Pemilu merupakan ajang pencarian pemimpin ala demokrasi. Pada hari pencoblosan seluruh masyarakat diarahkan untuk menyalurkan suaranya setelah beberapa bulan sebelumnya masa kampanye diberlakukan.
Namun selalu ada yang aneh pada pestanya. Pada pemilu tahun ini, beberapa jam setelah pembukaan ratusan ribu TPS di seluruh Indonesia, hasil quick count sudah bisa dilihat di layar media, padahal perhitungan real count pun belum dilakukan. Di sisi lain, kemenangan salah satu paslon pada hasil quick count juga memuluskan perjalanan pemilu kali ini, dengan keyakinan akan satu kali putaran.
Survey dan Angka
Ahli Statistik, dari IPB University, Dr. Kusman Sadik, di kanal UIY Official menyatakan bahwa ilmu statistik sering digunakan untuk mengukur angka kecenderungan masyarakat pada salah satu paslon. Sebagai sebuah ilmu, hal itu sah dilakukan dan tidak ada celah kecurangan dalam melakukannya.
Lembaga survey biasa menggunakan ‘data collecting’, yang merupakan ilmu dasar statistik dalam menghitung proses hitung cepat. Menurut Kusman, ilmu ini memang sudah biasa dipelajari di jenjang sarjana untuk pengambilan sampel. Penggunaanya pun bisa diukur oleh ‘margin of error’ yang ada. Namun sayangnya, ilmu tersebut terkenal di kalangan orang-orang statistika sebagai ‘klamufase sains’, maksudnya adalah sains ini digunakan untuk menutupi berbagai kejahatan.
Klamufase sains tersebut memang sudah sejak lama dikenal. Terbukti pada tahun 1954, Darrel Huff menulis buku yang berjudul "How to Lie With Statistics". Walaupun ia adalah seorang jurnalis bukan ahli statistik, namun dari sini terlihat bahwa pembohongan publik dengan menggunakan ilmu statistik memang merupakan isu lama di dunia.
Menurut dosen di IPB university ini, celah lembaga survey dalam pemilu saat melakukan tindakan kecurangan ada di beberapa titik, yaitu saat pengambilan sampel di sejumlah TPS. Apakah di kantong-kantong para paslon saja, ataukah tersebar ke seluruh negara, atau malah justru tidak ada sama sekali sampel yang diambil, hanya otak-atik angka saja. Kemudian, sumber dana untuk menyokong penelitian lembaga survey, dengan begitu lembaga survey tidak lagi independen.
Kusman Sadik juga menyatakan bahwa pada saat pemilu Februari kemarin, pintu kecurangan itu terdapat di tiga tahapan yakni pra pemilu, saat pemilunya, dan pascapemilu. Pada pra pemilu, lembaga survey membangun opini publik untuk terus mengusung salah satu paslon tertentu dengan memberikan data bahwa mereka lah yang selalu tinggi angkanya di banyak daerah. Menurutnya, di area ini paling mudah untuk berbohong karena bentuknya opini publik yang tidak berupa angka.
Kemudian pada saat pemilu, kasus surat suara sudah tercoblos banyak terjadi di berbagai daerah termasuk TPS luar negeri. Belum lagi bagaimana masifnya pemimpin daerah setempat yang mengaruskan warganya untuk mencobos paslon tertentu. Lalu kecurangan berikutnya adalah saat pascapemilu. Penggunaan aplikasi ‘sirekap’ dari KPU banyak mengundang kegaduhan dan kemarahan.
Kecurangan
Lembaga pemantau pemilu Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia menyatakan bahwa dugaan kecurangan yang terjadi pada pemilu tahun ini justru lebih parah dibandingkan dengan tahun sebelumnya. (bbc.com, 16/2/2024)
DEEP Indonesia menemukan setidaknya di tujuh provinsi terdapat logistik surat suara banyak yang tercoblos, tertukar, ataupun hilang. Selain itu komisioner KPU, Idham Kholik, menyatakan bahwa jika ada kecurangan maka prosesnya akan ditangani oleh Bawaslu. Sedangkan Bawaslu tidak bisa memastikan berapa jumlah surat suara yang tercoblos.
Sementara itu lembaga analis sosial, Drone Emprit menemukan percakapan tentang Pilpres, hitung cepat, dan kecurangan pemilu menjadi topik yang paling tinggi dibicarakan di sosial media oleh warganet. Terkait dengan itu, pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi menyatakan bahwa warganet banyak menghubungkan kecurangan pemilu yang terjadi dengan film ‘Dirty Vote’. Sehingga masyarakat mempunyai pemahaman bahwa kecurangan yang terjadi sudah terstruktur, sistematis, dan masif.
Menanti Kejujuran
Kecurangan pemilu yang terstruktur, sistematif, dan masif sesungguhnya tidak hanya kali ini saja terjadi. Puluhan tahun lalu pada 1971, saat presiden kedua menjabat pun kecurangan tersebut sudah dilakukan. Bagaimana rezim memobilisasi pegawai negeri untuk tidak masuk ke dalam partai manapun, namun rezim mebuat wadah korpri yang otomastis menjadi bagian dari Golkar. Tentunya, dengan begitu Golkar menang mutlak. (tirto.id, 28/5/2019)
Tidak hanya itu, di tahun-tahun berikutnya kecurangan terus berlanjut. Pada pemilu 1977, Soeharto menyederhanakan peserta pemilu hanya menjadi tiga partai; PPP, PDI, dan Golkar. Dengan menang mutlaknya Golkar di pemilu sebelumnya, pun pada 1977 tidak berbeda.
Pada 1982, terjadi kerusuhan di lapangan Banteng yang disinyalir sengaja direkayasa untuk mendiskreditkan Ali Sadikin, gubernur Jakarta yang konon ingin mencalonkan diri menjadi presiden. Begitu pula pada tahun 1987, 1992, juga pemilu terakhir masa orde baru yaitu 1997. Dari semuanya tidak ada yang murni dari campur tangan penguasa.
Manusia pada dasarnya suka dengan kekuasaan apalagi kekuasaannya meliputi sebuah negara yag luas dan mempunyai sumber daya yang sangat banyak. Ditambah lagi, dasar pemahaman negara dan penguasa adalah demokrasi yang lahir dari kapitalisme, kepala mereka tentunya dipenuhi oleh pundi-pundi yang akan didapat apabila mereka tetap dipucuk pimpinan.
Karena demokrasi sangat melonggarkan dan membolehkan manusia untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya walau melewati jalan yang haram. Padahal esensi penguasa bukan meraih keuntungan sebanyak-banyaknya bagi dirinya ataupun kelompoknya. Namun bagaimana penguasa itu mengatur urusan perkepala masyarakat dalam segala hal. Dengan begitu tentunya akan melahirkan kesejahteraan.
Namun kesejahteraan umat tersebut bukan dicapai dengan jalan demokrasi. Jalan Islam lah yang digunakan untuk perubahan menuju kesejahteraan. Ajaran Islam bukan hanya mengatur ibadah keseharian saja, namun ajarannya meliputi pengaturan sistem politik, ekonomi, peradilan, Pendidikan dan lain sebagainya.
Dalam Islam tidak ada celah untuk terjadi kecurangan dalam memilih pemimpin, karena selain manusianya dididik menjadi pribadi yang taat, sistem pemerintahannya pun mengharamkan praktik yang demikian.
Maka apakah yang bisa diharapkan dengan demokrasi apabila selalu menyengsarakan rakyat? Wallahu’alam.
Oleh Ruruh Hapsari
0 Komentar