Balon Wali Kota, Semudah Itukah?

 


Oleh Titin Kartini 


Pemilihan Wali Kota akan segera dimulai. Tak heran partai pengusung berlomba-lomba membuka pendaftaran bakal calon (balon) Wali Kota, termasuk di Kota Bogor.

Dilansir dari kompas.com salah satu partai yaitu partai Gerindra telah membuka pendaftaran untuk bakal calon Wali Kota dan bakal calon wakil Wali Kota Bogor untuk maju dalam Pilkada 2024. OKK DPC Partai Gerindra Kota Bogor Said Muhamad Mohan mengatakan, pihaknya tidak memberikan syarat khusus bagi tokoh-tokoh masyarakat yang berniat untuk maju dalam kontestasi Pemilihan Wali Kota (Pilwakot) Bogor 2024, bahkan ia mengatakan bagi eksternal tidak ada syarat khusus harus anggota partai Gerindra dan lain sebagainya. (megapolitan.kompas.com, 18/04/2024)

Hal ini pun dilakukan partai lainnya seperti PKB. Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar pun mengatakan pendaftaran dibuka tidak terbatas hanya untuk kader, namun bagi semua orang yang berminat maju. (www.cnnindonesia.com, 20/04/2024)

Bursa Pemilihan Wali Kota (Pilwalkot) Bogor 2024 pun sudah memunculkan beberapa nama tokoh asal Bogor. Sejumlah nama yang digadang-gadang akan maju jadi calon Wali Kota Bogor 2024, di antaranya Dedie A. Rachim, Raendi Rayendra, Sendi Fardiansyah, Atang Trisnanto, Jenal Mutaqin, Rusli Prihatevy, Ibnu Ariebowo, Aji Jaya Bintara, Eka Maulana, dan Adrian Dimas Prakoso. Sederet calon Wali Kota ini memiliki latar belakang profesi yang sangat berbeda, ada birokrat, politisi, dokter, dan pengusaha. (RadarBogor, 21/03/2024)

Sudah bukan rahasia lagi tentunya bagi negeri yang menerapkan demokrasi, di mana semua orang bisa berpartisipasi dan mengikuti apapun yang mereka inginkan bahkan amanah menjadi Kepala Negara sekalipun asal ada dukungan yang mumpuni dari partai dan tentunya dengan modal yang cukup. Jika tak ada modal yang cukup, sang calon bisa meminta dukungan dari para pemilik modal, dan tentunya hal itu tidaklah gratis. 

Bukankah cara ini beresiko tinggi? Selain bakal calon yang tidak mumpuni akan ikut mendaftar, disinyalir hal ini juga rentan akan terjadinya kolusi dan nepotisme, juga hal-hal buruk lainnya. Karena biaya untuk para bakal calon Wali Kota dan wakil Wali Kota ini membutuhkan biaya yang tinggi. Pastinya praktik oligarki tak mungkin bisa dihindari. Para bakal calon Wali Kota dan wakil Wali Kota akan berlomba-lomba berkolaborasi dengan para pemilik modal atau pengusaha yang mampu mem-backup biaya kampanye untuk mereka.

Maka tak heran jika nanti mereka terpilih, mereka akan berusaha sepenuh hati mengembalikan modal para pengusaha tersebut. Dan inilah yang menyebabkan setiap kebijakan penguasa tidak berbasis pada kebutuhan rakyat, namun untuk memenuhi proyek (by project) sesuai pesanan oligarki, sebagai balas budi yang saling menguntungkan di antara keduanya.

Tentu kita muak dengan semua ini, semua berulang dan tak pernah ada perubahan yang hakiki bagi rakyat. Karena penguasa justru mengabdi pada pemilik modal, bukan melayani rakyat. Maka tidaklah mengherankan, setiap pergantian kepala daerah, rakyat tidak merasakan perubahan yang lebih baik. "Habis manis sepah dibuang", inilah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan nasib rakyat pasca pemilu (memilih pemimpin).

Hal ini berbeda dengan sistem Islam (Khilafah). Ketika seseorang diangkat menjadi kepala daerah maka hal pertama dan mendasar yang ada pada benaknya adalah beratnya amanah yang diembannya.

Setiap pemimpin yang mendapat amanah dari umat/rakyat sangat memahami bahwa amanah yang mereka emban, kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Dengan landasan keimanan dan ketakwaan inilah sang pemimpin menunaikan tugasnya mengurus umat dengan sepenuh hati. Tak terbersit sedikit pun dalam benak mereka untuk mengambil manfaat atau keuntungan dari amanah yang mereka emban. 

Dalam Islam, kepemimpinan adalah perkara yang sangat penting. Dari sinilah bala dan berkah itu terjadi. Maka selayaknya yang menjadi pemimpin adalah orang yang layak dan memiliki sifat dasar kepemimpinan yaitu kuat, mampu dan amanah. Sebab mengemban amanah kepemimpinan sangatlah berat, bukan hanya bisa tebar janji palsu ke rakyat. Beratnya amanah ini digambarkan jelas dan firman-Nya, yang artinya, ”Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit dan bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (TQS. Al Ahzab; 72)

Hal senada disampaikan dari Ma’qil bin Yasar ra. berkata, Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, "Tidaklah seorang hamba pun yang diberi amanah oleh Allah untuk memimpin bawahannya yang pada hari kematiannya ia masih berbuat curang atau menipu rakyat, melainkan Allah mengharamkan surga atasnya.” (Muttafaq ‘alaih)

Adapun pemimpin yang kuat adalah pemimpin yang tidak akan terlena dengan harta dan tahta, ataupun kepentingan partai. Pemimpin yang tidak menghamba kepada manusia. Selain itu pemimpin yang berani melawan kezaliman yang terjadi kepada rakyat dan hanya menjadikan syariat Islam sebagai satu-satunya syariat yang layak diterapkan di muka bumi ini.

Dalam sistem Islam (khilafah), Kepala Daerah adalah orang yang diangkat oleh Khalifah sebagai penguasa (pejabat pemerintah) untuk suatu wilayah (provinsi atau kota), serta menjadi amir (pemimpin) wilayah itu. Karena Kepala Daerah adalah penguasa, maka mereka harus memenuhi syarat-syarat sebagai penguasa, di antaranya harus seorang laki-laki, merdeka, muslim, baligh, berakal, adil, dan termasuk orang yang memiliki kemampuan.

Orang yang menjabat sebagai Kepala Daerah, diangkat secara langsung oleh Khalifah atau orang yang ditunjuk sebagai wakil Khalifah. Hal ini telah dilakukan oleh Rasulullah saw. ketika Beliau mengangkat para Wali untuk berbagai wilayah. Rasulullah saw. yang saat itu juga sebagai Kepala Negara, memilih dan mengangkat para Wali dari orang-orang yang memiliki kelayakan (kemampuan dan kecakapan) untuk memegang urusan pemerintahan, yang memiliki ilmu, dan yang dikenal ketakwaannya.

Rasulullah pun memilih para Walinya dari kalangan orang-orang yang dapat melaksanakan tugas dengan baik dalam urusan yang menjadi kewenangan dan yang dapat mengairi hati rakyat dengan keimanan dan keagungan (kemuliaan) daulah khilafah.

Sulaiman bin Buraidah menuturkan riwayat dari bapaknya yang berkata, "Rasulullah saw. itu, jika mengangkat seorang amir pasukan atau detasemen, senantiasa berpesan, khususnya kepada mereka, agar bertakwa kepada Allah, dan kepada kaum muslim yang ikut bersamanya agar berbuat baik." (HR Muslim). Seorang Wali adalah amir untuk wilayahnya sehingga ia masuk ke dalam cakupan pengertian hadis ini. (Struktur Negara Khilafah)

Tentunya contoh dari Rasulullah saw. hendaknya kita terapkan dalam setiap lini kehidupan, termasuk bagaimana memilih seorang pemimpin. Hal ini pun telah dilakukan oleh para sahabat Khulafaur Rasyidin dan kekhilafahan selanjutnya. Namun sayang, negeri ini masih saja berkubang dalam sistem kapitalisme demokrasi yang nyatanya tidak dan tak akan membawa kebaikan baik di dunia maupun di akhirat kelak. Sudah saatnya kita berhijrah total dan paripurna, dengan hanya berpegang teguh pada syariah kafah dalam tataran individu, masyarakat, dan negara. Wallahua'lam.

Posting Komentar

0 Komentar