Pesta demokrasi di negeri ini telah usai, namun jejaknya meninggalkan bahkan menggoreskan noda hitam di setiap usai pelaksanaannya. Kecurangan dipertontonkan, namun lebih miris lagi, kedukaan dialami masyarakat yang berperan serta sebagai pihak yang menyukseskan program pemerintah lima tahunan ini.
Seperti yang terjadi di Kota Bogor, dimana banyak anggota KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) yang jatuh sakit bahkan kehilangan nyawa setelah melaksanakan tugasnya. Beratnya beban pekerjaan yang harus dihadapi saat Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, membuat banyak petugas KPPS jatuh sakit. Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor mencatat sudah ada 25 orang pasien dari Petugas KPPS dan penyelenggara Pemilu di Kota Bogor yang ditangani petugas kesehatan. Dari total 25 penyelenggara Pemilu yang sakit, rincianya mulai dari Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) sebanyak 14 orang, Linmas 1 orang, PPK 2 orang, PPS 3 Orang, petugas 1 orang dan pemilih 4 orang. (www.radarbogor.id, 15/02//2024)
Hal ini pun menjadi sorotan Wali Kota Bogor, Bima Arya. Ia merasa perlu mengevaluasi sistem Pemilu di Indonesia karena setiap Pemilu lima tahun sekali selalu menimbulkan korban petugas KPPS sakit hingga meninggal dunia. Bima Arya mengatakan banyak anggota KPPS mengalami kelelahan, serangan jantung, hipertensi, hingga anemia. Beratnya petugas KPPS karena mereka harus begadang seminggu sebelum pencoblosan untuk persiapan. Setiap malam tidur 1-2 jam dan pada saat pencoblosan mereka begadang sampai pagi yang terkadang membuat mereka lupa untuk makan. (www.radarbogor.id, 17/02//2024)
Adakah sistem yang lebih praktis untuk melaksanakan Pemilu di era yang sudah serba digital ini?
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD memberikan pendapatnya terkait pelaksanaan Pemilu yang masih manual di Indonesia walau sudah memasuki era digital. Hal ini terjadi ketika seorang netter mengajaknya berdiskusi soal pelaksanaan Pemilu di Indonesia (25/3/2019).
Netter mempertanyakan mengapa Indonesia tidak menggunakan sistem pemilu elektronik atau e-election? Padahal secara biaya lebih murah dan cepat, serta relatif aman dari manipulasi. Menjawab hal tersebut, Mahfud MD mengatakan pemungutan suara boleh menggunakan sistem eletronik sesuai dengan tingkat kesiapan. Bila hingga saat ini belum terlaksana artinya pelaksanaan Pemilu eletronik belum siap. Kesiapan ini bukan pada teknologi, melainkan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM). Hal ini terkait dengan kepercayaan atas keabsahan jika tidak memakai perhitungan manual. (jambi.tribunnews.com, 28/3/2019)
Jika jawaban dari semua adalah ketidaksiapan rakyat, lalu bagaimana dengan ujian nasional, pembuatan e-KTP, hingga pembayaran jalan tol (e-toll) yang sudah menggunakan sistem digitalisasi tanpa memperhatikan kesiapan rakyat? Tentunya menjadi hal yang lucu jika ini terus terjadi. Namun begitulah dalam sistem kapitalisme, karena dalam hal ini --sistem manual yang masih dipertahankan dalam Pemilu-- tentunya mengandung keuntungan antara penguasa dengan pengusaha. Dari pesta demokrasi ini mereka meraup keuntungan yang sangat besar dari semua tender pengadaan sarana dan prasarana yang digunakan dalam pelaksanaan Pemilu. Lantas rakyatlah yang menanggung semua kerugian, dengan iming-iming upah yang tak seberapa mereka dituntut bekerja keras, hingga sakit bahkan kehilangan nyawa.
Lantas apakah ada solusinya? Karena di satu sisi memilih pemimpin adalah hal yang mutlak dilakukan. Tidak mungkin suatu negeri tanpa adanya pemimpin.
Tentu saja ada solusinya. Namun, terlebih dahulu kita harus mengubah sistemnya dari sistem kapitalisme buatan manusia menjadi sistem yang sesuai fitrah manusia yang akan memanusiakan manusia, yakni sistem Islam. Islam sebagai sebuah ideologi, tentunya mempunyai aturan hidup dari A sampai Z, dari bangun diri hingga bangun negara. Islam mempunyai semua makanisme kehidupan, tak terkecuali mekanisme dalam memilih pemimpin. Dengan berdasar akidah Islam, standar dalam setiap perbuatan dan keputusan adalah halal haram. Tujuan hakiki adalah meraih rida Allah Swt. Bukan asas manfaat (keuntungan materi) untuk kepentingan segolongan tertentu saja, namun kemaslahahtan untuk seluruh umat. Tak ada yang terzalimi, tak ada yang tersakiti, serta tak ada yang dirugikan.
Allah Swt. berfirman dalam surat Ali Imran ayat 208 yang artinya "Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata".
Dalam ayat tersebut kita diperintahkan untuk masuk pada ajaran Islam secara utuh/menyeluruh, bukan setengah-setengah. Karena Islam bukan agama 'prasmanan' dimana hukum bisa dipilih sesuai selera kita. Begitu pun saat memilih pemimpin, Islam mempunyai metode yang khas yang tentunya bukan untuk meraup keuntungan dengan menggunakan cara-cara yang menzalimi rakyat. Tak ada kerjasama antara pihak penguasa dan pengusaha yang hanya mementingkan keuntungan materi semata. Oleh karena itu mengubah dan membuang sistem kapitalisme adalah keharusan untuk disegerakan, serta menggantinya dengan sistem Islam dimana syariat Islam sebagai standarnya. Karena sejatinya pemilu dalam konteks demokrasi justru hanya melanggengkan sistem kapitalisme itu sendiri.
Islam mempunyai satu sistem yaitu khilafah. Metode untuk memilih seorang pemimpin pun tak rumit dan tentu saja tidak ada kecurangan, apalagi sampai mengorbankan nyawa rakyat. Mengapa demikian? Karena pemimpin dalam Islam bukanlah pemimpin serakah hingga menghalalkan segala cara. Dalam Islam, pemimpin adalah orang yang akan diamanahi segala urusan rakyat, ia bertanggung jawab di dunia dan akhirat kelak. Seperti inilah profil pemimpin bervisi akhirat. Pemimpin yang akan mewujudkan kembali kehidupan Islam di muka bumi ini. Pemimpin yang akan menjadikan kaum muslimin sebagai khoiru ummah, umat terbaik dalam menjalankan roda kehidupan, tentunya dengan rida Allah Swt. Wallahu a'lam.
Oleh: Titin Kartini
0 Komentar