aksi kekerasan seakan menjadi sesuatu yang lumrah dilakukan oleh remaja. Akibat konten-konten ini menjadikan remaja “ketagihan” melakukan aksi kekerasan tanpa ada rasa iba ataupun kasian menganiaya teman sebayanya tanpa ampun.
Pada akhirnya para remaja berubah menjadi sosok yang bengis, brutal, dan tak punya hati. Bahkan menjadi kebanggan tersendiri jika pihak lawan bisa mereka habisi hingga nyawanya melayang. Tak terbersit sedikit pun rasa takut dalam diri mereka, dan mereka seakan menjadi kalap menggunakan berbagai senjata tajam untuk melumpuhkan lawannya.
Padahal para remaja ini adalah tumpuan harapan bangsa di masa yang akan datang. Apa jadinya nasib bangsa ini apabila para remaja telah berubah menjadi sosok yang suka menyakiti atau bahkan membunuh kawan sebayanya hanya karena hal sepele ataupun demi rasa setia kawan yang salah kaprah. Melihat kondisi ini, wajarlah apabila orang tua merasa khawatir melihat potret generasi yang jauh dari harapan orang tua dan harapan bangsa.
Di sisi lain kebanyakan masih berstatus pelajar yang mengenyam pendidikan di sekolah, namun pendidikan yang mereka peroleh tidak mampu merubah tabiat rusak yang ada dalam diri remaja, mengapa? Hal ini disebabkan sekularisme yang menjadi nafas aturan kehidupan hari ini ternyata yang menjadi biang kerok lahirnya generasi yang suka dengan kekerasan. Sekularisme yang menihilkan peran agama dalam kehidupan telah melahirkan pola hidup hedonis, permisif, dan liberal. Tidak menjadikan agama sebagai petunjuk dalam kehidupan, dan hanya menjadikan materi sebagai standar keberhasilan. Walhasil, generasi makin jauh dari nilai ketaatan kepada Rabb yang menciptakannya.
Sistem pendidikan berasas sekularisme justru bertolak belakang dengan tujuan pendidikan nasional untuk mencerdaskan dan melahirkan generasi yang beriman dan bertakwa. Karena output kurikulum sekularisme hanya mampu mencetak generasi yang pintar di atas kertas, tetapi jauh dari aturan agama sehingga lahirlah generasi rapuh yang tak mampu menyelesaikan persoalan kehidupan dengan benar. Jadi bagaimana mungkin akan lahir generasi beriman dan bertakwa dalam nafas sekularisme?
Untuk mencetak generasi cerdas, beriman, dan bertakwa tidak akan mungkin terwujud apabila negara lepas perannya sebagai pengurus urusan rakyat. Sebab, negara menjadi pihak berwenang untuk menjaga dan melindungi generasi agar output pendidikan sesuai dengan harapan. Jika kita berkaca pada sejarah peradaban peradaban Islam, di mana terbukti telah mampu melahirkan generasi emas yang bukannya faqih fiddin (menguasai ilmu agama) melainkan juga terdepan dalam sains dan teknologi. Walhasil lahirnya ribuan ilmuwan, para penakluk, para penemu, dan polymath yang keilmuan mereka sangat berkontribusi untuk peradaban dunia hingga hari ini.
Negara senantiasa hadir sebagai junnah/ perisai bagi generasi untuk membentengi dan melindungi mereka dari hal-hal yang merusak. Mereka dididk dengan kurikulum pendidikan berbasis akidah Islam yang memiliki pola pikir dan pola sikap Islam yang melandasi setiap amal perbuatan mereka. Dengan kata lain mereka berpikir dan berbuat dengan landasan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt., sehingga mereka menjadi sosok generasi yang senantiasa berlomba-lomba pada kebaikan dan terus melakukan inovasi yang dapat berkontribusi untuk kemaslahatan manusia.
Negara memberikan kemudahan untuk setiap individu rakyat untuk mengenyam pendidikan secara gratis. Sebab, pendidikan merupakan kebutuhan pokok yang wajib difasilitasi dan dijamin oleh negara. Sehingga orang tua tidak perlu dipusingkan dengan biaya sekolah karena negara sudah memberikan dengan cuma-cuma.
Selain itu negara juga menciptakan suasana lingkungan yang kondusif bagi masyarakat, dan tidak mentolerir segala bentuk pemikiran dan pemahaman asing yang merusak. Dan menutup rapat-rapat celah yang menjadi peluang masuknya pemikiran yang rusak dengan menutup akses yang berbau kekerasan, pornografi, dan lain sebagainya. Suasana masyarakat dibangun dengan suasana saling mengingatkan sebagai kontrol sistem di tengah masyarakat. Dan negara menerapkan sanksi yang berat dengan efek jera kepada siapa saja yang melakukan kejahatan agar pelaku tidak mengulangi kejahatannya.
Sudah sangat jelas untuk mewujudkan generasi emas membutuhkan negara dan sistem yang mendukung. Tanpa adanya sistem dan negara segala upaya yang dilakukan takkan menghasilkan apapun, selain kerusakan bagi generasi. Oleh karena itu, negara dan sistem yang mampu menyelamatkan generasi dari kerusakan yaitu penerapan Islam secara menyeluruh. Jika tidak, output generasi yang dihasilkan menjadi produk sekuler yang bengis dan brutal. Maka sistem manakah yang akan kita pilih? Memilih sistem Islam atau sekuler untuk diterapkan atas manusia? Wallahua’lam
Oleh Siti Rima Sarinah
0 Komentar