Pajak THR, Meresahkan!



Oleh Hanin Syahidah



Ramai-ramai netizen memprotes, baik di platform X maupun media lainnya terkait kebijakan pajak Tunjangan Hari Raya

(THR) yang mendzolimi mereka di tahun ini. Dilansir dari laman detikjatim.com, 28/3/2024, di mana THR yang diberikan pekerja swasta akan dikenakan pajak. Bagi pegawai swasta tersebut dikenakan pajak penghasilan (PPh) sesuai Pasal 21.


Pemotongan ini dilakukan langsung perusahaan kemudian disetorkan ke kas negara. Sementara bagi ASN, pajak terutang untuk THR dan gaji ke-13 seluruhnya ditanggung oleh pemerintah. Penghitungan pajak dilakukan dengan metode tarif efektif rata-rata (TER) mulai (1/1/2024).


Menurut buku Cermat Pemotongan PPh pada Pasal 21/26 Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bahwa penghitungan PPh Pasal 21 pegawai tetap adalah menghitung semua penghasilan bruto yang diterima satu bulan terakhir. Penghasilan yang dimaksud yaitu keseluruhan gaji, seluruh jenis tunjangan dan penghasilan teratur lainnya. Selain itu, termasuk bonus, THR, jasa produksi, tantiem, gratifikasi, premi, dan penghasilan tidak teratur lainnya.


Pemotongan PPh Pasal 21 menggunakan dua tarif pemotongan yakni tarif umum dan tarif efektif (TER). TER terdiri dari Tarif Efektif Bulanan dan Tarif Efektif Harian. Tarif Efektif Bulanan dikategorikan berdasarkan besaran penghasilan tidak kena pajak sesuai status perkawinan dan jumlah tanggungan wajib pajak ketika tahun awal pajak. TER ini dibagi tiga kategori, yaitu Kategori A, B, dan C. Sedangkan, Tarif Efektif Harian diperuntukkan bagi pegawai tidak tetap.


Sementara besaran skema penghitungan pajak dijelaskan oleh ditjen pajak yang dikutip dalam CNBCIndonesia.com, 26/3/2024, Ditjen Pajak memberikan contoh penghitungan pajaknya melalui akun instagram @ditjenpajakri, berikut rinciannya: Seorang pegawai tetap uang bekerja penuh selama setahun memiliki gaji Rp5 juta dan mendapatkan beberapa penghasilan lain berupa THR, bonus, dan uang lembur. Pegawai itu menerima THR pada April sebesar Rp5 juta, lalu uang lembur Rp500 ribu pada Februari, Mei, dan November. Premi JKK dan JKM tiap bulannya ialah Rp40 ribu, sehingga total penghasilan bruto adalah sebesar Rp71,98 juta.


Dari total itu, dihitung pajaknya menggunakan tarif efektif rata-rata (TER) sesuai tabel dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58/2023 jo. PMK 168/2023. Lalu, untuk akhir tahun atau Desember diperhitungkan sesuai dengan ketentuan pasal 17 UU PPh jo UU Ciptakerja dikurangi akumulasi TER Januari-November. Dengan demikian, total penghitungannya ialah penghasilan bruto setahun Rp71,98 juta dikurangi biaya jabatan setahun 5% dari penghasilan bruto atau maksimum Rp6 juta, iuran pensiun Rp100 ribu per bulan, penghasilan neto setahun, dan penghasilan tidak kena pajak sesuai tabel kawin dan tanggungan, untuk memperolah penghasilan kena pajaknya yang senilai Rp8,68 juta.


Setelah itu dikurangi dengan perhitungan lapisan PPh Pasal 21 terutang setahun untuk dikalikan dengan penghasilan kena pajak. Lapisan tarif pegawai itu masuk ke dalam golongan tarif 5%, sehingga 5% x Rp8.681.000 sehingga total PPh Pasal 21 terutang setahun Rp434.050. Adapun PPh Pasal 21 terutang dari Januari sampai dengan November adalah Rp443.150, sehingga PPh Pasal 21 terutang Desember ada lebih bayar Rp9.100.


Dengan skema pajak THR yang semakin "merugikan" itu membuat para pegawai merasa tidak adil karena besaran pajaknya tampak lebih besar dari bulan-bulan yang lainnya. "Sudah gaji seadanya, dipotong pajak seenaknya," keluh karyawan swasta yang bekerja di wilayah Tendean, Jakarta Selatan, kepada Tirto Rabu (27/3/2024).


Begitulah, kondisi potongan pajak THR yang cukup besar dilakukan pemerintah di saat kebutuhan rakyat serba mahal menjelang hari besar umat Islam yakni Idulfitri. Sehingga banyak yang menyimpulkan dapat THR atau tidak tetap sama saja, habis juga. Lantas, kenapa pajak dari berbagai lini rakyat seolah dibebankan terus menerus, celah yang ada untuk bisa dipajaki sepertinya ada saja.


Berikut ini jenis pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat: Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Materai, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB perkebunan, Perhutanan, Pertambangan) (pajak-online.com,10/11/2023).


Kebijakan menarik pajak di semua bidang kehidupan memang hal yang inti dalam sistem kapitalisme. Karena pemasukan utama negara adalah dari sektor pajak. Kebijakan pajak di berbagai sisi ini menjadikan konsep negara selalu bernilai transaksional dalam pengurusan kepentingan rakyatnya. Bukan secara konsekuen melakukan pelayanan prima terhadap rakyat tetapi terus menerus meminta "harga" yang harus dibayar oleh rakyat.


Hal ini sangat berbeda dengan kebijakan negara dalam Islam. Di mana negara sebagai "raain" pengurus urusan rakyatnya, melayani rakyat dengan sepenuh hati maka semua kebijakan yang dihasilkan adalah untuk kesejahteraan rakyat. Konsep pemasukan dan pembelanjaan negara di dalam Islam yang dikelola oleh lembaga/badan keuangan negara disebut Baytul Maal.


Dalam kitab al amwal fii dawlah khilafah, karya Abdul Qadim Zallum disebutkan bahwa pos pemasukan mencakup 3 bagian, antara lain:

A. Bagian Fai dan Kharaj, tersusun dari beberapa sesuai dengan harta yang masuk didalamnya,yaitu:

1. Seksi Ghanimah, mencakup ghanimah, anfal, fa’i dan khumus;

2. Seksi Kharaj;

3. Seksi status tanah, mencakup tanah-tanah yang dibebaskan secara paksa ('unwah), tanah 'usyriyah, ash-shawafi, tanah-tanah yang dimiliki negara, tanah-tanah milik umum dan tanah-tanah yang terlarang (dipagar);

4. Seksi Jizyah;

5. Seksi fa’i;

6. Seksi Pajak (dlaribah), hal ini baru ditarik keoada kaum muslimin hanya ketika kondisi paceklik dan krisis yang menjadikan pemasukan lain tidak ada.


B. Bagian kepemilikan umum, di antaranya:

1. Seksi minyak dan gas;

2. Seksi listrik;

3. Seksi pertambangan;

4. Seksi laut, sungai perairan dan mata air;

5. Seksi hutan dan padang (rumput) gembalaan;

6. Seksi aset-aset yang diproteksi negara untuk keperluan khusus.


C. Bagian Sedekah

Seksi-seksi dalam bagian (harta) sedekah ini disusun berdasarkan jenis harta zakat,yaitu:

1. Seksi zakat uang dan perdagangan;

2. Seksi zakat pertanian dan buah-buahan;

3. Seksi zakat (ternak) unta, sàpi dan kambing.


Begitulah beragam pemasukan keuangan negara dalam Islam. Jadi tidak terpaku dalam sektor pajak semata. Bahkan jika semua sektor pemasukan ini sudah memenuhi maka sektor pajak itu dihilangkan. Maka jelas ràkyat hanya menikmati segala pelayanan dari negara dan dijamin kesejahteraannya masing-masing terutama untuk kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan. Bukan seperti saat ini, di mana rakyat harus memenuhi hajat hidupnya sendiri, terlebih jika dia pegawai swasta bukan ASN.


Maka sudah saatnya Islam sebagai agama mayoritas negeri ini, untuk menjadi solusi alternatif pengganti kapitalisme yang semakin menyengsarakan saat ini. Karena Islam telah terbukti pernah diterapkan dan menyejahterakan selama 13 abad lamanya meliputi 2/3 dunia, Wallahu a'lam bishawab.

Posting Komentar

0 Komentar