Oleh : Siti Rima Sarinah
Politik
dinasti kerap kali mewarnai panggung politik kekuasaan di negeri ini bahkan
dunia. Politik dinasti dilakukan sebagai proses regenerasi kekuasaan bagi
kepentingan golongan tertentu untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Tanpa
mengindahkan kemampuan dan kapabilitas seseorang,
apakah mampu atau tidak untuk menjadi seorang pemimpin. Bahkan
seorang narapidana pun bisa menjadi pemimpin dalam negeri demokrasi.
Sudah
menjadi hal yang lumrah apabila para pejabat mengajak keluarga untuk berperan
aktif dalam dunia politik. Hal ini pun dilakukan oleh Walikota Bogor, Bima Arya
yang memboyong istri, adik, hingga keponakannya masuk ke dalam kendaraan
politiknya yaitu PAN dan mendaftar sebagai Caleg bahkan lolos menjadi anggota
dewan periode 2024/2029. Hasil perolehan rekapitulasi perolehan suara partai
politik pemilu 2024, Razka Aira Soegiarto yang notabene keponakan dari Walikota
Bogor berhasil meraup suara terbanyak mewakili Partai Amanat Nasional. (Radar
Bogor, 17/02/2024)
Menurut
analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedillah Badrun,
memandang bahwa republik ini seperti mundur kembali ke abad ke-18 meskipun
berwajah baru melalui pemilihan umum (pemilu). Menurutnya, penolakan terhadap
dinasti politik itu penting, karena dalam dinasti politik siklus kekuasaan
hanya berputar di lingkaran yang sama. Artinya, lingkaran yang memiliki
sumber daya yang besar akan cenderung berkuasa dalam jangka waktu yang
lama.
(kompas.com, 26/10/2024)
Isu
politik dinasti kembali mengemuka setelah putra Presiden Jokowi, terpilih
sebagai calon wakil presiden
mendampingi Prabowo pada Pilpres 2024. Dan hampir semua Presiden di Indonesia
membangun politik dinasti. Bahkan pada masa orde baru, Presiden Soeharto secara
terang-terangan memberikan jabatan-jabatan strategis kepada keluarga dan
kroninya hingga pada akhir periode kekuasaannya. (kompaspedia.kompas.id)
Fenomena
politik dinasti lahir sebagai akibat penerapan sistem demokrasi dalam pemilu.
Kemenangan yang didasarkan oleh suara terbanyak membuat semua partai
berlomba-lomba berusaha untuk meraihnya. Karena demokrasi adalah sistem
berbiaya mahal, maka hanya orang-orang bermodal tebal yang mampu menjadi
anggota dewan. Sedangkan individu yang berkualitas tetapi miskin modal akan
terhalang untuk memenangkan suara.
Praktik
politik dinasti jelas menjadi jalan tol untuk memudahkan kerjasama dan
memuluskan tujuan yang hendak dicapai, baik tujuan individu penguasa maupun
individu anggota dewan juga partainya. Mereka berkolaborasi untuk mendapatkan
beragam manfaat. Sementara rakyat hanya bisa gigit jari melihat wakil rakyat
yang telah dipilih melupakan janji-janji manis yang mereka umbar di masa
kampanye.
Selain
itu, praktik politik dinasti memungkinkan terpilihnya individu yang tidak
memiliki kemampuan dan kapabilitas dalam berpolitik serta tak mampu menjalankan
perannya sebagai wakil rakyat. Fakta inilah yang membuktikan bahwa demokrasi
itu sendiri yang memuluskan tegaknya politik dinasti. Hal ini diperparah dengan
rendahnya kesadaran dan pendidikan politik masyarakat untuk mengenal calon
wakil mereka. Apalagi politik uang yang kerap kali menjadi senjata pamungkas
para calon wakil rakyat membuat rakyat seakan menutup mata atas calon yang akan
mereka pilih.
Praktik
politik dinasti jelas harus dibuang karena menghilangkan kesempatan individu
yang berkualitas dan berkemampuan yang benar-benar ingin berjuang untuk menjadi
penyambung lidah rakyat. Akibatnya, partai politik hanya menjadi kendaraan politik
untuk meraih kekuasaan semata. Fungsi partai politik pun tidak berjalan dengan
semestinya. Keberadaan partai politik yang seharusnya adalah untuk mencerdaskan
rakyat, dan sebagai penjaga kekuasaan agar berjalan pada jalur yang seharusnya
yaitu mengurus dan menyejahterahkan rakyat. Walhasil kepentingan rakyat
terabaikan akibat kebijakan negara hanya berpihak pada oligarki yang
bersembunyi di balik jubah para penguasa.
Demokrasi
selalu menggaungkan pemerintahan yang bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN).
Namun faktanya, demokrasi tak bisa lepas dari politik
dinasti yang menjadikan KKN sebagai 'aktivitas wajib' bagi para pejabatnya.
Semua ini dilakukan demi melanggengkan kekuasan yang telah diraih. Inilah ilusi
demokrasi dengan slogan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Nyatanya, rakyatlah
yang menjadi korban penerapan demokrasi.
Menjadi
wakil rakyat sejatinya memiliki peran yang sangat penting dalam mengawasi
jalannya roda pemerintahan. Dalam sistem pemerintahan Islam, jabatan ini adalah
amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hari akhir nanti.
Sehingga yang menjadi wakil rakyat adalah individu-individu yang merupakan
representasi rakyat.
Namun
ada perbedaan mendasar antara tugas dan wewenang wakil rakyat dalam sistem
demokrasi dengan sistem Islam. Dalam sistem demokrasi, wakil rakyat di parlemen akan
menjalankan tiga fungsi pokok, yaitu (1) fungsi legislasi, yakni
untuk membuat UUD dan UU, (2) melantik presiden dan wakil presiden,
dan (3) fungsi pengawasan, koreksi dan kontrol terhadap pemerintah.
Dalam sistem Islam, lembaga wakil
rakyat hanya boleh menjalankan fungsi ketiga, yaitu fungsi pengawasan, koreksi
dan kontrol terhadap pemerintah. Lembaga ini disebut majelis
umat untuk
tingkat pusat kekhilafahan, dan disebut majelis wilayah untuk tingkat kewalian
(provinsi). Dalam sistem khilafah, majelis umat juga menjadi
rujukan Khalifah dalam meminta nasihat atas berbagai urusan dan pengaturan
umat.
Peran
utama majelis umat adalah muhasabah lil hukam, yaitu mengontrol dan
mengoreksi pelaksanaan tugas dan kebijakan penguasa sesuai standar Al-Qur’an
dan As-Sunnah. Majelis umat wajib mengingatkan penguasa apabila mereka
melanggar hak rakyat dan melalaikan kewajibannya terhadap rakyat, menyalahi
hukum Islam atau menerapkan hukum selain dari yang telah ditetapkan oleh Allah
dan Rasul-Nya.
Selain
tupoksi yang berbeda, metode pemilihannya pun juga berbeda. Metode pemilihan
majelis umat sangatlah praktis, sederhana, dan hemat biaya, tetapi mampu
menghasilkan pemilihan wakil rakyat yang amanah dan memiliki kapabilitas. Hal
ini karena keberadaannya di majelis umat berlandaskan keimanan dan ketakwaan
kepada Allah, bukan untuk meraih jabatan, kekuasaan, apalagi harta sebagaimana
yang terjadi dalam sistem demokrasi.
Landasan
keimanan dan ketakwaan inilah yang menjadi benteng penjaga para anggota majelis
umat dalam melaksanakan tugasnya. Keanggotaan mereka dalam majelis umat
merupakan bentuk fastabiqul khairat sebagai bekal untuk menghadap
Allah kelak. Mereka tidak akan berlaku zalim apalagi mengkhianati amanah
rakyat. Karena Allah dan Rasul-Nya telah mengingatkan beratnya amanah menjadi
pemimpin rakyat.
Allah
Swt. menebar ancaman kepada para pemimpin yang berbuat zalim kepada rakyat atau
orang yang dipimpinnya. Setidaknya ada tiga ancaman yang ditujukan kepada para
pemimpin yang zalim menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah:
1.
Mendapat azab yang pedih
Seorang
pemimpin yang zalim akan merasakan akibatnya pada hari pembalasan. Allah Swt.
berfirman dalam QS Asy Syura: 42, “Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang
yang berbuat zalim kepada sesama manusia dan melampaui batas di bumi tanpa
(mengindahkan) kebenaran. Mereka itu mendapatkan siksa yang pedih.”
2.
Didoakan mendapat kesusahan
Rasulullah
saw. mendoakan kesusahan bagi para penguasa yang menindas umat beliau. “Ya
Allah, siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku kemudian dia menyusahkan
mereka, maka susahkanlah dia. Siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku dan
memudahkan mereka, maka mudahkanlah dia” (HR Muslim).
3.
Dijauhkan dari surga
“Tidaklah
seseorang diamanahi memimpin suatu kaum kemudian ia meninggal dalam keadaan
curang terhadap rakyatnya, maka diharamkan baginya surga”
(HR Bukhari-Muslim).
Dengan
gambaran ini maka praktik politik dinasti tidak akan terjadi dalam sistem Islam
(khilafah) karena para pemimpin Islam bervisi akhirat, tidak ada orientasi
materi atau kepentingan dunia yang ingin diraih. Yang menjadi prioritas adalah
terwujudnya kehidupan yang sejahtera dan mendapatkan curahan keberkahan dari
Allah Swt. Wallahua’lam.
0 Komentar