Oleh Faiza Salsabila, Mahasiswi Universitas Indonesia
Kenaikan
biaya uang kuliah tunggal (UKT) yang tinggi tengah ramai dibicarakan hingga
menuai aksi protes dari para mahasiswa. Terkait hal ini, Sekretaris Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbud Ristek Tjitjik Sri
Tjahjandarie menyebutkan bahwa biaya kuliah harus dipenuhi oleh mahasiswa agar
penyelenggaraan pendidikan itu memenuhi standar mutu (www.cnbcindonesia.com,
24/5/2024).
UKT
menjadi persoalan yang pelik, berulang, dan tidak menemukan jalan ujungnya. Mahalnya
pembiayaan pendidikan tinggi sudah menjadi lagu lama dalam alam demokrasi. Tak
jarang juga berkembang slogan “Ada harga, ada rupa”, tak terkecuali dalam
bidang pendidikan. Oleh karena itu, ada saja orang-orang yang merasa wajar
bahkan menjadi suatu keharusan atau kebutuhan untuk merogoh kocek dalam-dalam
demi mengenyam pendidikan berkualitas. Sungguh miris ketika salah satu tujuan
negara yang termaktub dalam alinea IV “Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945”
adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, namun masih banyak warga negara yang
tidak bisa mengenyam pendidikan tinggi karena tersendat persoalan biaya.
Pendidikan yang berkualitas memang membutuhkan pembiayaan yang tidak sedikit,
namun siapakah pihak yang seharusnya paling bertanggung jawab dalam
menanggungnya?
Mekanisme
Pembiayaan Pendidikan Tinggi Versi Kapitalisme
Menurut
Pusat Standar & Kebijakan Pendidikan, proses pendidikan bisa terselenggara
karena adanya pembiayaan yang berkelanjutan. Pembiayaan dalam dunia pendidikan
terdiri dari tiga komponen, yaitu biaya investasi, biaya personal dan biaya
operasi. Tanggung jawab dan sumber pendanaan pendidikan tinggi menurut
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi pada pasal 83-87 disebutkan
beberapa pihak: pemerintah pusat dan daerah, masyarakat, melalui kerja sama pelaksanaan
tridarma perguruan tinggi, bersumber dari biaya pendidikan yang ditanggung oleh
mahasiswa sesuai dengan kemampuan mahasiswa/pihak lain yang membiayainya, pemerintah
memfasilitasi dunia usaha dan dunia industri, serta pemerintah dan pemerintah
daerah dapat memberikan hak pengelolaan kekayaan negara kepada perguruan tinggi
untuk kepentingan pengembangan pendidikan tinggi sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.
Menurut
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 25 Tahun 2020 tentang Standar
Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) pada Perguruan Tinggi
Negeri di Lingkungan Kemendikbud, ditetapkan dengan mempertimbangkan
aspek-aspek berikut: Pertama, capaian standar nasional pendidikan
tinggi: diukur berdasarkan komponen capaian peringkat: akreditasi program studi,
perguruan tinggi dan internasional oleh lembaga akreditasi internasional yang
ditetapkan oleh Kementerian. Bobot akreditasi bergantung dengan capaian
peringkat maka tak heran jika kampus berlomba-lomba mengejar akreditasi, tak
hanya dalam skala nasional namun juga internasional.
Kedua,
jenis program studi: dikelompokkan berdasarkan rumpun ilmu dan proses
pembelajaran.
Ketiga,
indeks kemahalan wilayah (IKW): kondisi geografis Indonesia mempunyai pengaruh
terhadap besarnya biaya penyelenggaraan pendidikan di berbagai wilayah
Indonesia yang semakin menegaskan kesenjangan pembiayaan pendidikan di
Indonesia.
Dari
mekanisme pembiayaan pendidikan tinggi tersebut terlihat jelas bahwa
pengadopsian kebijakan kapitalis dalam dunia pendidikan semakin hari semakin
menguat. Dalam sistem kapitalisme, peran negara diminimalisasi, negara hanya
sebagai regulator. Peran swasta pun dioptimalkan. Muncullah istilah ‘luhur’
yang sebenarnya menipu, seperti otonomi kampus, yang intinya negara berlepas
tangan terhadap dunia pendidikan. Akibatnya, kampus harus jungkir-balik mencari
dana. Aset-aset perguruan tinggi dijadikan bisnis untuk mencari uang.
Jika
kita mau menilai secara objektif, sejatinya upaya-upaya tersebut sudah
melanggar tridarma perguruan tinggi karena menjadikan bagian kampus sebagai
pusat bisnis. Demi memenuhi kebutuhan pendanaan perguruan tinggi, konversi aset
tersebut sah-sah saja dilakukan. Permasalahannya jika institusi pendidikan
tidak mempunyai aset, atau sedang buntu, tidak memiliki cara lain untuk memperoleh
dana, alhasil biaya pendidikanlah yang naik, mahasiswa lagi yang menjadi
tumbalnya.
UKT
yang begitu besar saja secara logika awam sudah tentu bertentangan dengan asas
keterjangkauan yang tercantum dalam UU Dikti. Belum lagi golongan UKT mahasiswa
yang diseragamkan, seringkali tidak memperhatikan aspek kondisi ekonomi
mahasiswa. Transparansi terkait pendapatan universitas dari jalur mandiri pun
belum diatur sedemikian rupa. Akibatnya jalur ini menjadi celah bagi
oknum-oknum di kampus untuk meraup pundi-pundi melalui jalur mandiri. Masih
lekat di ingatan kita terkait kasus tertangkapnya salah satu rektor PTN di
Lampung yang seharusnya menjadi evaluasi yang amat penting bagi penyelenggaraan
Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) Jalur Mandiri (4,5).
Mekanisme
pembiayaan pendidikan tinggi di Indonesia yang kapitalistik tidak bisa
dilepaskan dari konsekuensi logis seiring dengan keikutsertaan Indonesia
terhadap perdagangan internasional melalui skema WTO (World Trade
Organization), maka secara langsung Indonesia menyetujui semua ketentuan
dalam WTO, termasuk annex 1b yaitu GATS (General Agreement on Trade
in Services). GATS dalam preambulnya menyatakan tujuan dari perjanjian ini
adalah: persetujuan umum tentang perdagangan jasa yang diharapkan dapat
menunjang perekonomian dunia. Sampai saat ini, WTO telah membagi belasan sektor
jasa yang dapat diperdagangkan di tingkat dunia. Adapun satu dari belasan
sektor tersebut adalah jasa pendidikan. Karena pendidikan dimasukkan dalam
sektor jasa maka pendidikan menjadi sesuatu yang dijualbelikan. Jadi, praktik
perdagangan atau jual beli jasa pendidikan hukumnya sah dan dapat
dipertanggungjawabkan menurut kacamata WTO.
Mekanisme
Pembiayaan Pendidikan Tinggi Versi Islam
Paradigma
komersialisasi pendidikan dalam kapitalisme sangat jelas bertentangan dengan
paradigma Islam. Islam sebagai ideologi tentunya juga mengatur terkait
pengaturan kebutuhan asasi komunal, termasuk Pendidikan. Terlebih dalam Islam
terdapat kewajiban menuntut ilmu bagi setiap Muslim, sehingga wajib bagi negara
untuk mengatur dan memastikan pendidikan berkualitas dapat diakses oleh seluruh
warga negara. Islam meletakkan negara sebagai pengurus utama urusan rakyatnya, “Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus
rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).
Pembiayaan pendidikan di-cover oleh negara
yang diambilkan dari kas baitul mal. Pemasukan kas negara tersebut berasal dari
hasil pengelolaan: Pertama, Sumber Daya Alam (SDA): dari Ibnu Abbas, dia
berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: “Kaum muslimin berserikat dalam 3
(tiga) hal yaitu: air, rumput (pohon), api (bahan bakar), dan harganya adalah
haram. Abu Sa’id menambahkan yang dimaksud air dalam hadits tersebut adalah air
sungai yang mengalir” (HR. Ibnu Majah).
Kedua, ghanimah: harta yang diambil dari musuh Islam dengan cara
perang. Rasulullah SAW telah meminta tebusan atas orang kafir yang tertawan
dengan mengajari 10 anak orang Islam, dimana tebusan orang kafir yang tertawan
itu merupakan kompensasi dari ghanimah (harta rampasan) yang memang
menjadi hak milik seluruh kaum muslimin.
Ketiga, fai': harta-harta yang didapatkan dari non muslin
dengan cara damai tanpa peperangan.
Keempat, kharaj: hak yang dikenakan atas lahan tanah yang telah
dirampas dari tangan kaum kuffar, baik dengan cara perang maupun damai. Apabila
perdamaian tersebut menyepakati bahwa tanah tersebut adalah milik kaum
muslimin, dan mereka pun mengakuinya dengan membayar kharaj, maka mereka harus
menunaikannya. Menurut bahasa bermakna al kara' (sewa) dan al gullah (hasil).
Tiap tanah yang diambil dari kaum kuffar secara paksa, setelah perang diumumkan
kepada mereka, maka tanah tersebut dianggap sebagai tanah kharajiyah.
Apabila mereka memeluk Islam, setelah penaklukan tersebut, maka status tanah
mereka tetap kharajiyah.
Keempat, jizyah: hak yang diberikan Allah kepada kaum Muslimin
dari orang-orang kafir sebagai tanda tunduknya mereka kepada Islam.
Dari mekanisme pembiayaan dalam Islam ini,
tentunya akan mampu memberikan pendidikan yang berkualitas dan gratis. Selain
itu, untuk memperbaiki mutu pendidikan, negara memiliki program upgrading untuk
pengajar. Sekolah untuk mencetak pengajar juga difasilitasi oleh negara. Negara
juga menghargai dedikasi para pengajar dengan upah yang layak dan memenuhi
segala kebutuhan pokoknya. Sehingga pengajar bisa fokus mentransfer ilmunya ke
anak didik tanpa memikirkan untuk mencari penghasilan tambahan. Semua itu
diperlukan sistem politik Islam dalam merumuskan kebijakan terkait pendidikan.
Peradaban Islam dalam naungan Khilafah pernah
menjadi mercusuar pendidikan. Saat itu, masa Kekhilafahan Abbasiyah, terkenal
memiliki banyak perpustakaan, bangunan sekolah dari tingkat rendah hingga
perguruan tinggi dengan fasilitas dan kualitas yang terbaik. Negara-negara
Barat pun mengirimkan anak-anaknya untuk menimba ilmu disana. Apresiasi yang
tinggi juga diberikan oleh negara untuk para pengajar, ilmuwan dan orang-orang
yang membuat buku. Semua warga negara memiliki hak yang sama dalam menuntut
ilmu dengan gratis.
Hal seperti itu tentunya sulit diwujudkan dalam
sistem kapitalis yang menjadikan pendidikan sebagai komoditas. Maka pelaksanaan
pendidikan bermutu untuk seluruh tingkatan sepenuhnya merupakan tanggung jawab
negara termasuk pembiayaan pendidikan, baik menyangkut gaji para guru/dosen
maupun infrastruktur serta sarana prasarana pendidikan. Ringkasnya, dalam Islam
pendidikan disediakan secara gratis oleh negara (Usus at-Ta'lim al-Manhaji,
halaman:12).
Keseriusan Khilafah dalam pembiayaan pendidikan
juga sangat gamblang. Apabila dalam kondisi mendesak kas negara mengalami
kekosongan, maka negara berhak menarik pajak dalam rangka tetap membiayai
infrastruktur pendidikan yang prioritas dan tetap menunaikan gaji para tenaga
pendidikan. Bahkan guna mempercepat pemenuhan kebutuhan tersebut, negara boleh
berutang kepada orang-orang kaya sembari menunggu selesainya penarikan pajak
kepada kaum Muslimin. Demikian disampaikan Al-Alamah Taqiyuddin An-Nabhani
dalam Kitab Nidzomul Iqtishody fil Islam pada bab Baitul Maal.
Gambaran praktis penerapan aturan-aturan Islam
dalam pembiayaan pendidikan ini tercermin dari sejarah Kekhilafahan Islam.
Madrasah al-Muntashiriah yang didirikan Khalifah al-Muntahsir Billah di
kota Baghdad contohnya, siswa-siswa menerima beasiswa berupa emas seharga satu
dinar (4,25 gram emas). Tak hanya itu, keseharian mereka dijamin sepenuhnya
oleh negara. Fasilitasnya pun lengkap seperti perpustakaan beserta isinya,
rumah sakit, dan pemandian. Madrasah an-Nuriah di Damaskus yang
didirikan pada abad 6 H oleh Khalifah Sultan Nuruddin Muhammad Zanky tak kalah
bonafide. Di sekolah ini terdapat fasilitas asrama siswa, perumahan staf
pengajar, tempat peristirahatan, para pelayan, serta ruangan besar untuk
ceramah dan diskusi. Tentu saja madrasah ini bukan sekolah elit komersil
seperti yang ada pada peradaban kapitalisme sekarang ini.
Lalu bolehkah individu mendirikan institusi
pendidikan di dalam Islam? boleh. Bedanya dengan yang ada di era sekularisme
ini, pendiri-pendiri sekolah, madrasah, universitas, atau lembaga pendidikan
apa pun di masa kekhilafahan melakukannya atas dasar kecintaan kepada ilmu dan
keinginan kuat untuk berwakaf meraih ridha Allah. Banyak catatan sejarah betapa
dermawannya orang-orang kaya pada masa itu terhadap dunia ilmu pengetahuan.
Fatimah Al-Fihri misalnya, ia mendirikan universitas pertama di dunia dengan mewakafkan
harta warisan dari ayahnya. Universitas Qarawiyyin yang ia dirikan di
Fez, Maroko ini menjadi tempat mengajar bagi para ulama terkemuka di zamannya
dan rujukan bagi seluruh pencari ilmu pengetahuan. Zubaidah binti Ja’far, istri
Khalifah Harun Al-Rashid memberikan pengajaran hafalan Quran kepada para
budaknya hingga istana saat itu dijuluki Istana Lebah karena selalu berdengung
lantunan Al-Quran. Kedua cuplikan ini sangat berbeda dengan sekolah maupun
kampus elit saat ini yang didasari oleh komersialisasi pendidikan demi meraup
keuntungan ala kapitalisme.[]
0 Komentar