Oleh Siti Rima Sarinah
Hingga hari ini rekapitulasi suara hasil pemilihan umum (Pemilu) yang diselenggarakan pada tanggal 14 Februari 2024 masih terus berlangsung. Antusias masyarakat menunggu kepastian hasil rekapitulasi pemilu untuk mengetahui siapakah calon pemimpin negara dan jajaran para pejabat lainnya yang akan mendapatkan kursi kekuasaan sebagai wakil rakyat. Antusiasme masyarakat ini sebagai bentuk secercah harapan besar terhadap pemimpin baru yang kelak akan memberikan kehidupan ekonomi yang lebih baik dari sebelumnya.
Di balik rekapitulasi suara yang ditunggu-tunggu hasilnya, terselip beberapa kasus hilangnya ribuan suara dari real count. Hal ini dialami oleh Yane Ardian Rachman, yang merupakan Caleg dari Partai Amanat Rakyat yang juga istri dari Walikota Bogor, Bima Arya. Berdasarkan hasil penghitungan KPU per tanggal 17 Februari 2024, suara yang diraih oleh Yane Ardian sebanyak 9.558. Namun pada saat meninjau kembali perhitungan per tanggal 19 Februari 2024 suara istri Walikota Bogor itu turun drastis menjadi 4.713. (tvonenews.com, 20/02/2024)
Hal yang serupa juga dialami oleh paslon Capres dan Cawapres no 1. Deputi Hubungan Antar lembaga Tim Pemenangan Nasional paslon No 1, Putra Jaya Husain mengatakan sebanyak 3,4 juta suara hilang dalam waktu setengah jam. Data KPU pada Kamis, 15 Februari 2024 pukul 19.00 wib, suara Anies dan Muhaimin telah mencapai 13,243.659 suara atau 31,97 persen. Namun dalam waktu singkat suara paslon no 1 hilang sebanyak 3,4 juta suara. (tempo.co, 17/02/2024)
Manipulasi rekapitulasi suara tentu membuat khawatir peserta pemilu. Dan hilangnya suara pada perhitungan pemilu tentu menimbulkan tanda tanya besar. Apakah merupakan sebuah kesalahan sistem atau memang ada hal-hal yang sudah didesain? Kecurangan demi kecurangan dalam Pemilu bukan hal yang baru terjadi, bahkan kecurangan ini kerap terjadi di pemilu-pemilu sebelumnya. Sebab, kecurangan ini terjadi bukan karena orang-orang yang tidak jujur, melainkan dampak penerapan sistem demokrasi yang membuka peluang terjadinya kecurangan.
Pasalnya curang demi meraih kekuasaan, hal lumrah dalam politik sekuler demokrasi.
Praktik kecurangan merupakan salah satu modus yang kerap dilakukan oleh peserta pemilu dengan membayar orang tertentu di tempat pemungutan suara (TPS) hingga di tempat rekapitulasi suara untuk mencuri suara lawan bahkan kawan satu partai. Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur agustyati mengatakan proses rekapitulasi suara yang panjang dan masih manual membuat ruang transaksional kerap terjadi. Di pileg kerawanan suara hilang tak hanya dilakukan oleh lawan beda partai, tetapi juga bisa dilakukan sesama satu partai demi bisa duduk di parlemen. (tirto.id, 21/07/2023)
Inilah potret bobroknya sistem demokrasi yang tegak di atas landasan sekularisme yang tidak mengenal konsep halal haram dan senantiasa menggunakan berbagai macam cara demi meraih kekuasaan. Demokrasi yang diagung-agungkan dengan teori klisenya dari, oleh, dan untuk rakyat, diharapkan mampu membawa perubahan bagi negara dan rakyat, hanyalah kamuflase semata. Pemilu dalam panggung demokrasi telah terbukti banyak menghasilkan kebijakan yang ditetapkan penguasa pilihan rakyat justru berselisih jalan dengan keinginan rakyat. Kebijakan politik yang dilahirkan para penguasa yang konon katanya menjadi representasi rakyat, nyatanya hanya representasi kepentingan politik para pemilik uang.
Hingga hari ini sistem demokrasi masih bercokol di negeri ini hanya bisa melahirkan berbagai persoalan kehidupan yang tak kunjung terselesaikan. Pasalnya, demokrasi adalah sistem buatan manusia yang serba kurang, serba lemah, dan sarat kepentingan, berusaha ingin mengatur kehidupan dalam keterbatasan dan ketidakmampuan akalnya. Walhasil, demokrasi menjadi sistem yang cacat dan melahirkan berbagai aturan rusak dan merusak.
Sudah sangat jelas perubahan tidak akan bisa diraih dengan jalan demokrasi yang telah terbukti gagal. Maka harus ada upaya untuk mengubah kondisi yang bobrok ini menjadi kondisi yang lebih baik. Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah kondisi suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.” (TQS Ar Ra’du : 11)
Perubahan yang dimaksud dalam ayat di atas bukanlah perubahan dengan bergantinya orang saja tetapi demokrasi tetap langgeng, maka perlahan namun pasti umat semakin terjerumus dalam jurang kehancuran. Melainkan perubahan secara revolusioner (menyeluruh) yaitu perubahan sistem kepemimpinan dengan mewujudkan sistem kepemimpinan Islam yang mampu membawa ke arah perubahan hakiki bagi seluruh umat manusia.
Sistem kepemimpinan Islam berlandaskan keimanan ketakwaan kepada Allah Swt. dengan penerapan hukum-hukum syariat Islam kaffah akan menjamin terwujudnya kehidupan rakyat yang sejahtera dan penuh keberkahan. Sebab, dalam Islam kekuasaan berfungsi sebagai penerap aturan Islam bukan wasilah untuk meraih kursi kekuasaan yang sarat dengan berbagai kepentingan. Para penguasanya pun sangat memahami bahwa kekuasaan yang diembannya adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban di hari akhir kelak.
Oleh karena itu, sudah seharusnya bagi seorang muslim menolak demokrasi dan tak menjadikannya pilihan untuk perubahan. Karena hanya sistem Islam satu-satunya sistem yang akan merubah kondisi umat saat kearah kondisi kehidupan yang lebih baik. Sepanjang sejarah selama 13 abad umat manusia hidup dalam kesejahteraan dan kemakmuran, menjadi bukti nyata bahwa sistem Islam sajalah yang layak diterapkan di bumi milik Allah ini. Wallahua’lam
Yuk raih amal shalih dengan menyebarkan postingan ini sebanyak-banyaknya
Follow kami di
Website : https://muslimahjakarta.net
Instagram : instagram.com/muslimahjakartaofficial
0 Komentar