Oleh Karina Fitriani Fatimah
(Alumnus of master degree of applied computer science, Albert-Ludwigs- Universität Freiburg, Germany)
#Telaah Utama- Sepuluh hari pertama Ramadan telah dilewati umat Islam beserta rangkaian rutin di dalamnya. Pelaksanaan ibadah shaum, shalat tarawih, hingga mulai meningkatnya animo masyarakat terutama muslimah untuk menutupi sebagian aurat-aurat mereka selama bulan suci ini. Tak ketinggalan media-media mainstream tanah air yang dibanjiri acara-acara religi, menemani waktu-waktu sahur serta berbuka. Dengan sebutan mahsyur 'bulan suci', Ramadan pun menjadi momen yang tepat bagi kebanyakan umat untuk berlomba-lomba mengerjakan kebajikan.
Semangat Ramadan yang senantiasa muncul berulang di setiap tahunnya, sayangnya tidak kemudian serta-merta menutup pintu kemaksiatan secara menyeluruh, khususnya di negeri ini. Kemaksiatan level rendah hingga berat masih terus bergentayangan, tampak tidak memerdulikan keberadaan bulan suci Ramadan.
Kasus tawuran di kalangan remaja misalnya, bukannya menghilang di bulan suci ini tetapi justru menjelma menjadi “perang sarung” yang tak jarang diikuti dengan aktivitas balapan liar di waktu-waktu sahur. Kapolsek Pasanggrahan, Jakarta Selatan bahkan telah mengamankan setidaknya 12 remaja yang hendak melakukan tawuran sarung antara remaja dari wilayah Larangan Ciledug dengan remaja dari wilayah Joglo Kembangan yang rencananya akan melakukan tawuran sarung di wilayah sekitar JORR Petukangan Utara. (cnnindonesia.com, 16/03/2024)
Tidak hanya kasus tawuran, prostitusi online justru kian menjamur di bulan Ramadan ini. Di Bogor, polisi berhasil menggerebek seorang mucikari , DTP (27), yang melibatkan puluhan perempuan dari berbagai profesi dengan label harga yang bervariasi pula (porosjakarta.com, 14/03/2024). Sedangkan di Parepare, Sulawesi Selatan, Satpol PP setempat berhasil mengamankan 32 orang, yakni 10 laki-laki dan 22 wanita, yang terjerat dalam kasus prostitusi online. (beritasatu.com, 18/03/2024)
Dari sini kita dapat melihat bagaimana kondisi moral umat saat ini begitu terpuruk, sampai-sampai berbagai label kebejatan begitu mudah disematkan di diri mereka. Ironisnya, bulan suci Ramadan yang sepatutnya menjadi ajang pencucian diri dari dosa, nyatanya tidak mampu membendung berbagai kerusakan dan kebobrokan yang terjadi di tengah-tengah umat.
Merebaknya kemaksiatan hari ini sesungguhnya berawal dari penerapan sekularisme, liberalisme, dan kapitalisme di dalam tubuh umat! Di mana sekularisme yang memisahkan peran Islam dari kehidupan, menjadikan seluruh aspek kehidupan mulai dari sistem ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, hingga politik digarap tanpa adanya peran Islam. Konsekuensi logisnya, tidak ada peran akidah yang menjadi tuntunan sekaligus 'rem' bagi umat dalam berperilaku.
Terlebih lagi liberalisme yang memfasilitasi ide kebebasan, terutama dalam kebebasan berekspresi dan bertingkah laku, menjadikan masyarakat bebas melakukan apa saja yang disukainya tanpa harus memperhitungkan koridor-koridor hukum Sang Pencipta. Begitupun dengan media massa dan media sosial yang secara bebas mengekspos kehidupan hedonis dan pergaulan bebas yang secara nyata merusak tatanan moral masyarakat. Sementara itu, masyarakat justru tumbuh menjadi umat yang permisif-individualis yang tak jarang mengabaikan fungsi kontrol sosial.
Celakanya lagi, kapitalisme yang mengagungkan nilai materi, senantiasa mengukur segala sesuatu dari sisi manfaat dan keuntungan. Hal ini kemudian semakin mengaburkan nilai salah-benar yang kian bergeser menjadi untung-rugi. Sebagai contoh, tidak masalah lokalisasi dan prostitusi ada selama berkontribusi pada perekonomian negara. Ataupun ekonomi berbasis ribawi yang sulit dilepaskan dari kehidupan bermasyarakat dewasa ini, karena dianggap banyak memberikan manfaat bagi masyarakat, tanpa melihat aktivitas tersebut sebagai salah satu dosa besar.
Tidak hanya menyuburkan dosa-dosa besar, kapitalisme secara nyata bahkan menghancurkan tatanan kehidupan keluarga umat. Dengan kian terpuruknya perekonomian umat menjadikan banyak ibu yang tidak memiliki pilihan selain harus pergi keluar rumah mencari nafkah. Tidak jarang bahkan para wanita yang sepatutnya berperan sebagai ibu di dalam kehidupan anak-anaknya, justru harus hidup merantau hingga ke negeri seberang hanya demi mendapatkan sesuap nasi. Lalu bagaimana dengan perkembangan akidah dan moral anak? Hal tersebut menjadi prioritas nomor kesekian bagi masyarakat kapitalis yang terlalu sibuk mengejar prestasi akademis dan kekayaan dunia.
Masyarakat sekularis-kapitalis-liberal pada akhirnya berkembang menjadi masyarakat yang tidak mampu mengelola stress dan cenderung mudah melakukan tindak kriminal. Hal ini salah satunya terjadi karena begitu mudahnya pemikiran-pemikiran kufur merasuki benak-benak umat melalui berbagai media sosial dan media mainstream, yang celakanya diserap umat tanpa filter dan tanpa benteng akidah. Dari sinilah kita menyaksikan bagaimana kemudian alam sekularis-liberal-kapitalis melahirkan generasi rapuh tanpa adab, mudah terserang “mental health illness”, krisis etika namun merasa bebas melakukan apapun tanpa batasan agama.
Kerusakan struktural umat yang mengindahkan Islam sebagai aturan kehidupan manusia dan menggantinya dengan hukum-hukum buatan manusia dalam sistem kapitalis-sekular kemudian menormalisasi keberadaan maksiat di tengah-tengah umat bahkan di bulan suci Ramadan. Umat pun menjadi terbiasa meninggalkan hukum-hukum Allah dan celakanya hanya menjadikan Ramadan sebagai bulan seremonial semata.
Bulan Ramadan yang sepatutnya menjadi ajang memperoleh kesempurnaan takwa, tidak lebih dari sekedar momen gathering buka bersama, beramai-ramai “war takjil”, atau hanya sekedar ajang “diet” dengan menahan lapar dan haus di siang hari. Tidak lagi kemudian Ramadan dijadikan momentum untuk hijrah dan introspeksi diri menjadi pribadi shaleh dan taat kepada hukum-hukum Allah. Padahal Allah Swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (TQS. Al-Baqarah: 183). Dengan pengertian takwa yang benar menurut Imam Ali bin Abi Thalib r.a. berarti ”takut kepada Allah, beramal sesuai dengan apa yang telah diturunkan, menerima (qana’ah) dengan yang sedikit, dan bersiap-siap menghadapi hari akhir (hari perpindahan).” Wallahu a’lam bi ash-shawab
0 Komentar