Kabar tentang Ibu kota Negara Nusantara, Kalimantan Timur, terus mengundang polemik. Mulai dari peraturan yang melandasinya, penggunaan areanya, pembebasan lahannya, pembangunannya, pembiayaannya, dan lain sebagainya.
Ke depan, Jakarta yang tidak lagi menjadi ibu kota, direncanakan akan masuk menjadi kawasan aglomerasi, yaitu kawasan sentralisasi kegiatan ekonomi dan industri. Selain Jakarta kawasan ini meliputi Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur seperti yang tertuang dalam UU Daerah Khusus Jakarta.
Jakarta akan manjadi salah satu pusat ekonomi di Asia Tenggara. Seperti yang dikemukakan oleh Mendagri, Tito Karnavian bahwa data BPS tahun lalu mencatat sebanyak 17% perekonomian Indonesia ditopang Jakarta. Harapannya Jakarta bisa mempertahankan kontribusi tersebut dan bisa bersaing dengan kota-kota kelas dunia. Sehingga tentu Jakarta akan semakin gemerlap dengan segala perhiasan dunia.
Kegemerlapan kawasan aglomerasi ini membuat DPR sendiri tidak mau pindah ke IKN. Padahal badan inilah yang sudah bersusah-susah membuat segala aturan terkait ibu kota baru tersebut. Dalam rapat Pleno Raker pembahasan RUU provinsi Daerah Khusus Jakarta, 18/3/2024 lalu, Wakil Ketua Baleg, Achmad Baidowi meminta agar Jakarta dibuat menjadi ibu kota legislasi. (tirto.id, 20/3/2024)
Baidowi menyatakan bahwa walaupun kegiatannya berfokus di Jakarta, namun aktivitas parlemen tetap di Nusantara. Tentunya gagasan tersebut menyebabkan perlawanan dari banyak pihak. Salah satunya dari pihak pemerintah. Sekjen Kemendagri, Suhadjar Diantoro meminta agar DPR tetap pindah bersama eksekutif ke Nusantara, “Menurut pemeritah, jangan biarkan kami di sana saja, kita harus bersama dalam konteks negara kesatuan.”
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus menyatakan bahwa merupakan hal yang sah bila DPR enggan pindah ke IKN, hal ini pun pernah dilakukan beberapa negara seperti Afrika Selatan, namun menurutnya DPR sudah terlambat untuk menyampaikan usulan tersebut dan konsepnya pun tidak jelas terkait ide pemisahan tersebut.
Lucius menambahkan bahwa dengan ide yang disampaikan tersebut, maka teranglah bahwa ide IKN bukan niat tulus dari sebagian anggota DPR atau parpol. Ditambah IKN masih merupakan daerah yang sepi dan baru, sangat berbeda dengan ingar bingar Jakarta, oleh karenanya DPR pun malas untuk pindah ke sana, tambahnya.
Individualismenya Penguasa
Sangat terlihat dengan terang bahwa penguasa yang demikian hanya mementingkan dirinya dan kelompoknya sendiri. Sifat individualistis tentu merusak, apalagi bila sudah merasuki relung hati penguasa. Mereka hanya serius bila suatu urusan menguntungkannya ataupun kelompoknya.
Sikap individualis ini sesungguhnya diadopsi dari ide Barat. Selain Barat memang sengaja menyebarluaskannya, mereka juga terus mempropagandakan agar ide ini mengakar baik di masyarakat juga individu penguasa.
Individualisme ini lahir dari ide sekuler. Ide pemisahakan antara agama dengan kehidupan, yang merupakan ide sakral bagi Barat untuk negara dan rakyatnya. Sesungguhnya hanya dengan menggunakan sekularisme, bukan kesejahteraan yang didapat, justru negara berjalan menuju kehancuran.
IKN ini merupakan contoh nyata betapa segala aturan yang dibuat ataupun semua argumentasi yang melandasinya dalam rangka memindahkan ibu kota, sama sekali tidak berpihak pada rakyat. Pun pada saat DPR enggan ikut pindah ke Kalimantan Timur.
Betapa kerusakan ekologi telah diciptakan, tidak ada lagi tempat keanekaragaman hayati otentik Kalimantan saat ini. Kenyataannya banyak terdapat spesies hewan yang terancam punah di wilayah IKN. Selain itu terdapat 440 spesies tumbuhan juga terancam punah di wilayah IKN.
Belum lagi masyarakat adat yang tinggal di sana yang kurang lebih berjumlah 419 kepala keluarga dari 4 suku. Dengan adanya ultimatum Surat Teguran Pertama Nomor 019/ST I-Trantib-DPP/OIKN/III/2024, badan Otorita IKN berusaha mengusir warga sekitar dalam jangka waktu 7 hari untuk mengosongkan wilayah IKN.
Kesejahteraan Rakyat
Walaupun pada awalnya, menurut Kepala Badan kebijakan Fiskal kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu bahwa pembangunan IKN akan mendatangkan manfaat jangka pendek, menengah, hingga panjang. Kemudian pada akhirnya akan berimplikasi pada pemerataan kesejahteraan nasional, namun kenyataannya ironis bisa dilihat saat ini. (mediaindonesia.com, 21/1/2022)
Sesungguhnya tugas penguasa adalah mensejahterakan rakyatnya per kepala. Apapun keresahan rakyat, baik itu terkait tidak terpenuhinya kebutuhan primer, sekunder juga tersier, solusinya harus dipikirkan oleh penguasa, bukan dibiarkan, apalagi disepelekan.
Seperti sabda Rasulullah saw., ”Setiap imam (penguasa) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya, maka ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap tanggungan itu.” Oleh karenanya penguasa tidak boleh lalai dalam menjalankan amanah yang dipikulnya.
Tanggung jawab untuk menyejahterakan rakyat bukanlah Amanah yang main-main, karena amanah ini langsung diperintahkan oleh Allah Swt. dan balasannya adalah surga bila mereka menjalankannya, sebaliknya neraka lah bila mereka mengabaikannya.
Rasulullah saw. bersabda, ”Sungguh Allah Swt. akan meminta pertanggungjawaban setiap pemimpin terhadap apa yang dipimpinnya. Apakah ia menjaga atau bahkan menyianyiakan amanahnya.
Oleh karenanya, haruslah penguasa selalu memperhatikan kesejahteraan rakyatnya agar rahmat Allah Swt. hadir di tengah-tengah mereka. Di lain sisi, sudah waktunya untuk mencampakkan sekularisme yang pastinya merusak.
Ide buatan manusia yang mendasarkan semuanya dari akal. Padahal kemampuan akal jelas terbatas, yang tidak mungkin memikirkan hal di luar kemampuannya. Seperti memikirkan bagaimana caranya menyejahterakan masyarakat. Sehingga sudah waktunya untuk melepaskan ide sekuler kemudian digantikan dengan aturan Allah Swt. sebagai landasan pemerintahan agar rahmat-Nya hadir di bumi ini. Wallahu’alam.
Oleh Ruruh Hapsari
0 Komentar