Membaca Arah Kebijakan RUU Daerah Khusus Jakarta


Oleh Anggun Mustanir


Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Dini Purwono mengatakan bahwa DKI Jakarta tetap berstatus sebagai ibu kota negara RI sampai Presiden Jokowi menerbitkan keputusan presiden (keppres) mengenai pemindahan ibu kota negara ke Nusantara. Menurutnya, hal itu sesuai dengan ketentuan peralihan dalam Undang-Undang (UU) Ibu Kota Negara (IKN) (kompas.com, 7/3/2024).


Sebelumnya, sehubungan dengan konsekuensi pemindahan IKN dari DKI Jakarta ke Nusantara. Pemerintah mengajukan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Daerah Khusus Jakarta (DKJ) sebagai tambahan usulan daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023. Perubahan landasan hukum tersebut diperlukan untuk mengatasi kekosongan hukum atas praktik pelaksanaan pemerintahan di Jakarta usai pencabutan status Daerah Khusus Ibu kota. Apabila RUU DKJ tidak segera disahkan, maka peraturan pemerintahan Jakarta akan disamakan dengan daerah lainnya yakni mengacu pada UU No.23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (bisnis.com, 11/9/2023).


Sejak tahun 2019 ketika DKI Jakarta digadang-gadang akan menjadi kota global dan pusat bisnis selepas ibu kota pindah ke Kalimantan, ada beberapa hal yang dinilai bernuansa politis.


Pertama, seperti beberapa RUU lain sebelumnya, beberapa pakar menilai pembahasan RUU DKJ penuh kontroversi dan terkesan terburu-buru, serta rendahnya partisipasi publik dalam pembahasan RUU tersebut. Fraksi PKS dan Mahfud MD mengemukakan berpendapat yang sama, yakni RUU ini memaksakan pembahasan dalam waktu yang sangat sempit. Selain itu dalam perjalanannya, RUU DKJ mempertaruhkan substansi pengaturan yang akan berdampak pada terbatasnya waktu bagi masyarakat berpartisipasi dalam proses penyusunan undang-undang tersebut.


Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mencatat bahwa sejak pandemi Covid-19 melanda negeri, proses legislasi diwarnai dengan proses yang tidak transparan dan partisipatif. Tidak transparan karena sulit bagi publik mendapatkan dokumen terkait pembahasan RUU, baik draft, Naskah Akademik, maupun dokumen hasil rapat pembahasan. Tidak ada kanal resmi penyebarluasan draft RUU dan Naskah Akademik. Adapun dokumen yang terpublikasi terjadi di luar jalur resmi dan dokumen yang tersebar minim akses bagi penyandang disabilitas. Tentu hal tersebut sangat rentan represi (pshk.or.id, 2020).


Kedua, banyak kalangan memprediksi DKJ merupakan sesuatu yang memang dirancang sejak lama yang mengarah pada otoritarianisme. Berdasarkan laman berita CNNIndonesia.com, 14/3/2024, DPR dan pemerintah menyepakati Dewan Aglomerasi Jabodetabek akan ditunjuk langsung oleh presiden. Keputusan itu membatalkan draft rancangan sebelumnya bahwa Dewan Aglomerasi akan dipimpin oleh wakil presiden. Ketentuan lebih lanjut akan diatur lewat Perpres. Nantinya, presiden bisa menunjuk siapapun untuk menduduki posisi tersebut, termasuk jika diberikan kepada wapres.


Sungguh sakti, Keppres seolah menjadi penentu segala kebijakan negeri ini. Tak ayal lagi demokrasi telah berubah menjadi otoritarianisme di negeri yang katanya negara demokrasi terbesar ke-3 di dunia. Demi melanggengkan proyek IKN juga menjadikan Jakarta kota global dan bisnis pemerintah nekat menyusun RUU DKJ ini.


Lucunya, hasil pemilu belum ketuk palu. Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia buru-buru mengonfirmasi bahwa keberadaan Pasal 55 dalam draf Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) tentang posisi wakil presiden selaku pemimpin Dewan Kawasan Aglomerasi bukan demi memberikan kewenangan lebih kepada Gibran Rakabuming Raka. Menurut dia, muatan materi pada pasal tersebut sudah direncanakan sejak lama, bahkan jauh sebelum Gibran memutuskan maju sebagai cawapres bersama Prabowo Subianto.


Ketiga, dalam perjalanannya banyak pakar menuding RUU DKJ sarat kepentingan. DKJ punya kewenangan khusus bidang penanaman modal. Kewenangan khusus ini diatur dalam RUU DKJ Pasal 23 ayat (1) meliputi pengembangan iklim penanaman modal, pelayanan penanaman modal, pengendalian pelaksanaan penanaman modal, dan data dan sistem informasi penanaman modal.


Di Pasal 23 ayat (2) yaitu: “Pemerintahan Provinsi DKJ memiliki kewenangan khusus dalam sub bidang pengembangan iklim penanaman modal yang meliputi kegiatan pengembangan kemitraan usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah (UMKM); serta Koperasi yang bekerja sama dengan usaha besar, baik berupa penanaman modal asing dan/atau penanaman modal dalam negeri”.


Kondisi Jakarta yang masih diselimuti polusi, ancaman banjir dan penurunan tanah serta krisis multidimensi tidak menyurutkan ambisi penguasa mendatangkan para investor mengokohkan jerat imperialisme-nya di Jakarta. Padahal sudah jelas bahwa investasi memberi banyak pengaruh negatif dan kerusakan. Pencemaran lingkungan, berkurangnya lahan produktif, eksplorasi sumber daya alam secara berlebihan dan hasil usaha lebih banyak dibawa ke negara asalnya. Selain itu, Jakarta akan semakin dijejali tenaga kerja asing yang membuat tenaga kerja lokal terdesak.


Dikutip dari laman kompas.com, 6/12/2023, 

Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion Dedi Kurnia Syah menduga DKJ akan menjadi pusat kawasan ekonomi, sehingga akan lebih banyak menguntungkan oligarki, termasuk politisi yang bisa dengan mudah melakukan kontrol pada pengelolaan DKJ. 


Keempat, dikutip dari laman CNBCIndonesia.com, 13/3/2024, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengungkapkan bahwa Jakarta ke depannya akan dibangun menjadi kota internasional seperti New York dan Melbourne. Jakarta tidak lagi bersaing dengan kota-kota besar di kawasan ASEAN, melainkan akan diarahkan untuk bersaing dengan kota-kota besar skala internasional. Jakarta akan menjadi salah satu pusat utama bidang perekonomian, jasa, perbankan, dan lain-lain.


Jika RUU ini benar-benar disahkan menjadi Undang-Undang, dampaknya tentu sangat eksploitatif karena meniscayakan perkembangan bisnis yang selalu beriringan dengan industri hiburan. Faktanya, sistem kapitalisme liberalisme hanya fokus pada pembangunan fisik tanpa memikirkan pembangunan manusia. Sehingga, konsumerisme mendarah daging di kehidupan warga perkotaan.


Walhasil selain merusak lingkungan, karakter negatif tersebut sedikit demi sedikit menggerus moral bangsa dan menjauhkan masyarakat dari nilai-nilai agama. Apalagi nantinya wilayah DKJ diperluas menjadi Jabodetabekjur, tentu kerusakan yang ditimbulkan semakin luas, miris! 


Penguasa asuhan sistem demokrasi kapitalisme menghalalkan segala cara melancarkan aksinya walau harus menggadaikan kehormatan dan integritas bangsa. Karena memang pijakannya adalah sistem rusak maka hasilnya pun tidak akan membawa kebaikan dan kesejahteraan untuk masyarakat. Cara pandang materialistis membuat tujuan pencapaiannya tidak disandarkan pada konsep halal-haram. Wajar, jika bukan keberkahan yang ingin diraih melainkan hal-hal yang berhubungan dengan cuan semata. 


Berbeda dengan sistem Islam yang shahih buatan Sangat Pemilik Hidup, Allah SWT. Segala kebijakan yang dibuat harus disandarkan pada Al Quran dan assunnah. Aturan Islam memiliki perencanaan wilayah dan tata ruang kota yang matang dan tidak melalui jalan utang ribawi.


Selain itu, aturan Islam sangat menjaga dan memperhatikan akidah dan akhlak setiap individu. Sehingga, kebijakan yang dibuat akan benar-benar mengakomodasi hak-hak dan kewajiban individu sebagai hamba Allah SWT, bukan sebagai objek yang dijadikan mesin uang. Sehingga kebijakan yang dibuat pun akan mengundang keberkahan dari langit dan bumi. 


Lalu, tidakkah kita ingin menjadi hamba yang takwa dengan kembali pada aturan Allah SWT yang jelas membawa keberkahan? Wallahualam bishawab. 

Posting Komentar

0 Komentar