Sama seperti Ramadan sebelum-sebelumnya, Wali Kota Bogor kembali menyampaikan sejumlah larangan aktivitas tertentu agar tidak menodai kesucian Ramadan. Aktivitas tersebut antara lain: sahur on the road (SOTR), perang sarung, meminta tempat hiburan malam (THM) tutup total, serta melarang masyarakat memproduksi, menjual, dan menyalakan petasan. (www.radarbogor.id/11-03-2024)
Namun nampaknya para remaja tidak mengindahkan larangan ini. Buktinya, puluhan remaja yang masih berstatus pelajar ini melakukan perang sarung di sekolah Kesatuan Baranangsiang Bogor. Kejadian ini terjadi pada 11 Maret 2024 pada pukul satu dini hari. Namun tanpa menunggu lama, Polresta Bogor Kota berhasil meringkus 29 pelaku perang sarung tersebut. Mereka masih berstatus pelajar mulai dari kelas VII SMP hingga kelas X SMA. (www.radarbogor.id/13-03-2024)
Tradisi yang Terdistorsi
Perang sarung Ramadan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari budaya masyarakat di beberapa daerah di Indonesia. Tradisi ini telah diwariskan secara turun-temurun dan menjadi salah satu identitas budaya yang unik. (www.diptero.id/25-03-2024)
Perang sarung awalnya merupakan permainan para remaja untuk mengisi kegiatan di bulan Ramadan. Biasanya dilakukan saat hari libur sekolah usai salat tarawih atau salat subuh. Tradisi ini berdasar sejumlah literasi, sudah muncul sejak lama, khususnya di sejumlah wilayah Pulau Jawa.
Usai salat subuh berjamaah di Masjid, para remaja yang jumlahnya bisa mencapai puluhan orang berkumpul. Melepas sarung yang sebelumnya digunakan untuk salat, lalu melipat, mengikat di salah satu ujungnya, atau menggulung hingga seperti cambuk. Sarung-sarung ini yang digunakan untuk senjata dalam perang sarung. Mereka kemudian saling serang menggunakan sarung. Tetapi tujuan para remaja tersebut hanya sekadar bersenang-senang, sebagai hiburan, bukan untuk melukai. (www.voi.id/30-03-2023)
Namun sekarang, tradisi ini sudah mengalami pergeseran. Perang sarung bukan lagi permainan yang menyenangkan, tetapi pertarungan yang mengerikan. Perang sarung dijadikan sebagai ajang tawuran antar remaja atau antar pelajar di bulan suci. Ujung sarung yang sebelumnya hanya sekadar lipatan kain, diisi dengan batu atau senjata tajam. Sehingga siapa saja yang terkena ujung sarung akan terluka dan jatuh banyak korban. Atau celurit, pisau, pedang, dan samurai yang digunakan untuk bertarung, sengaja dibungkus dengan sarung. Menandakan mereka sedang perang sarung untuk menyamarkan aktivitas tawuran.
Biang Kerok Distorsi Perang Sarung
Entah sejak kapan dan siapa yang memulai, hingga akhirnya perang sarung terdistorsi menjadi ajang tawuran. Namun yang jelas, yang memulainya adalah para remaja muslim yang minim ilmu agama namun banjir dengan berbagai konten kekerasan. Film genre action, games, bahkan berita mengandung banyak konten kekerasan. Belum lagi orang tua dan lingkungan yang bisa jadi ikut andil dalam penanaman kebiasaan melakukan kekerasan. Maka tak heran jika mereka menyelesaikan masalah yang mereka hadapi dengan kekerasan. Tanpa melakukan penelaahan, tanpa berpikir jernih, bahkan tanpa diskusi. Mereka berpedoman ‘senggol bacok’. Siapa saja yang mengganggu mereka, meskipun sepele, maka akan dibalas dengan tindakan kekerasan. Perang sarung dimanfaatkan sebagai ajang untuk memperlihatkan eksistensi diri atau sebagai ajang ‘balas dendam’ bagi mereka. Mereka menyembunyikan tindakan kriminal mereka menggunakan dalih tradisi Ramadan.
Memang usia remaja adalah waktu dimana naluri eksistensi diri (gharizah baqa') sangat tinggi. Keinginan untuk diakui kehebatannya begitu menggebu-gebu. Namun, naluri ini dapat dikendalikan dan dipenuhi dengan baik sesuai dengan cara berpikir. Maka cara berpikir para remaja inilah yang menjadi poin pentingnya. Cara berpikir para remaja sangat dipengaruhi oleh pemikiran yang mendominasi di masyarakat dan sistem negara. Sistem kapitalis sekular telah membersamai remaja sejak lama dan dijadikan sebagai pedoman hidup di negeri ini. Ide-ide kebebasannya makin lama makin mendarah daging. Kebebasan berekspresi menjadi salah satu dalih melakukan aksi adu eksistensi melalui tawuran. Apalagi sistem kapitalis sekular ini diterapkan dalam kurikulum pendidikan. Ide-ide rusaknya makin merajai cara berpikir para remaja.
Bukan hanya itu, ide kebebasan berekspresi jugalah yang telah membidani lahirnya konten-konten kekerasan yang dikonsumsi remaja. Para pengusung ide ini hanya mensyaratkan label ‘konten sensitif mengandung kekerasan’ disematkan dalam konten. Tanpa bertanggungjawab pada efek yang timbul ketika konten tersebut ditonton oleh anak-anak dan remaja. Bahkan para remaja ini dengan bangganya mengunggah video aksi mereka demi sebuah eksistensi. Beberapa video viral di media massa dengan konten perang sarung, misalnya. Meskipun durasinya pendek-pendek, justru video pendek ini yang menarik bagi generasi muda. Media sosial menjadi semacam sarana iklan gratis yang menginspirasi remaja, termasuk untuk hal-hal yang negatif dan merusak. Alhasil, apa yang ditonton itulah yang jadi tuntunan bagi remaja 'bersumbu pendek' ini.
Solusi Aksi Kekerasan Remaja
Karena permasalahan ini sangat kompleks, maka penyelesaiannya pun harus komprehensif, tuntas hingga ke akarnya. Solusi komprehensif hanya dengan cara mengganti sistem kapitalis sekular yang rusak ini dengan sistem yang telah terbukti mampu menghasilkan generasi yang gemilang. Sistem tersebut adalah sistem khilafah yang menerapkan syariat Islam secara kafah. Diterapkan dalam setiap sendi kehidupan. Begitu pula di lingkungan masyarakat, hanya Islam yang dijadikan patokan untuk menyelesaikan permasalahan. Bukan berstandar pada pemenuhan hawa nafsu semata. Karena generasi yang gemilang hanya akan lahir dari sistem yang gemilang pula.
Oleh karena itu, ada tiga hal penting yang harus dibangun sebagai solusi tuntas atasi aksi kekerasan remaja, yaitu:
1. Membangun pribadi yang bertakwa dan berkepribadian Islam
Ketakwaan adalah faktor utama agar remaja terhindar dari perilaku kekerasan. Tidak hanya remaja yang harus bertakwa, tetapi juga keluarga dan masyarakat. Dan ketakwaan tidak terbentuk dengan sendirinya. Harus ada upaya memahami Islam agar setiap orang menjadi pribadi yang bertakwa. Disinilah pentingnya mempelajari dan memahami Islam secara intensif. Ketakwaan akan terbentuk dan dipupuk hingga terwujud kepribadian Islam secara konsisten. Yakni terbentuk pola pikir dan pola sikap sesuai dengan cara pandang Islam.
2. Membangun kontrol masyarakat
Kontrol masyarakat akan makin menguatkan ketakwaan individu dan keluarga. Caranya dengan menumbuhkan kepedulian sosial dan membudayakan aktivitas amar makruf nahi mungkar di tengah masyarakat. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang menyaksikan kemungkaran, hendaknya ia mengubah kemungkaran itu dengan tangan (kekuasaan)-nya. Jika tidak mampu, dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, dengan hatinya. Hal demikian adalah selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim).
Aktivitas amar makruf nahi mungkar yang dilakukan secara kolektif akan mampu mencegah terjadinya berbagai kemungkaran dan kejahatan yang mungkin dilakukan oleh individu.
3. Membangun sistem kehidupan sesuai syariat Islam
Negara berperan penting dalam membangun dan menerapkan sistem kehidupan sesuai syariat Islam. Tidak hanya sistem pendidikan yang harus dibenahi oleh negara. Namun, juga segala informasi yang beredar di masyarakat tidak boleh ada yang mempertontonkan perilaku kekerasan sebagai perbuatan biasa. Negara harus berani memblokir media yang menyajikan berbagai tayangan yang tidak mendidik dan tidak mencerdaskan masyarakat, apalagi sampai menjadi jalan bagi semua perilaku maksiat. Sebab tidak ada kebaikan sedikit pun pada setiap perbuatan yang melanggar syariat.
Begitu pula dalam sistem pergaulan, interaksi antar anggota masyarakat harus dijaga agar tidak ada perbuatan yang dapat membahayakan mereka. Juga sistem ekonomi, harus dapat menjamin terpenuhinya seluruh kebutuhan orang per orang dengan cara yang mudah dan makruf. Hal ini akan menutup celah bagi orang untuk berpikir pendek dengan melakukan tindakan kekerasan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selanjutnya adalah sistem sanksi yang tegas sehingga membuat orang berpikir seribu kali jika melakukan tindak kekerasan yang sama serta benar-benar membuat jera pelakunya.
Semua ini hanya ada pada negara yang menerapkan Islam di seluruh sistem kehidupan, tidak pada negara kapitalis sekuler yang justru menjauhkan Islam dari kehidupan manusia. Dan negara yang seperti ini hanyalah negara Khilafah Islamiah.
Negara khilafah dengan segenap sistem kehidupan Islam yang diterapkan di dalamnya telah menghasilkan sosok-sosok pemuda bervisi besar. Muhammad Al Fatih Sang Penakluk, misalnya. Pada usia 21 tahun Muhammad Al Fatih berhasil menaklukkan konstantinopel. Penaklukan yang lahir dari keimanan yang kuat kepada Allah Swt. dan keyakinan terhadap bisyarah Rasulullah saw. Muhammad Al Fatih melakukan peperangan ini bukan untuk eksistensi diri, apalagi karena menyukai kekerasan. Beliau melakukannya semata-mata karena menjalankan perintah Allah Swt. untuk membebaskan manusia dari penghambaan kepada selain Allah. Pemikiran ini sudah terpatri dalam pemikirannya sejak kecil karena Islam diterapkan dalam kehidupan bernegara. Lingkungan keluarga dan masyarakat yang Islami menguatkan pemikiran Al Fatih kecil. Sehingga wajar kemudian muncul Al Fatih-Al Fatih lain di masa kekhilafahan Islam yang bersedia berjuang demi tersebarnya risalah Islam.
Wallahua’lam
Oleh: Vinsi Pamungkas
0 Komentar