Khilafah Bukan Ideologi, tetapi Sistem Politik Dalam Islam



ReportaseTangerangSelatan – Aktivis Muslimah Kota Tangerang Selatan, Dewi Yuliana Santi, menjelaskan bahwa politik di dalam Islam disebut dengan khilafah. “Khilafah bukanlah ideologi, tetapi khilafah adalah politik di dalam sistem Islam,” jelasnya dalam Diskusi Konstruktif Tokoh Muslimah Kota Tangerang Selatan dengan presentasi berjudul Quo Vadis Umat 2024, Sabtu (16/03/2024)

“Dalam bahasa Arab, diksi politik berasal dari kata سَاسَ  -  يَسُوْسُ  -  سِياَسَة. Secara etimologi kata al-siyasah adalah mengatur, aturan, dan keteraturan, sedangkan secara terminologi kata al-siyasah adalah hukum Islam yang mengatur sistem kekuasaan dan pemerintahan,” tutur Dewi.

“Imam Al-Ghazali juga menyampaikan bahwa negara dan agama adalah saudara kembar. Agama merupakan dasar, sedangkan negara adalah penjaganya. Sesuatu yang tanpa dasar akan runtuh, dan dasar tanpa penjaganya akan hilang,” lanjutnya menjelaskan.

Dewi mengutip pernyataan Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya Nizhamul Hukmi fil al-Islam pada halaman 34 yang menyebutkan bahwa khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh umat Islam di dunia untuk menerapkan hukum-hukum syariat Islam, dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.

“Di dalam kitab Al-Ahkaam Al-Sulthaniyyah halaman 5, Imam Al-Mawardi menyatakan bahwa imamah itu menduduki posisi untuk khilafah nubuwah dalam menjaga agama serta politik yang sifatnya duniawi,” ungkapnya.

Ketua SKDII (Sahabat Kajian Dasar Islam Intensif) Kota Tangerang Selatan tersebut menyebutkan ada tiga substansi khilafah, “Pertama, syariah yang meliputi institusi pelaksana syariat secara kafah dan hanya berhukum dan berdasarkan syariat Islam. Kedua, terdiri dari ukhuwah dan rahmah, menyatukan umat Islam sedunia, pemutus perbedaan pendapat di antara kaum Muslim, dan wajib ditaati oleh umat Islam. Ketiga, dakwah yang merupakan kewajiban untuk menyebarkan risalah Islam dan melaksanakan jihad.”

Demokrasi Tak Mampu Menyatukan

“Pada sistem demokrasi apa bisa menyatukan umat Islam? Jawabannya adalah tidak. Setelah banyak fakta yang telah disampaikan mengenai keadaan dalam negeri saja sudah menunjukkan ketidakmampuan. Apalagi jika bicara keadaan negeri-negeri Islam lainnya,” ungkapnya.

Ia pun membeberkan bagaimana usaha untuk menyelesaikan permasalahan yang dialami Palestina, “Tak cukup hanya menggalang dana, boikot produk-produk beraliansi dengan Israel, hingga berdoa kepada Allah SWT, maka menjadi kewajiban bagi setiap orang untuk menyerukan khilafah. Sebab, dengan sistem khilafah Islam dapat menjaga keadaan seluruh umat,” yakinnya.

Khilafah versus Demokrasi

“Demokrasi tidaklah sama dengan khilafah dari berbagai hal. Dalam khilafah, kepemimpinan adalah amanah, sehingga tidak sembarang orang bisa menjadi pemimpin. Pemimpin adalah pengurus urusan rakyat dan menjalankan hukum Islam berdasarkan prinsip kedaulatan di tangan syariat (Al -Quran dan As-Sunah Rasul-Nya). Kekuasaan di tangan umat dan bersifat tunggal. Tidak boleh ada kepemimpinan berbilang dalam khilafah,” ujar Dewi menjelaskan.

Sedangkan demokrasi, lanjutnya menjelaskan, kepemimpinan semata-mata berkaitan dengan kekuasaan  dan siapa pun bisa menjadi pemimpin. “Pemimpin hanyalah sebagai regulator dan fasilitator. Dia menjalankan hukum buatan manusia berdasarkan prinsip kedaulatan di tangan rakyat. Kekuasaan dalam demokrasi ada di tangan manusia dengan konsep trias politikanya,” bebernya.

Butuh Khilafah

Dewi menyatakan bahwa konsekuensi keimanan yaitu ketaatan pada syariat secara kafah. “Berbagai dalil wajibnya penerapan khilafah tidak ada perbedaan pendapat dari empat mazhab yang masyhur (Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hanbali). Di antaranya terdapat di dalam surah Al-Qurán ayat 49, hadis riwayat nomor 3428 yang ditulis oleh Ibnu Hajar Al Haitami di dalam kitab As-Shawa’iqul Muhriqah halaman 7, ‘Seorang imam tidak lain laksana perisai, dimana orang-orang akan berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung.’, dan ijmak sahabat, ‘Ketahuilah juga, bahwa para sahabat -semoga Allah meridai mereka- telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib, bahkan mereka menjadikannya sebagai kewajiban paling penting ketika mereka menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan meninggalkan kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW.’,” syarahnya lebih lanjut.

Ia melanjutkan dengan menjelaskan bahwa khilafah adalah bisyarah (kabar gembira) Rasulullah SAW. “Ada lima fase masa yang akan dialami manusia di dunia, yaitu nubuwwah atau kenabian; khilafah ‘ala minhajin nubuwah I (khulafaurasyidin); mulkan adhan yaitu kekuasaan yang menggigit (Umayyah, Abbasiyah, Utsmaniyah); mulkan jabariyan yaitu kekuasaan diktator (masa saat ini di mana tidak menerapkan Islam kafah); kelima yaitu khilafah ‘ala minhajin nubuwah II,” ungkapnya.

“Sekarang kita ada di fase ke-4 yakni mulkan jabariyan. Wajib bagi kita semua untuk memperjuangkan kebangkitan kembali khilafah ‘ala minhajin nubuwah, dan menjadikan agenda utama dan terbesar bagi umat Islam dunia. Memperjuangkan dengan berdakwah mengikuti tahapan dan aktivitas yang dilakukan Rasulullah SAW,” advisnya.

Melanjutkan advisnya, Dewi menegaskan bahwa yang menghantarkan pada keberhasilan tegaknya khilafah adalah wajib sesuai manhaj Rasulullah SAW. “Dimulai dari tahapan membina kader kelompok dakwah dilanjutkan dengan berinteraksi langsung dengan masyarakat, terakhir tahapan penerimaan kekuasaan,” pungkasnya.[] Rere

Posting Komentar

0 Komentar