Suara Muslimah
Oleh Ustazah Lilis - Aktivis Dakwah
Moderasi KUA, Membawa Keberkahan?
Q: Ustazah, KUA mengurusi urusan semua agama di Indonesia, apakah dapat diterima menurut pandangan Islam?
A: Sejarah KUA berdiri itu sudah ada jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Seiring dengan adanya para penghulu yang bertugas untuk mengurus pernikahan bagi warga muslim. Dan bagi nonmuslim, dicatatkan langsung kepada Pemerintah melalui dinas Pencatatan Sipil (Capil).
KUA kemudian menjadi salah satu unit pelaksana teknis pada Kementerian Agama yang berada di bawah Dirjen Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam yang tugasnya hanya mengurusi umat Islam saja. Ini juga berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 34 Tahun 2016 yang mengatur tentang organisasi dan tata kerja KUA Kecamatan.
Di dalam Pasal 2, telah diatur bahwa KUA Kecamatan mempunyai tugas melaksanakan layanan dan bimbingan masyarakat Islam di wilayah kerjanya dan menyelenggarakan fungsi antara lain; pelayanan pencatatan nikah dan rujuk, bimbingan keluarga sakinah, bimbingan kemasjidan, pembinaan syariah, penerangan agama Islam, bimbingan zakat dan wakaf, serta bimbingan manasik bagi jamaah haji reguler.
Adapun Menag Gus Yaqut dalam Rapat Kerja Direktorat Jenderal Bimas Islam di Jakarta, Sabtu (24/2/2024), membuat gagasan KUA akan dijadikan sebagai tempat pernikahan untuk seluruh agama dan akan merevitalisasi fungsinya sebagai tempat yang tidak hanya melayani umat Islam saja, tetapi juga nonmuslim. Karena, “Kementerian Agama adalah milik semua agama. Jadi KUA (diharapkan) juga dapat memberikan pelayanan keagamaan kepada umat agama nonIslam," ujarnya.
Selain itu, aula-aula KUA dapat digunakan sebagai 'tempat ibadah sementara', bagi umat nonmuslim yang mengalami kesulitan dalam mendirikan tempat ibadah sendiri. “Tugas muslim sebagai mayoritas yaitu memberikan pelindungan terhadap saudara-saudari yang minoritas, bukan sebaliknya,” tambah Gus Yaqut.
Wakil Menag, Zainut Tauhid Saadi, pada saat mengunjungi salah satu KUA Model di Sidoarjo, Jawa Timur, Senin, (31/5/2021), pernah mengatakan bahwa, "Ke depan, KUA tidak hanya sebagai tempat untuk proses pencatatan pernikahan saja, tetapi harus menjadi tempat untuk pembinaan keagamaan dan penyemaian praktik kehidupan moderasi beragama bagi masyarakat."
Jadi jelaslah, bahwa kebijakan ini bertujuan untuk menguatkan proyek moderasi beragama. Gagasan ini tentu tidak dapat diterima, karena selain ahistoris, juga bertentangan dengan kebijakan yang telah dibuat sebelumnya, di mana fungsi KUA hanya untuk muslim saja.
Jika nanti terwujud fungsi 'KUA untuk semua agama', maka KUA sebagai teras terdepan pelayanan agama bagi masyarakat akan semakin leluasa mengembangkan proyek moderasi beragama. Karena, dalam pandangan Islam tidak ada Istilah "Moderasi beragama”. Sebab dalam praktiknya, istilah tersebut sama saja dengan istilah “Islam moderat” atau “Islam liberal”. Apalagi istilah ini selalu dikaitkan dengan isu muslim radikal dan intoleran kepada kaum muslim yang sadar dan ingin berpegang teguh pada ajaran Islam kafah yang lengkap dan sempurna -di tengah kegagalan sistem sekularisme hari ini- dalam menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara yang semakin moderat-liberal (bebas dalam segala hal) dan moderat-kapitalisistik dengan menghalalkan segala cara demi “cuan”.
Q: Apa dasar mencetuskan kebijakan ini, adakah dalilnya berdasarkan Al-Qur’an dan Sunah?
A: Dasar dari kebijakan ini tentu tidak terlepas dari adanya peran dan strategi Barat yang sumbernya bisa kita baca dari salah satu buku kajian yang dikeluarkan Rand Corporation yang berjudul "Building Moderate Muslim Network” .
Pada sub bab Road Map for Moderate Network Building in the Muslim World, salah satu poinnya menjelaskan tentang characteristics of moderate muslims.
Dinyatakan di sana, bahwa muslim moderat adalah orang yang menyebarluaskan dimensi-dimensi kunci peradaban demokrasi. Termasuk di dalamnya gagasan tentang HAM, kesetaraan gender, pluralisme, dan menerima sumber-sumber hukum nonsektarian; serta melawan terorisme dan bentuk-bentuk legitimasi terhadap kekerasan (Angel Rabasa, Cheryl Benard et all, Building Moderate Muslim Network, RAND Corporation).
Ini adalah satu paket dengan isu perang melawan radikalisme yang telah menyerang ajaran Islam dengan cara memberikan stigma radikal kepada muslim yang menentang ideologi kapitalisme dan memuji muslim yang pro ideologi kapitalisme sebagai "moderat".
Tentu kebijakan ini bukan sekadar politik lokal di Indonesia, tetapi merupakan bagian dari politik global dunia, di mana Amerika dan sekutu-sekutunya sangat khawatir -selama ajaran Islam kafah yang murni masih diyakini dan tumbuh berkembang- akan menjadi ancaman nyata bagi kepentingan politik dan ekonominya di Dunia Islam secara umum dan khususnya di Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim dan sedang bergeliat untuk bangkit dengan syariat Islam kafah.
Bicara tentang dalil dari Al-Qur’an maupun Sunah, terkait dengan istilah “Moderasi beargama” atau “Islam Moderat”, tidak akan ditemukan di dalam Al-Qur’an dan Sunah.
Islam hanya satu, yaitu agama (ad-dîn) yang diturunkan oleh Allah Swt. kepada Nabi Muhammad saw.; untuk mengatur hubungan manusia dengan penciptanya, dengan dirinya sendiri, dan dengan sesamanya.
Dan Islam itu, bukan hanya mengatur masalah akidah, ibadah, dan akhlak, tetapi juga mengatur masalah ekonomi, pemerintahan, sosial, pendidikan, peradilan, dan sanksi hukum, serta politik luar negeri. Inilah yang dimaksud dengan Islam kafah, sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah Swt.,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian turut langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian.” (QS Al-Baqarah [2]: 208)
Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini, telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, telah Aku cukupkan nikmat-Ku kepada kalian dan telah Aku ridai Islam itu menjadi agama kalian.” (QS Al-Maidah [5]: 3)
Q: Apakah kebijakan ini nanti sekedar untuk menderaskan pemahaman moderasi beragama, bahwa semua agama itu benar?
A: Tidak. Bahkan lebih dari itu. Kebijakan ini adalah bagian dari maksud Barat yang ingin mengubah sudut pandang kaum muslim agar menerima ide dan pemikiran Barat, khususnya yang terkait dengan ide demokrasi yang hari ini semakin diagungkan sebagai satu-satunya jalan terbaik bagi perubahan masyarakat dan negara, serta ide-ide kebebasan (liberalisme), pluralisme (semua agama sama), serta pemisahan urusan agama dari kehidupan (sekularisme).
Akhirnya, dari kebijakan ini kaum muslim dipaksa -suka atau tidak suka- untuk menerima paham-paham yang perlahan tapi pasti akan merasuk melalui kebijakan dan akhirnya merusak sendi-sendi ajaran Islam yang murni.
Q: Bagaimana umat Islam perlu menanggapi kebijakan ini?
A: Umat Islam harus selalu waspada, memperhatikan, menolak, dan melawan ide moderasi beragama dalam setiap bentuknya termasuk dalam kebijakan ini.
Karena kaum Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rida, sampai kita umat Islam mengikuti ajaran mereka.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar).” Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS Al-Baqarah: 120)
Q: Apakah penerapan kebijakan ini akan membawa keberkahan atau kemudaratan bagi kaum muslim, Ustazah?
A: Membawa kemudaratan sudah pasti. Karena kebijakan ini akan semakin mengukuhkan dominasi dan imperialisasi Barat atas Dunia Islam pada umumnya dan secara khusus Indonesia yang mayoritas muslim yang sedang bersemangat hijrah kepada ajaran Islam yang kafah .
Q. Apa saja kemudaratannya Ustazah, lalu bagaimana cara kita mencegah kemudaratan terjadi?
Di antara kemudaratan yang akan terjadi, terutama pada kaum muslim yang aqidahnya rapuh, pemahaman Islamnya tidak utuh, kemudian terpapar ide “semua agama sama” dan “toleran kepada minoritas” -sebagaimana yang diaruskan dari ide moderasi beragama-adalah berpeluang besar untuk berpindah-pindah agama (pagi-pagi beriman dan sorenya kafir), murtad, munafik, dan bahkan bisa jadi membenci ajaran Islam atau meninggalkannya (atheis).
Di antara cara mencegah kemudaratannya adalah umat Islam harus terus menerus disadarkan akan kewajiban mereka untuk selalu terikat dengan hukum Allah (syariat Islam). Karena syariat Islam adalah standarisasi perbuatan seorang muslim, bukan toleransi dan moderasi. Keterikatan dengan syariat Islam ini adalah bukti dari keimanan seorang muslim yang sadar untuk tunduk, patuh, dan rida diatur dengan syariat Islam yang pasti datang dari Sang Pencipta manusia dan alam semesta ini, yaitu Allah Swt.
Kemudian, harus ada aktivitas muhasabah terhadap penguasa, apabila ada kelalaian atau kezaliman yang terjadi pada dirinya, jabatannya, atau kebijakannya.
Di antara dalilnya adalah sebagai berikut:
“Hendaknya ada di antara kalian, sekelompok umat yang mengajak kepada kebaikan, serta menyeru pada kemakrufan dan mencegah kepada kemungkaran.” [QS Ali Imran: 104]
"Barangsiapa saja yang melihat kemungkaran hendaklah ia merubahnya dengan tangannya. Kalau tidak bisa, ia harus merubah dengan lisannya. Bila tak bisa, ia harus merubah dengan hatinya. Itu selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim)
Q: Apakah pernah terjadi hal seperti ini di masa Islam?
Tuduhan bahwa Islam intoleran sehingga harus memiliki pemahaman bahwa “semua agama sama” adalah keliru.
Islam mengakui pluralitas (kemajemukan) dan bukan pluralisme (semua agama sama), bahkan Islam mengatur pluralitas melalui syariat Islam yang diajarkan sejak masa Nabi Muhammad saw., dilanjutkan para shahabat Khulafaurasidin dan para taabi’iin, taabi’utt taabi’iin, serta para salafu salih. Tidak pernah ada masalah dengan “pluralitas” dan “toleransi”.
Islam mampu membuktikan kesempurnaannya dalam mengatur keragaman dan mejawab seluruh problematika kehidupan manusia yang datang sesuai fitrah, menenteramkan jiwa dan memuaskan akal manusia.
Dalam Islam tidak ada pemaksaan kepada nonmuslim untuk masuk Islam.
Allah Swt. berfirman:
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 256)
Islam tidak melarang umatnya untuk melakukan toleransi terhadap nonmuslim atas dasar kemanusiaan. Namun, Islam melarang toleransi yang menyangkut ibadah berdasarkan dalil:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِىَ دِينِ
"Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." (QS Al-Kaafiruun: 5)
Kisah menarik dari sikap toleransi Rasulullah saw. ketika pulang dari Madinah, berkhutbah di hadapan para kaum kafir Quraisy dan mengatakan, “Sekarang saya kuasai Kota Makkah, adakah di antara kalian yang dulu membunuh pamanku, memboikot kaumku, dan membuat sahabatku jatuh miskin sehingga meninggal dunia?”
Jika Rasulullah saw. mau, bisa saja untuk menghancurkan mereka semua. Tetapi yang terjadi, mereka menjawab, “Wahai Muhammad, Engkau orang baik, Engkau keturunan orang baik.” Kemudian Rasulullah mengatakan, “Pergi dari hadapanku, aku maafkan kalian semua.”
Q: Bagaimana sebenarnya negara Islam mengurusi kepentingan agama-agama di luar Islam, Ustazah?
Secara historis, negara Islam bukanlah negara yang warganya muslim semua (homogen), tetapi ada nonmuslim (heterogen).
Rasulullah saw. saat berhasil mendirikan negara Islam dan beliau adalah kepala negaranya, penduduknya beragam, di antaranya ada umat Nasrani, Yahudi, dan lainnya. Begitu juga dengan kehidupan pada masa kekhilafahan setelahnya.
Semua warga negara Islam yang nonmuslim disebut sebagai kafir dzimmi. Mereka yang tinggal di Negara Islam adalah warga negara yang berhak mendapat perlakuan yang sama, artinya tidak boleh ada diskriminasi. Negara akan menjaga dan melindungi keyakinan, kehormatan, dan harta bendanya.
Rasulullah bersabda:
"Barang siapa membunuh seorang mu'ahid (kafir yang mendapatkan jaminan keamanan) tanpa alasan yang haq, maka ia tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekali pun." (HR Ahmad)
Perlakuan negara Islam (khilafah) terhadap nonmuslim, telah dijelaskan oleh Syaikh Taqiyyudin An-Nabhani di dalam kitab Ad Daulah Al Islamiyah, di antaranya:
1. Seluruh hukum Islam diterapkan kepada kaum muslim.
2. Nonmuslim boleh tetap memeluk agama mereka dan beribadah berdasarkan keyakinannya.
3. Memberlakukan nonmuslim dalam urusan makan dan pakaian sesuai agama mereka dalam koridor peraturan umum.
4. Urusan pernikahan dan perceraian antar nonmuslim diperlakukan menurut aturan agama mereka.
5. Dalam bidang publik seperti muamalah, uqubat (sanksi), sistem pemerintahan, perekonomian, dan sebagainya, negara menerapkan syariat Islam kepada seluruh warga negara baik muslim maupun nonmuslim.
6. Setiap warga negara yang memiliki kewarganegaraan Islam adalah rakyat negara, sehingga negara wajib memelihara mereka seluruhnya secara sama, tanpa membedakan muslim maupun nonmuslim.
Pemberlakuan syariah Islam dalam sektor publik, pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw. ketika beliau menyuruh memberikan sanksi Islam kepada dua orang Yahudi yang berzina.
Hadis riwayat dari Abdullah bin Umar ra. berkata:
"Beberapa orang Yahudi datang kepada Nabi saw. menghadapkan seorang pria dan seorang wanita mereka, yang keduanya kedapatan berzina. Rasulullah memerintahkan supaya keduanya dihukum rajam. Lantas keduanya dirajam di tempat-tempat jenazah di samping masjid.” (HR Bukhari)
Dalam Islam, setiap warga negara memperoleh persamaan hak dihadapan hukum. Apakah pejabat atau rakyat biasa, muslim ataupun nonmuslim.
Pada saat Ali bin Abi Thalib ra. menjabat sebagai khalifah (kepala negara), beliau telah kehilangan baju besi miliknya yang ternyata dicuri oleh seorang Yahudi. Kasus itu pun sampai ke meja hijau.
Karena Khalifah Ali tidak mempunyai bukti yang kuat dan hanya bisa menghadirkan saksi anaknya sendiri, yaitu Hasan, maka hakim Syuraih memutuskan bahwa kasus ini dimenangkan oleh orang Yahudi tersebut.
Setelah persidangan selesai orang Yahudi tersebut hatinya merasa terharu dan akhirnya ia pun mengakui bahwa baju besi itu milik sang khalifah dan dialah yang mencurinya. Ia berkata, "Wahai Khalifah, sesungguhnya baju perang ini milikmu. Ambillah kembali. Aku sungguh terharu dengan pengadilan ini. Meski aku hanya seorang Yahudi miskin dan engkau amirul mukminin. Ternyata pengadilan muslim memenangkan aku. Sungguh, ini adalah pengadilan yang sangat luar biasa. Dan sungguh, Islam yang mulia tidak memandang jabatan di dalam ruang peradilan. Wahai Khalifah Ali, mulai detik ini aku akan memeluk Islam dan ingin menjadi muslim yang baik." Seketika itu pula ia memeluk Islam.
0 Komentar