Menanti Putusan MK dalam Sengketa Pilpres 2024, Siap Kecewa Lagi?


Oleh Annisa Al Munawwarah

Aktivis Dakwah Kampus dan Pendidik Generasi


Wakil Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Yusril Ihza Mahendra terlihat sangat siap membabat habis segala sengketa yang digugatkan paslon lain yang kini telah resmi kalah dalam pemilu. Menarik sekali pernyataan-pernyataan yang dibocorkan Yusril kepada media terkait berbagai jawaban yang telah dipersiapkan 45 advokat handal yang tergabung dalam Tim Pembela Prabowo-Gibran, untuk kemudian disampaikan secara lisan dalam berbagai agenda persidangan usai pihaknya mengajukan diri sebagai Pihak Terkait.  

Yusril mengatakan bahwa permohonan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD yang meminta pemilihan presiden (Pilpres) 2024 diulang usai Gibran didiskualifikasi sulit dikabulkan. Pernyataan itu disampaikan Yusril setelah mengetahui bahwa kubu Anies dan Ganjar melayangkan gugatan sengketa Pilpres 2024 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Yusril menyampaikan bahwa UU Pemilu No. 7 Tahun 2017 tidak mengenal pilpres ulang secara menyeluruh seperti yang diinginkan kubu Anies dan Ganjar. (nasional.kompas.com, 24/3/2024). Artinya, permintaan pilpres ulang jelas akan sia-sia belaka.

Sebagai informasi, bahwa kubu Anies-Muhaimin telah mendaftarkan permohonan sengketa Pilpres 2024 pada 21 Maret 2024. Pasangan ini mendalilkan banyaknya kecurangan serta ketidaknetralan Presiden Joko Widodo dalam pemilu karena keikutsertaan putranya, Gibran, sebagai calon presiden. Pasangan ini juga mendalilkan adanya kecurangan penyalahgunaan bansos yang memberikan dampak bagi pasangan Prabowo-Gibran. (mkri.id, 25/3/2024)

Sedangkan kubu Ganjar-Mahfud mengajukan gugatan terhadap hasil Pilpres 2024 ke MK pada Sabtu, 23 Maret 2024. Deputi Hukum Tim Pemenangan Nasional Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis mengatakan dalam gugatan tersebut, pihaknya meminta diskualifikasi atas pasangan calon terpilih Pilpres 2024, Prabowo-Gibran karena dinilai telah melanggar ketentuan hukum dan etika. Selain itu, pihaknya juga meminta pungutan suara ulang di seluruh tempat pemungutan suara (TPS) di Indonesia. (voaindonesia.com, 24/3/2024)

Menanggapi gugatan di atas, Yusril menganggap aneh kubu Anies dan Ganjar, sebab kedua kubu baru meminta Prabowo Gibran didiskualifikasi setelah dinyatakan menang dalam pemilu 2024. Lantas bagaimana putusan MK nanti terkait sengketa Pilpres 2024 ini?


Fakta MK dalam Sidang Gugatan Pilpres Indonesia

Tahun 2024 merupakan tahun kelima dilaksanakannya sengketa hasil pilpres 2025. Sebab Indonesia telah 5 kali melaksanakan pemilu untuk Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, yakni tahun 2004, 2009, 2014, 2019, dan 2024. 

Sebuah fakta menarik bahwa selama empat kali sengketa pemilu (2004, 2009, 2014, 2019) tak satu pun yang dikabulkan MK. MK tetap berjalan dalam koridor kompetensi limitatifnya, yaitu hanya fokus pada perselisihan hasil pemilu.

Berdasarkan pengalaman sengketa sebelumnya, Munafrizal Manan, seorang advokat, analis hukum konstitusi, dan mantan peneliti di MK menyatakan bahwa gugatan terhadap hasil pilpres di MK sesungguhnya hanya berpeluang menang bagi paslon yang selisih perolehan suaranya kecil dan mampu dibuktikan dengan kuat. Apabila selisih suaranya terlalu besar dan apalagi tidak diperkuat dengan bukti meyakinkan, maka berdasarkan pengalaman putusan MK dalam sengketa Pilpres 2004, 2009, 2014, dan 2019, peluang gugatan untuk dikabulkan mustahil.

Mengingat fokus kompetensi MK adalah pada aspek kuantitatif perselisihan hasil pemilu yang signifikan mempengaruhi keterpilihan paslon, sekiranya pun hendak dibuktikan maka pembuktian itu pada hulunya akan berkaitan dengan penghitungan suara di TPS. Dalam konteks ini, harus disebutkan di TPS mana saja, berapa hasil penghitungan suara di TPS tersebut, dan mana bukti materiil terkait penghitungan di TPS itu. Pada titik inilah antara Pemohon (Paslon) dan Termohon (KPU) akan saling melakukan pembuktian silang dalam sidang pembuktian di MK. (news.detik.com, 1/4/2024)

Maka berdasarkan penjelasan di atas, serta apa saja poin gugatan yang dilayangkan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud, jelaskah bagaimana arah MK dalam kasus sengketa Pilpres 2024 sekarang ini. Seolah Yusril tahu bahwa semua upaya yang akan dilakukan kubu lawan terkait sengketa pemilu akan sia-sia saja. Sebab kubu lawan tidak mengambil porsi MK sebagai “kalkulator suara”. 

Maka wajar jika KPU sendiri sejak awal meminta MK untuk menolak gugatan Ganjar-Mahfud terkait sengketa pilpres 2024. KPU menilai bahwa gugatan keduanya salah kamar. Sebab gugatan itu seharusnya dilayangkan ke KPU. Karena itu, KPU meminta MK menyatakan keputusan KPU Nomor 360 tahun 2024 tentang penetapan pemilu benar dan tetap berlaku. (cnnindonesia.com, 28/3/2024)

Memang termasuk hal yang konyol jika mengharapkan MK dapat mengabulkan gugatan para pemohon dalam sengketa Pilpres 2024. Pasalnya, MK sendiri telah berada dalam genggaman pihak tertentu. Hal ini terbukti dari adanya dugaan pelanggaran oleh MK sendiri sejak masa pendaftaran pilpres yang ditunjukkan dengan Putusan MK No. 90 Tahun 2023 tentang perubahan syarat usia capres-cawapres.  

Demokrasi Segera Tumbang

Dalam demokrasi, bagaimana pun pemilu harus tetap dilaksanakan, sebab ia menjadi legitimasi sahnya para pemimpin berkuasa di negeri ini. Namun, demi mengonsolidasi kekuasaan, segala cara dihalalkan. Presiden boleh melanggar hukum, mengancam hak rakyat, bahkan melanggar konstitusi tanpa harus khawatir semua itu akan dikecam atau diselidiki. Dengan pengadilan dan penegak hukum yang dipegang, pemerintah bisa bertindak tanpa dihalangi. 

Dalam beberapa kasus di negara demokrasi, karena pentingnya posisi ini, Mahkamah Konstitusi (MK) dijadikan sebagai alat untuk berkuasa. Lembaga seperti MK dikendalikan oleh mereka yang setia kepada pemerintah, hingga dapat melayani dan melidungi pemerintah dari penyelidikan dan penuntutan pidana yang dapat menggulingkannya. 

Di Hungaria misalnya, Perdana Menteri Viktor Orban mengisi Mahkamah Konstitusi dan beberapa posisi pemerintahan lainnya dengan sekutu-sekutu partisannya sesudah kembali berkuasa pada 2010. Sementara Vladimiro Montesinos, Kepala Badan Inteligen Peru membantu Presiden Fujimori untuk mengonsolidasi kekuasaan dengan cara memegang tiga hakim agung, dua hakim konstitusi, dan “banyak” hakim serta jaksa. 

Hakim-hakim yang tak bisa dibeli bisa diincar untuk dicopot. Hal ini pernah terjadi di Argentina, saat Juan Peron pada 1946 melalui sekutunya di kongres mencopot tiga hakim untuk membatalkan undang-undang pro-buruh.

Kekuasaan yang dipegang oleh segelintir penguasa merupakan bukti akan tumbangnya demokrasi. Hal ini terjadi, baik di Indonesia maupun di negara-negara demokrasi lainnya. Sebab demokrasi itu sendiri yang justru meniscayakan kecurangan terjadi. 

Melihat gambaran MK dan kebijakannya saat ini, sepertinya ciri-ciri tumbangnya demokrasi di Indonesia sudah mulai tampak. Maka tugas kaum musliminlah untuk mengganti sistem yang akan segera tumbang ini dengan sistem sahih yakni khilafah Islamiyah yang kebenaran risalahnya datang dari Zat yang Maha Benar. Wallahu a’lam.[] 


Posting Komentar

0 Komentar