Oleh Hanin Syahidah
Baru-baru ini Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei terbaru tentang kondisi ekonomi Indonesia dan mayoritas masyarakat menganggap buruk. Direktur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan, mengungkapkan berdasarkan hasil survei yang digelar pada 19-21 Februari 2024, masyarakat yang menilai ekonomi lebih buruk lebih banyak dibanding yang positif (TribbunNews.com, 25/2/2024).
Hal tersebut semakin diperkuat ketika tanggal 9 Maret kemarin menjelang Ramadhan harga pangan berbondong-bondong mengalami kenaikan. Sebutlah beras, padahal sudah sejak beberapa bulan sebelumnya, makanan pokok rakyat ini terus bertengger di posisi atas. Klaim turunnya harga tidak lantas menjadikan beras dengan mudah terbeli di masyarakat. Bahkan antrian masih mewarnai setiap operasi pasar beras murah yang dilakukan pemerintah.
Belum lagi konflik sosial yang muncul di kalangan masyarakat rentan yang tidak mampu membeli beras. Tidak hanya beras, kenaikan juga terjadi pada komoditas pangan lainnya. Seolah semua kenaikan ini menjadi hajatan tahunan menjelang hari besar.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sejumlah bahan pangan mengalami lonjakan harga usai Pemilu atau menjelang Ramadan 2024. Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa, Pudji Ismartini mengatakan, cabai merah, minyak goreng, telur, daging ayam, beras dan gula pasir menjadi penyumbang kenaikan Indeks Perkembangan Harga (IPH) pada pekan ketiga Februari 2024 di sejumlah daerah (Bisnis.com, 19/2/2024).
Selain bahan pangan, BBM per 1 Maret kemarin juga mengalami kenaikan. Sungguh kondisi yang semakin membuat rakyat terjepit. Bahkan muncul rumor pertalite akan dihapus.
Negeri Indonesia yang subur, kekayaan alam yang melimpah, gemah ripah loh jinawi ini ternyata tidak cukup membawa berkah bagi rakyatnya. Menurut Prof Fahmi Amhar, hasil seluruh hutan Indonesia saja bisa senilai APBN negeri ini selama 1 tahun, belum laut, perkebunan, bahan tambang dan minyak bumi. PT Freeport yang keuntungannya setahun 141 T sangat cukup untuk biaya sekolah anak-anak negeri ini mulai PAUD sampai Perguruan Tinggi. Apatah hanya untuk hanya mencukupi kebutuhan pokoknya.
Beras dari tanaman padi, cabai, ayam dan telur semua bisa dihasilkan negeri ini. Namun kenapa seolah sulit didapat oleh rakyat dengan harga murah dan mudah. Jika diteliti lebih jauh, hal itu terjadi karena salah tata kelola sejak dari hulu sampai ke hilirnya. Yakni dalam tataran produksi dan distribusinya dengan memastikan sampai ke masyarakat secara keseluruhan. Bukan hanya dilempar ke pasar kemudian terserah siapa yang mampu mendapatkannya.
Kesalahan tata kelola ini dimulai dari basis sistem yang diterapkan. Mayoritas negeri-negeri di dunia dengan sistem kapitalisme menjadikan semua barang kebutuhan yang ada adalah komoditas yang bisa dibisniskan baik secara riil maupun non-riil (bursa komoditas pangan). Pebisnis itu adalah dari kalangan pengusaha/swasta yang bermain mereka biasa disebut tengkulak/spekulan.
Hal ini lah menjadikan terjadi lonjakan harga. Tidak peduli apakah itu bahan kebutuhan pokok atau bukan, semua di posisi sama. Terlebih kebutuhan pokok adalah lahan bisnis yang sangat menggiurkan karena keberadaanya yang terus dicari. Keuntungan yang besar ini yang dicari para pengusaha yang hanya memikirkan keuntungan pribadinya.
Sementara posisi Pemerintah dalam kapitalisme hanya menjadi "jalan" bagi para pengusaha/swasta ini menguasai semua hajat rakyat tersebut. Mereka bisa sesuka hati "memainkan harga" kebutuhan barang kebutuhan pokok. Kemudian lagi-lagi rakyat yang dirugikan. Pakar agribisnis dari IPB University Bayu Krisnamurthi kenaikan harga pangan dalam negeri sulit untuk dihindari lantaran bahan baku yang mayoritas masih diimpor (Bisnis.com, 17/2/2022).
Padahal bentangan alam yang subur di Indonesia akan sangat mudah dikembangkan baik secara intensifikasi dan ekstensifikasi. Tidak perlu impor bahkan bisa dikembangkan swasembada pangan sampai bisa ekspor ke negara lain. Tapi bukannya itu yang dilakukan, yang terjadi justru sebaliknya. Alih fungsi lahan menjadi infrastruktur atau bangunan lain seolah memperarah kondisi alam negeri ini.
Belum lagi eksploitasi lahan/lingkungan secara besar-besaran yang dilakukan pengusaha/swasta yang mengabaikan Amdal. Karena lingkungan telah rusak, tidak lagi bisa ditanami terpaksa impor menjadi jalan yang dipilih oleh pemerintah sebagai kuratif solution bukan preventif solution. Solusi hanya menjawab kekurangan sesaat, sementara optimalisasi potensi sumber daya alam tidak dijadikan alternatif pilihan. Kalaupun ada pengembangan food estate ternyata menjadi proyek gagal. Padahal sudah terlanjur terjadi penggundulan ratusan hektar hutan.
Guru Besar IPB University Dwi Andreas Santosa menyatakan food estate atau lumbung pangan yang dilaksanakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan dieksekusi Menteri Pertahanan Prabowo gagal total. Menurutnya, tidak ada satupun pembangunan food estate yang sudah direncanakan berhasil. Termasuk food estate di Gunung Mas, Kalimantan Tengah yang diklaim Gibran Rakabuming Raka, anak Jokowi yang sekaligus calon wakil presiden pendamping Prabowo, dalam debat cawapres Minggu (21/1) lalu berhasil (CNNIndonesia.com, 24/2/2024).
Kenyataan yang sangat mengerikan, bagaimana jika negeri ini bertahan dengan sistem seperti ini maka bisa dipastikan, krisis pangan akan terjadi di masa yang akan datang. Ingat kata pepatah "tikus mati di lumbung padi" karena salah tata kelola lahan pertanian ataupun peternakan di negeri agraris seperti Indonesia. Hal ini sangat jauh berbeda dalam Islam, sistem Islam sangat memperhatikan pemenuhan kebutuhan rakyatnya individu per individu apalagi ini berkaitan dengan kebutuhan pokok, dalam hal ini sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan.
Pangan menjadi hal dasar yang harus dipikirkan dengan teliti dan presisi ketersediaannya, termasuk rakyat harus dipastikan bisa mendapatkannya dengan mudah dan murah, ini adalah aspek distribusi yang langsung dilakukan oleh negara, bukan diserahkan kepada swasta, pengusaha atau tengkulak. Sementara dari aspek produksi, iklim kondusif diberikan oleh negara misalnya untuk masalah intensifikasi lahan akan dipermudah dgn pemilihan bibit unggul, kualitas bagus dan cepat panen, pupuk murah bahkan gratis, kajian tentang tanah dan kualitasnya.
Bahkan dalam Islam ada syariat terkait tanah mati. Jadi kepemilikan tanah itu berbanding lurus dengan produktifitasnya. Kalau seseorang yang memiliki tanah tapi tidak mengelolanya selama tiga tahun maka akan diberikan negara kepada orang yang mampu mengelolanya. Jika ada tanah mati maka harus dihidupkan. Jadi negara akan memberikan kepada siapa saja yang mampu mengelolanya.
Sementara ekstensifikasi (pembukaan lahan pertanian baru) dilakukan dengan kajian yang mendalam terkait kelestarian lingkungan, jadi tidak asal membuka lahan yang bisa merusak keseimbangan lingkungan. Demikianlah Islam menyelesaikan masalah lonjakan harga pangan jika itu terjadi secara fundamental. Karena lonjakan harga ini secara pasti akan menyebabkan terjadi goncangan dalam kehidupan ekonomi dan sosial-masyarakat, Maka wajib segera diatasi baik secara preventif dan kuratif, solusi komprehensif hanya akan bisa didapat dari Islam, wallahu a'lam biasshawwab.
0 Komentar