Oleh Annisa Al Munawwarah
Aktivis Dakwah dan Pendidik Generasi
Kebijakan penerapan Identitas Kependudukan Digital (IKD) di berbagai wilayah Indonesia mulai direalisasikan. Masyarakat sudah mulai didorong untuk membuat IKD, khususnya saat memasuki kantor kecamatan. Padahal bisa jadi keperluan awal bukanlah untuk membuat IKD.
Di beberapa daerah, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil melakukan berbagai pendekatan demi rakyat terdaftar di IKD. Seperti di Surakarta, petugas Dukcapil jemput bola dengan mendatangi sekolah-sekolah, kampus-kampus, bahkan disosialisasikan di radio dan media sosial. (rri.co.id, 21/2/2023). Begitu pula di Kecamatan Buleleng, selain sekolah-sekolah, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil juga mendatangi Perusahaan, Dinas dan Lembaga. (disdukcapil.bulelengkab.go.id, 14/3/2024)
Apa itu IKD? Apakah rakyat Indonesia betul-betul membutuhkan IKD? Apakah data yang terekam dalam IKD itu aman bagi masyarakat? Bagaimana Islam mengatur data penduduknya?
Apa itu Identitas Kependudukan Digital?
Menurut Permendagri Nomor 72 Tahun 2022 bab 1 pasal 1 yang ditetapkan di Jakarta pada 1 April 2022, Identitas Kependudukan Digital adalah informasi elektronik yang digunakan untuk merepresentasikan Dokumen Kependudukan dan data balikan dalam aplikasi digital melalui gawai yang menampilkan Data Pribadi sebagai identitas yang bersangkutan.
Masyarakat yang hendak membuat IKD disyaratkan harus memiliki smartphone android, E-KTP, email, nomor telepon aktif, dan satu syarat lainnya yang tidak tertulis, yakni data internet. Masyarakat dapat melakukan registrasi secara mandiri, kemudian dilanjutkan dengan aktivasi di Dispendukcapil.
Pembuatan IKD memang tidak serentak dilakukan. Setiap kota/kabupaten menargetkan hanya 25 persen warganya yang telah memiliki perekaman e-KTP untuk membuat IKD. Ini mulai berlaku sejak tahun 2022. Artinya, program IKD akan rampung hingga 100 persen pada tahun 2025. Karena itu, kerja pemerintah dalam program IKD ini tidak secara bombastis dirasakan oleh masyarakat. Pelan namun pasti, IKD akan berlaku total.
Dikutip dari sumber yang sama, Identitas Kependudukan Digital bertujuan untuk: a) mengikuti penerapan teknologi informasi dan komunikasi mengenai digitalisasi kependudukan; b) meningkatkan pemanfaatan digitalisasi kependudukan bagi Penduduk; c) mempermudah dan mempercepat transaksi pelayanan publik atau privat dalam bentuk digital; dan d) mengamankan kepemilikan Identitas Kependudukan Digital melalui sistem autentikasi guna mencegah pemalsuan dan kebocoran data.
Seberapa Penting IKD ini?
Menurut Gatut Sugiarto, Kepala Dispendukcapil Kabupaten Nganjuk bahwa manfaat dari penggunaan IKD di antaranya mencegah penyalahgunaan data kependudukan dan menghemat biaya dalam pembuatan identitas. Ia juga menjelaskan bahwa IKD memiliki fitur yang lebih lengkap. Sebab, tidak hanya memuat KTP, tetapi juga Kartu Keluarga Digital serta dokumen lainnya seperti Katu Vaksin Covid-19, NPWP, hingga BPJS. Tidak hanya itu, IKD nantinya dapat pula digunakan sebagai dompet digital. (mnews.co.id, 25/1/2024).
Jadi dapat disimpulkan bahwa pada intinya adanya IKD ini bertujuan untuk memenuhi 2 hal saja. Pertama, adanya keinginan agar lebih praktis dan modern, memudahkan pertukaran data. Bahasa lainnya yakni ingin sederhana dan mudah dalam hal pendataan. Kedua, adanya keinginan menurunkan budget pembuatan dokumen-dokumen pencatatan sipil.
Biaya untuk pelayanan kependudukan memang tidak murah. Pada tahun 2023 saja, sebesar Rp225,9 miliar Pendapatan Nasional Bukan Pajak (PNBP) digelontorkan ke kas Dukcapil secara nasional. Dan untuk diketahui bahwa pencetakan e-KTP, KIA, dan dokumen lainnya tidaklah murah. Disdukcapil Pamekasan misalnya, mengeluarkan Rp1 milyar untuk biaya alat tulis kantor (ATK) tersebut. (radarmadura.jawapos.com, 31/1/2024). Dan tren biayanya semakin besar, karena kebutuhan warga yang semakin banyak. Bagaimana dengan Disdukcapil kabupaten lainnya se-Indonesia?
Bagaimana keamanan IKD?
Keamanan data merupakan hak masyarakat. Berdasar pada Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, disebutkan bahwa setiap penduduk mempunyai hak untuk memperoleh: 1) Dokumen kependudukan; 2) Pelayanan yang sama dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil; 3) Perlindungan atas data pribadi; 4) Kepastian hukum atas kepemilikan dokumen;5) Informasi mengenai data hasil Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil atas dirinya dan/atau keluarganya; dan 6) Ganti rugi dan pemulihan nama baik sebagai akibat kesalahan dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil serta penyalahgunaan data pribadi oleh Instansi Pelaksana. Oleh karena itu, keamanan data pada IKD merupakan suatu kewajiban negara untuk menjaganya. Lantas, apa betul IKD akan benar-benar aman dari penyalahgunaan data?
Meskipun keamanan Identitas Kependudukan Digital berpedoman pada International Organization for Standarization/ International Electrotechnical Commission dan National Institute of Standards and Technology serta sistem manajemen keamanan informasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, masih banyak pihak yang menyangsikan keamanan data IKD.
Sebelum adanya IKD, Dukcapil Kementerian Dalam Negeri masih punya pekerjaan rumah yang sangat besar terkait kebocoran data penduduk. Teguh Aprianto, praktisi keamanan siber mengungkapkan kasus kebocoran data dukcapil terjadi pada 16 Juli 2023. Tak tanggung-tanggung, data yang bocor berupa informasi pribadi, mulai dari NIK, nomor akta lahir, hingga akta nikah. (beritasatu.com, 30/11/2023).
Kebocoran database milik pemerintah ternyata tidak hanya terjadi di Disdukcapil. Sederetan kasus kebocoran data juga dialami oleh tiga lembaga pemerintahan lainnya Sepanjang 2023. Indonesia belum lupa tentunya dengan bocornya data pengguna BPJS Ketenagakerjaan sekitar 19,56 juta di situs dark web yang diunggah oleh akun Bjorka.
Pada Mei 2023, warga juga dihebohkan dengan kebocoran data Bank Syariah Indonesia (BSI). Teguh Aprianto menyebut bahwa BSI telah menjadi korban ransomware atau salah satu serangan siber dengan modus pemerasan yang dilakukan oleh Lockbit atau kelompok peretas di dunia maya. Sementara pada 5 Juli 2023, data paspor Warga Negara Indonesia (WNI) pun tidak ketinggalan dibocorkan dan diperjualbelikan. Bjorka membocorkan 34.9 juta data paspor WNI.
Informasi pribadi yang bocor meliputi banyak hal. Mulai dari nomor induk kependudukan (NIK), nomor Kartu Keluarga, nama lengkap, tanggal lahir, alamat, nama ayah, nama ibu, NIK ibu, nomor akta lahir, nomor akta nikah, dan lain sebagainya. Semua dapat diakses oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Keadaan di atas sangat berkorelasi dengan ketidakpercayaan masyarakat terhadap keamanan siber pemerintah. Survei Kurious Insight Center (KIC) membuktikan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia, yakni 62,6 persen menyatakan tidak yakin dengan keamanan siber yang dimiliki oleh pusat penyimpanan data pemerintah Indonesia. (databoks.katadata.co.id, 10/8/2023).
Banyaknya kasus pelanggaran perlindungan data pribadi (PPDP) di Indonesia, bukan hanya swasta tapi juga menyasar perusahaan dan lembaga pelat merah menunjukkan lemahnya keamanan siber di Indonesia. Hal ini dipaparkan oleh pakar Cyber Security Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia (UI), Amril Syalim. Ia menyatakan bahwa pencurian data sudah terjadi sejak 2017, dimulai dari banyaknya kasus startup Bukalapak, hingga Telkomsel. (tribunnews.com, 25/8/2023)
Menimbang kondisi di atas, jika konversi e-KTP menjadi IKD terus saja dilakukan tanpa adanya pembangunan keamanan siber, maka sama saja menggiring masyarakat untuk terjun bebas dalam kesendirian. Masyarakat hanya pasrah menghadapi pencurian data yang tidak dapat ia jaga sama sekali. Dan dalam Islam, hal ini tentu saja tidak dapat dibiarkan.
Kehadiran pemerintahan dalam Islam adalah sebagai pelindung masyarakat. Dalam menyelesaikan administrasi kependudukan, pemerintahan Islam dituntut untuk membuat mekanisme yang sederhana dan memudahkan. Karena itu, para petugas yang diembankan amanah mengurusi administrasi rakyat diharuskan bersifat profesional dalam bekerja.
Jika rakyat disulitkan dengan adanya pencurian data, maka sikap profesional para pegawai administrasi harus sampai pada pengamanan data. Tugas negara kemudian menjadikan para pegawainya bersikap profesional. Segala hal yang menjadi konsekuensi dijadikannya pegawai agar bersikap profesional haruslah ditempuh. Negara harus bersedia membiayai pegawai menuntut ilmu agar mumpuni di bidang siber serta menyiapkan berbagai sarana yang menunjang kuatnya keamanan siber dalam negeri.
Semua hal di atas dilakukan hanya dalam rangka berkhidmat kepada masyarakat di atas landasan taat. Bukan dilandasi kepentingan ekonomi seperti pada perintahan yang dikuasai oligarkhi. Sebab pemerintahan dalam Islam dengan khalifah sebagai pemimpinnya ibarat perisai, ia menjadi pelindung bagi yang takut dan yang berharap. Semoga perisai itu segera hadir dan memimpin di tengah-tengah umat.[]
0 Komentar