Oleh Karina Fitriani Fatimah
(Alumnus of master degree of applied computer science, Albert-Ludwigs- Universität Freiburg, Germany)
#Telaah Utama- Sepekan terakhir ini rakyat Indonesia tengah digemparkan oleh kasus korupsi timah yang menyeret sejumlah nama besar termasuk diantaranya Crazy Rich PIK, Helena Lim dan suami artis kondang Sandra Dewi, Harvey Moeis. Tidak tanggung-tanggung, kerugian ekologis yang disebabkan oleh praktik korupsi di wilayah Babel tersebut mencapai Rp271 triliun. Angka fantastis tersebut adalah perhitungan kerugian kerusakan dalam kawasan hutan berupa kerugian lingkungan ekologis, ekonomi lingkungan dan biaya pemulihan senilai kurang lebih Rp 223 triliun, serta kerugian kerusakan dalam nonkawasan hutan senilai kurang lebih Rp48 triliun. (detik.com, 01/04/2024)
Kasus dugaan korupsi yang saat ini sedang diusut Kejaksaan Agung tersebut, terkait tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah tahun 2015-2023. Di mana diduga ada kerja sama pengelolaan lahan PT Timah dengan pihak swasta secara ilegal. Yang kemudian pihak swasta tersebut secara terstruktur membentuk beberapa perusahaan boneka untuk mengumpulkan bijih timah tersebut berdasarkan IUP PT Timah. Mereka lalu menerbitkan Surat Perintah Kerja yang seolah-olah berasal dari PT Timah yang memberi izin kegiatan borongan pengangkutan sisa hasil mineral timah.
Masih dalam kasus yang sama, terdapat pula oknum direksi PT Timah yang memberi persetujuan tertulis yang seolah-olah menggambarkan adanya kerja sama sewa-menyewa peralatan processing peleburan timah dengan para smelter yang sudah ditunjuk sebagai rekanan oleh PT Timah yakni PT SIP, CV VIP, PT SBS, PT TIN, dan PT RBT. Kemudian beberapa tersangka dalam kasus ini termasuk Harvey Moeis dan Helena Lim mendapatkan kucuran dana dari perusahaan smelter yang disamarkan sebagai dana Corporate Social Responsibility (CSR). Lucunya lagi, hasil pengelolaan timah dari perusahaan boneka itu justru dijual kembali kepada PT Timah padahal bijih timah yang dihasilkan tidak lain berasal dari tanah garapan PT Timah.
Jika kita cermati, total luas galian tambang PT Timah di Bangka Belitung sekitar 170.363.064 hektar. Namun, luas galian yang memiliki izin usaha tambang atau IUP hanya mencapai 88.900,462 hektar (detik.com, 01/04/2024). Artinya, lebih dari 47% luas lahan galian tambang timah yang berada di bawah kawasan PT Timah dipergunakan secara ilegal.
Kejanggalan lain dalam kasus ini tidak hanya terlihat dari pengelolaan lahan tambang secara ilegal, tetapi juga dari sisi penunjukan smelter rekanan. Beberapa waktu sebelum kasus ini mencuat sebetulnya terdapat aduan yang disampaikan perwakilan dari 27 pemilik smelter di Babel yang secara sepihak dicabut izinnya oleh Mabes Polri dengan dalih illegal mining. Namun di saat yang sama, terdapat 5 smelter yang ditunjuk secara eksklusif oleh pihak PT Timah untuk membantu processing pengolahan bijih timah. Anehnya, PT Timah justru membeli hasil olahan timah dari smelter rekanan dengan harga di atas harga normal. (majalah.tempo.co, 10/03/2024)
Dari sini kita melihat bagaimana sebetulnya penjarahan timah di negeri ini dilakukan secara terang-terangan, tanpa tedeng aling-aling. Di mana proyek mega korupsi tersebut bahkan sampai mengerahkan traktor, kapal-kapal pengisap, dan armada truk-truk besar, yang lucunya ‘tidak tersentuh’ oleh hukum. Tambang-tambang ilegal pun dibiarkan beroperasi dengan aman, tanpa terusik karena kuatnya beking yang mereka miliki. Padahal area yang dijarah oleh para koruptor lebih dari 81.460 hektar area tambang.
Kacaunya lagi, pertalian antara aparat dan pengusaha penyokong tambang ilegal begitu erat. Transaksi antara mereka tak sekadar menguntungkan secara finansial tetapi sampai pada pemberian “perlindungan” dari institusi penegak hukum kepada para tikus berdasi. Lihat saja bagaimana dalam kasus korupsi timah ini, pengusaha yang diduga kuat terlibat, yakni Robert Bonosusatya (RBS) yang terkait dengan PT Refined Bangka Tin (RBT), sama sekali belum tersentuh proses hukum. Alasannya karena dianggap belum ditemukan bukti kuat akan keterlibatan RBT dalam aksi penjarahan timah di tanah air. kemudian
Dengan ini semakin terlihat bahwa praktik korupsi di negeri ini benar-benar dilakukan secara masif, sistematis, dan terstruktur. Di mana pihak yang terlibat berada di segala lini yang menjalar hingga ke area akar rumput.
Budaya korupsi memang bukanlah sesuatu yang aneh dalam bingkai kehidupan sekuler-kapitalis. Karena pada dasarnya sistem kapitalisme-liberal menghalalkan segala cara untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya, menjadikan para cuan maupun aparat penegak hukum dan penguasa menimbang segala sesuatu dari sisi untung-rugi. Setidaknya ada 3 (tiga) hal yang menjamin tumbuh kembangnya korupsi dalam tatanan kehidupan ekonomi kapitalistik.
Pertama, peran negara yang cenderung abai atau bahkan terlibat dalam praktik korupsi. Dalam kasus korupsi timah misalnya, terbukti nyata aparat dan penguasa melakukan pembiaran terhadap aktivitas illegal mining di wilayah Bangka Belitung di area seluas lebih dari 81.000 hektar tanah. Aktivitas penambangan ilegal di area sebesar itu dengan melibatkan alat-alat berat, lucunya tampak tak terlihat atau sengaja tidak dilihat.
Sedangkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan menyebutkan adanya 3.772 izin dari total sekitar 11.000 perizinan tambang di Indonesia yang dianggap bermasalah atau ilegal (cnnindonesia.com, 02/04/2024). Penambangan tambang tak berizin ironisnya dilakukan sepengetahuan kepala daerah setempat ataupun pihak kepolisian di wilayah tersebut, dan bisa lolos dari jeratan hukum dengan hanya memberikan ‘amplop’ tebal sebagai biaya tutup mulut.
Kedua, korupsi akan terus merajalela karena hukum yang tumpul. Tidak sedikit pelaku korupsi yang tidak tersentuh hukum di negeri ini. Dalam kasus korupsi timah di Bangka Belitung, sebetulnya yang dijadikan tersangka oleh Kejagung masih berupa para ‘tikus kecil’, seperti jajaran kepengurusan perusahaan atau manajemen selaku operator. Kejagung tampak belum punya nyali untuk membongkar apa peran aparat penegak hukum, semisal pihak kepolisian yang diduga ikut membiarkan keberadaan tambang ilegal beroperasi, hingga kemudian terjadi proses kerja sama dengan pihak PT Timah untuk terlihat sah secara regulasi.
Ketiga, jikapun ada hukuman, hukumannya begitu ringan dan sama sekali tidak memberikan efek jera. Bayangkan saja jumlah harta yang dikorupsi bisa mencapai angka ratusan triliun seperti halnya dalam kasus korupsi timah, sedangkan total hukuman yang diberikan paling hanya berupa denda, pengembalian aset yang pastinya jauh lebih kecil dari jumlah yang dikorupsi, serta hukuman kurungan (penjara) yang hanya beberapa tahun saja.
Padahal sudah menjadi rahasia umum bahwa para pelaku koruptor kelas kakap begitu mudah mendapat ‘diskon’ masa tahanan dengan adanya sistem remisi. Sebagai contoh saja tahun lalu, Setya Novanto yang terciduk kasus korupsi e-KTP dan dijatuhkan vonis 15 tahun penjara, mendapat remisi bahkan hingga dua kali. Terakhir pada April 2023, Novanto mendapat remisi khusus bersama 207 pidana lainnya di Lapas Sukamiskin Bandung. Begitupula Imam Nahrawi yang pernah menjabat sebagai Menpora dan tersangkut kasus korupsi dana hibah KONI mendapat pengurangan masa tahanan di tahun yang sama.
Lebih gilanya lagi, pengurangan jumlah masa tahanan atau terkadang sampai pembebasan bersyarat maupun tak bersyarat bisa terjadi hanya karena para koruptor dianggap berkelakuan baik ataupun telah mengikuti pembinaan di dalam lapas. Belum lagi kondisi lapas untuk koruptor yang katanya bisa disandingkan dengan hotel bintang 5, termasuk fasilitas karaoke, sauna, atau bahkan pernah terdengar kabar disediakannya landasan helikopter. Pada akhirnya, hukuman kurungan sama sekali tidak memberikan efek jera dan sangat tidak berbanding dengan jumlah kerusakan yang ditimbulkan oleh para tikus berdasi.
Dari sini kita melihat bagaimana sistem ekonomi kapitalis-liberal yang dianut negeri ini justru berperan besar dalam menumbuhsuburkan praktik korupsi. Lemahnya integritas para penegak hukum dan penguasa, disertai dengan lemahnya sistem hukum benar-benar memberikan berjuta celah dalam melembagakan perilaku korup. Terlebih lagi dengan penerapan sistem kapitalisme-liberal di negeri ini menafikan peran agama (Islam) yang kemudian tidak lagi mengenal batasan halal dan haram dalam pengaturan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Oleh karenanya tidak mengherankan jika selama Indonesia tetap bersikukuh menerapkan sistem kapitalisme-liberal, tindak korupsi akan kian tak terbendung. SDA negeri ini kian hari kian terang-terangan dirampok oleh segelintir orang yang berada di pusaran oligarki. Sedangkan rakyat Indonesia yang katanya hidup di negeri yang kaya raya hanya bisa gigit jari dan perlahan-lahan mati dalam kemiskinan dan kesengsaraan. Wallahu a’lam bi ash-shawab
0 Komentar