Oleh Siti Rima Sarinah
#MutiaraQuran - Kepemimpinan merupakan sebuah amanah yang harus dijaga dan tidak boleh dikhianati. Begitu besar dan beratnya amanah menjadi seorang pemimpin, maka tidak semua orang mampu mengemban amanah mulia ini. Sebab, amanah ini kelak akan dimintai pertanggungjawaban apabila lalai dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Namun, apabila seorang pemimpin menunaikan amanah dengan baik, maka ia pun akan mendapatkan balasan yang setimpal.
Allah Swt. berfirman, "Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh, akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia meneguhkan bagi mereka dengan agama yang ia ridai.” (TQS An Nuur: 55)
Islam menetapkan beberapa kriteria seorang pemimpin dan ia dikatakan layak/mampu mengemban amanah kepemimpinan. Di antaranya; muslim, laki-laki, baligh, berakal, merdeka, adil, dan mampu. Kriteria calon pemimpin yang adil adalah ia bukan orang yang fasik, ahli maksiat, ataupun orang yang zalim. Salah satu ciri dari orang fasik atau zalim adalah ia enggan berhukum dengan hukum-hukum Allah Swt. Sebab, walaupun seorang calon pemimpin itu baik, ramah, dan cerdas tetapi enggan menerapkan hukum Allah, maka jelas ia tidak layak menjadi seorang pemimpin.
Adapun kriteria mampu yang harus dimiliki oleh seorang calon pemimpin adalah kapabilitas dalam semua urusan, baik urusan peperangan, pemerintahan yang terwujud dalam kapasitas ilmu dan keadilan, serta kemampuan dalam menerapkan syariat. Dan juga memiliki sifat amanah sebagai bentuk konsekuensi keimanan dan ketakwaannya kepada Allah Swt. yang tidak akan berani mengganti atau menjual ayat-ayat Allah demi apapun dan tidak pernah takut kepada ancaman manusia, kecuali hanya takut kepada Allah Swt.
Seorang pemimpin yang menjadikan keimanan dan ketakwaannya sebagai pondasi kepemimpinannya senantiasa selalu berhati-hati dalam mengatur semua urusan rakyatnya. Ia akan selalu berjalan di atas syariat Islam dan berusaha sekuat tenaga menerapkan hukum Allah sebagai hukum satu-satunya yang diterapkan di muka bumi ini. Hal ini ia lakukan karena menyadari bahwa kepemimpinannya adalah amanah dan kekuasaan yang ia miliki tak membuatnya lupa bahwa semua itu akan dipertanggungjawabkan.
Sikapnya kepada rakyat, lemah lembut dan selalu peduli terhadap apa yang dirasakan oleh rakyat. Ia bukanlah sosok penguasa yang ditakuti oleh rakyatnya, melainkan sosok penguasa yang dicintai oleh rakyat dan ia pun mencintai rakyatnya. Dan senantiasa berupaya agar rakyatnya hidup makmur, sejahtera, dan bahagia. Inilah potret pemimpin hakiki dalam Islam yang seharusnya hadir di tengah-tengah umat hari ini.
Namun sayangnya, sejak Islam tidak dijadikan aturan dalam kehidupan bermasyarakat dan negara, kehidupan umat manusia serta merta berubah drastis. Hukum Allah yang sempurna dicampakkan begitu saja dan diganti dengan hukum buatan manusia yang memiliki begitu banyak keterbatasan. Walhasil kondisi umat semakin hari semakin terpuruk, kemiskinan dan kesengsaraan menjadi potret keseharian masyarakat. Sistem demokrasi sebagai pengganti hukum Allah yang Maha Sempurna, menebar ilusi-ilusi kesejahteraan yang tak pernah terwujud.
Pesta demokrasi yang diharapkan bisa mencetak pemimpin yang amanah dan peduli kepada rakyatnya hanyalah sebuah mimpi belaka. Setiap lima tahun sekali berganti pemimpin namun tetap menggunakan sistem yang sama, ternyata terbukti gagal untuk mewujudkan janji manis para calon pemimpin di masa kampanye. Rakyat pun selalu terbuai dengan janji-janji manis tanpa realitasnya, dan tersadarkan tatkala calon pemimpin pilihan rakyat tersebut mengeluarkan beragam kebijakan yang justru tidak pro terhadap kepentingan rakyat.
Dalam sistem demokrasi yang tegak berdasarkan asas pemisahan agama dalam kehidupan (sekularisme), telah menjadikan kekuasaan sebagai ajang untuk memperkaya diri dan partainya, serta sarat dengan berbagai kepentingan politik. Berapa banyak kasus korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negara dan anehnya korupsi menjadi hal yang lumrah dilakukan oleh pejabat di alam demokrasi. Penguasa dan para pejabatnya bergelimang fasilitas mewah dan gaji yang fantastis dari negara, sedangkan rakyat hidup dalam keadaan kekurangan dan kemiskinan.
Melihat rakyat yang harus antri beras, minyak, dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya yang semakin hari semakin mahal bahkan tak terjangkau oleh rakyat. Tak membuat penguasa bergeming ataupun iba dengan nasib rakyatnya. Bantuan sosial yang tidak seberapa dan tidak semua masyarakat bisa memperolehnya, hanyalah solusi tambal sulam yang tak mampu menyelesaikan persoalan ekonomi rakyat. Bukan hanya ekonomi, kesehatan, pendidikan, listrik, air, dan lain sebagainya yang merupakan hajat hidup rakyat semua dijual dengan harga yang tidak murah.
Maka sudah sangat jelas, bahwa pemimpin yang dinginkan oleh rakyat bukanlah pemimpin dari sistem demokrasi sekuler. Karena pemimpin dalam sistem batil ini hanya menganggap rakyat sebagai pembeli dan negara sebagai pedagang. Pemimpin yang seharusnya mengurus urusan rakyat tidak akan nampak wujudnya dalam sistem ini. Bahkan, walaupun pemimpinnya beragama muslim, tetapi enggan untuk menerapkan syariat Islam.
Oleh karena itu, setiap muslim harus menyadari bahwa kepemimpinan yang hakiki hanyalah berasal dari Islam bukan yang lain. Maka saat ini yang menjadi kewajiban bagi seluruh kaum muslim adalah mengangkat seorang pemimpin sesuai dengan syariat Islam (khalifah). Karena khalifah akan senantiasa hadir di tengah umat untuk menjamin dan memfasilitasi apa saja yang dibutuhkan oleh seluruh rakyatnya. Dan membuang demokrasi sistem rusak dan merusak dari muka bumi ini. Wallahua’lam.
0 Komentar