Genosida di Palestina Butuh Kekuatan Adidaya untuk Menghentikannya




Oleh Dewi Purnasari

Aktivis Dakwah Politik


#Depok - Genosida Zionis Israel masih terus berlanjut di Palestina. Senin dini hari (12/2/2024) tentara Zionis merangsek ke Rafah, wilayah terluar Gaza yang berbatasan dengan Mesir. Lewat serangan udara besar-besaran, Zionis melakukan serangan brutal kepada hamper 2 juta warga Palestina yang terpojok di Rafah. Warga yang tinggal di tenda-tenda pengungsian minim makanan, air dan obat-obatan tak pelak kembali menjadi korban kebiadaban Zionis Israel.


Serangan Zionis Israel ke Gaza telah menelan korban meninggal lebih dari 29 ribu orang sejak serangan Hamas 7 Oktober 2023. Kini ratusan ribu orang warga Palestina mengungsi di Rafah, yaitu kota terakhir yang selama ini belum tersentuh oleh pasukan darat Israel. Namun, pada Senin (26/2/2024) Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengumumkan dimulainya invasi darat ke kota Rafah untuk meraih ‘kemenangan total’ yang direncanakannya atas Palestina.


Sebenarnya pada Jumat (16/2/2024) Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell telah memperingatkan Pemerintah Israel untuk tidak melakukan serangan militer ke Kota Rafah, Gaza Selatan tempat lebih dari satu juta warga Palestina mengungsi. Menurut Borrell, serangan militer ke Rafah dapat memperburuk kondisi pengungsi Palestina menyusul penghentian dana bantuan kepada pengungsi Palestina pada akhir Januari 2024 lalu.


Badan Bantuan dan Pekerjaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) memang mengalami kesulitan pendanaan setelah negara-negara donatur utama menghentikan atau menangguhkan pemberian dana bantuan. Hal ini terkait dengan tudingan Israel bahwa ada 12 staf lembaga tersebut yang terlibat serangan Hamas pada 7 Oktober 2024 lalu. Sebelas negara donatur yang menghentikan pendanaan tersebut adalah Amerika Serikat (AS), Kanada, Australia, Inggris, Italia, Jerman, Austria, Jepang, Finlandia, Belanda dan Swiss. 


Padahal negara-negara tersebut, menurut data resmi UNRWA, telah menyumbangkan total US$ 667,2 juta (Rp 10,5 triliun) sepanjang tahun 2022. Dana bantuan tersebut tergolong besar, bahkan jika dibandingkan dengan dana yang disumbangkan oleh negara-negara donatur lainnya yang hanya mencapai US$ 496,5 juta (Rp 7,8 triliun) saja. Kini hampir 2 juta warga sipil di Jalur Gaza terancam kelaparan mengerikan karena dihentikannya dana bantuan dari UNRWA untuk kelangsungan hidup mereka sehari-hari.


Ramadhan Dijadikan Momen untuk Melancarkan Ancaman dan Serangan

Menteri Masa Perang Israel Benny Gantz dalam Konferensi Pemimpin Organisasi Yahudi Utama Amerika pada Ahad (18/2/2024) di Yerusalem mengatakan, “Dunia dan pemimpin Hamas harus tahu bahwa jika pada Ramadhan warga kami yang disandera tidak pulang ke rumah, maka pertempuran akan diperluas ke wilayah Rafah.”


Lebih lanjut Gantz mengatakan bahwa Hamas harus segera melepaskan dan menyerahkan sandera (warga Israel) supaya Muslim Gaza bisa merayakan bulan suci Ramadhan. Pernyataan Gantz yang dikutip surat kabar The Times of Israel tersebut jelas merupakan ancaman kepada Hamas supaya segera melepaskan sandera yang masih ditahan oleh Hamas. Jika tidak dilakukan, maka militer Zionis Israel akan menyerang Rafah. Sangat jelas bahwa ‘dalih sandera’ ini akan mengakibatkan bertambah banyaknya korban pengungsi Palestina. 


Pernyataan omong kosong juga datang dari Presiden Amerika Serikat Joe Biden pada kamis (15/2/2024). Biden mengatakan kepada Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bahwa operasi militer Israel harus disertai dengan kepastian akan keselamatan dan dukungan bagi warga sipil di Rafah.  Biden juga menekankan agar bantuan kemanusiaan untuk warga sipil di gaza  dapat diterima, tanpa diblokir oleh Israel seperti yang selama ini dilakukan. Pernyataan Presiden Biden ini hanya lips service belaka, karena nyatanya AS menghentikan dana bantuan kemanusiaan yang disalurkan lewat UNRWA kepada warga Palestina. 


Sementara itu, Pelapor Khusus PBB untuk Pembela Hak Asasi Manusia Mary Lawlor mengusulkan pemberlakuan embargo senjata terhadap Zionis Israel. Hal ini mengingat kondisi yang sangat mengerikan di Gaza sudah melampaui batas kemanusiaan. Jika embargo senjata diberlakukan, maka siapa saja atau negara mana saja tidak boleh memasok senjata ke Israel. 


Namun, usulan tersebut hanya dianggap angin lalu oleh Pemerintah AS karena nyatanya dalam pemberitaan di The Wall Street Journal pada Sabtu (17/2/2024) ditulis bahwa AS sedang bersiap mengirim senjata berupa bom, peralatan panduan Joint Direct Attack Munition (JDAM) dan murang peledak ke Israel. Seruan gencatan senjata saat Ramadhan 2024 juga telah diucapkan oleh Wakil Presiden AS Kamala Harris dalam pidatonya di Alabama pada Minggu (3/3/2024). Namun, lagi-lagi AS bermuka dua karena di satu sisi menyerukan gencatan senjata, tetapi di sisi lain mengirimkan persenjataan ke Israel.


Satu-Satunya yang Dibutuhkan adalah Kekuatan Adi Daya Negara Islam

Demikianlah kondisi menyedihkan dalam situasi yang mengerikan diderita oleh warga Gaza hingga hari ini. Bahkan di saat umat Islam di berbagai belahan dunia bergembira menyambut datangnya bulan suci Ramadhan, umat Islam di Gaza sangat jauh dari merasakan gembira. Jangankan untuk bergembira, bahkan untuk mempertahankan hidup hingga esok saja tidak ada kepastian.


Sementara itu tidak ada solusi konkret bagi penyelesaian masalah penjajahan di palestina hingga hari ini. Sumbangan memang hampir selalu datang berupa makanan, pakaian, obat-obatan dan lain-lain dari berbagai negara. Namun, hanya sebatas itu yang bisa dilakukan oleh banyak negara di dunia ini. Tidak ada satupun negara, gabungan negara, gabungan organisasi dunia atau yang lainnya yang bisa menghentikan penjajahan dan mengusir Zionis Israel dari tanah Palestina. 


PBB pun terbukti tak punya nyali menghadapi Zionis Israel. Terbukti bahwa selama ini lebih dari 33 Resolusi PBB tidak dipedulikan oleh Zionis Israel. Di sisi lain, faktanya AS mendominasi semua kebijakan PBB, padahal AS selalu berposisi ‘we stand with Israel’ hingga kini. AS juga bergabung dalam UNRWA, padahal negara ini selalu mendukung serangan dan genosida yang dilakukan Israel. Sungguh absurd!


Sayangnya hingga saat ini belum kembali tegak negara Islam, padahal institusi ini satu-satunya yang diharapkan bisa menyelesaikan masalah penjajahan di Palestina. Negara Islam juga dipastikan bisa membantu mengatasi berbagai problem yang mendera umat manusia saat ini dengan kekuatan peraturan Islam yang diterapkan dalam undang-undang negara. Negara Islam ketika tegak pasti menjadi negara yang adi daya, yang bahkan mengalahkan semua kedigjayaan negara-negara super power saat ini.  


Hal ini memang terdengar begitu simpel. Karenanya banyak sekali orang yang tidak mempercayai kekuatan negara Islam yang menerapkan peraturan Islam dalam negara. Publik menganggap kekuatan negara Islam hanya ilusi belaka. Bahkan mereka menganggap menegakkan negara Islam adalah sebuah utopia. Mereka tidak memahami bahwa risalah Islam yang dibuat oleh Sang Pencipta dan Pengatur manusia tidak pernah bisa sebanding hebatnya dengan peraturan buatan manusia atau sekumpulan manusia. Sejenius apapun manusia itu.


Sekarang tinggal adanya keyakinan umat akan kebenaran Islam yang diterapkan dalam peraturan negara. Umat Islam memang meyakini Allah sebagai Pencipta dan Pengatur alam semesta. Namun, menjadikan Islam (yang risalahnya terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasullullah) sebagai peraturan negara rupanya belum sepenuhnya yakin. Umat Islam juga sebagian meyakini penuh bahwa Islam bisa diterapkan dalam peraturan negara, sebagian lagi masih belum meyakini.


Padahal sungguh risalah Islam jika diterapkan secara menyeluruh dalam institusi negara pasti bisa menyajikan solusi bagi problematika manusia. Bahkan bukan hanya mengatasi problem penjajahan di palestina saja. Ini karena Islam berisi risalah yang menjelaskan segala sesuatu dan memberikan solusi bagi segala sesuatu. Sebagaimana firman Allah, yang artinya: "Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (Alquran) untuk menjelaskan segala sesuatu. (QS al-Nahl ayat 89). []


Posting Komentar

0 Komentar