Mengguritanya Judi Online sebagai Buah Diterapkannya Sistem Rusak Kapitalisme-Sekuler-Liberal!

 


Oleh Karina Fitriani Fatimah 

(Alumnus of master degree of applied computer science, Albert-Ludwigs- Universität Freiburg, Germany) 


#Telaah Utama- Keberadaan judi online kian marak dan meresahkan! Perputaran uang judi online yang mencapai Rp347 triliun per tahun setara dengan nilai 10% APBN. Ironisnya, perkembangan praktik judi online justru menyasar kalangan rakyat kecil yang  didominasi oleh anak-anak muda melek teknologi. Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bahkan mencatat, pelaku judi online di Indonesia mencapai angka 3,2 juta jiwa yang mayoritas adalah generasi muda berusia 17-20 tahun atau kalangan pelajar. 


Dalam ‘perang’ melawan judi online yang tiada hentinya, pemerintah mengklaim telah bertanggung jawab dengan memutus akses 40 ribu platform judi online. Total pemberangusan platform judi slot sejak Juli 2018 sampai 7 Agustus 2023 mencapai 886.719 konten. Setiap harinya, ada pemutusan 1.500-2.000 situs dan puluhan aplikasi, termasuk aplikasi gim terkait perjudian online. Namun sekalipun telah ditutup, nyatanya ribuan situs baru pun bermunculan setiap harinya hanya dengan mengganti domain situs.  


Sekalipun telah nyata kerusakan yang ditimbulkan judi online, pemerintah tampak kurang serius menindak para bandar judi online. Hingga detik ini jarang terdengar agen-agen judi online yang diseret ke meja hijau. Jikapun ada, hukuman yang diberikan cenderung ringan dan sama sekali tidak menimbulkan efek jera kepada pelaku. Maka wajar saja jika kemudian masyarakat berasumsi bahwa penangkapan yang dilakukan hanya sekedar formalitas belaka atau justru menjadi kedok aparat untuk ‘menguras’ cuan dari pelaku. Bahkan bukan rahasia lagi jika banyak oknum aparat terlibat dalam pengamanan judi online. 


Ketidakseriusan pemerintah dalam pemberantasan judi online kian tampak tatkala akhir tahun lalu Menkominfo, Budi Arie Setiadi, menyebutkan dirinya mendapat usul untuk memungut pajak judi online. Ia beralasan agar uang judi yang mengalir tidak lari ke negara lain, karena Indonesia adalah satu-satunya negara di ASEAN yang melarang judi, tidak seperti negara-negara tetangga. Budi bahkan menyebutkan kemungkinan adanya kebutuhan untuk melakukan ‘pembatasan’ judi online yang tetap melindungi anak-anak Indonesia tetapi berpeluang menambah penghasilan negara. 


Miris memang! Sebelumnya bahkan sempat mencuat wacana pengangkatan salah satu artis kondang, Wulan Guritno, menjadi duta antijudi online. Padahal Wulan Guritno pernah dipanggil Bareskrim Polri terkait beredarnya video lama dirinya yang mempromosikan judi online melalui media sosial. 


Sikap rezim yang cenderung membiarkan maraknya judi online justru membuat publik kian mempertanyakan komitmen pemerintah dalam memberantas judi online. Di satu sisi, pemerintah menegaskan bahwa judi online adalah terlarang berdasarkan UU 19/2016 (UU ITE) yang menyebutkan adanya larangan bagi setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dokumen elektronik yang bermuatan perjudian. Sanksi pidananya berupa penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar. Tetapi di sisi lain, pemerintah justru melempar wacana untuk melegalkan judi online, asalkan dibatasi dan dipajaki. 


Dari kian marak dan masifnya judi online di tengah-tengah masyarakat bangsa ini, sejatinya membuktikan adanya kerusakan struktural dalam tatanan masyarakat. Pertama, mengguritanya gaya hidup hedon disertai himpitan ekonomi yang tidak lain adalah buah karya bobroknya sistem ekonomi kapitalis di negeri ini. Sudut pandang materialistik di dalam kehidupan kapitalis sesungguhnya menjadikan masyarakat hanya terfokus pada nilai-nilai materi yang bisa diukur dengan nominal uang. Hal ini mendorong masyarakat kebanyakan untuk mengejar gaya hidup ‘mewah’ tanpa memerdulikan kemampuan finansial dirinya.  


Dengan adanya dorongan untuk memenuhi segala keinginan materi tanpa disertai kemampuan ekonomi, pada akhirnya menjadikan masyarakat mudah tergiur dengan judi online yang menawarkan keuntungan berlipat ganda. Cukup dengan memainkan gim sederhana, pemain judi online berkesempatan meraih keuntungan tanpa perlu melakukan usaha berat nan melelahkan. Inilah yang kita sebut sebagai lingkaran setan yang kian menyulitkan upaya dalam pemberantasan judi online. 


Kedua, kehidupan masyarakat Indonesia nyatanya ditopang oleh kehidupan serba bebas, yang tidak lain adalah cerminan kehidupan sekuler-liberal yang menjunjung tinggi kebebasan berperilaku dan tidak mengenal kaidah halal-haram. Rusaknya akidah (Islam) umat di negeri ini semakin menjadikan masyarakat terjerat dalam jebakan ide kebebasan yang membuat hidup masyarakat serba kebablasan. Walhasil, ‘rem’ agama tampak tidak lagi banyak digunakan oleh umat terutama di kalangan kawula muda.  


Ketiga, diakui ataupun tidak, hukum positif (kapitalisme) yang dianut oleh bangsa ini memang meniscayakan untuk melegalkan perjudian. Karena pada dasarnya sistem liberal yang bekerja saat ini bukan berdasarkan standar halal-haram, melainkan berdasarkan asas manfaat. Artinya, selama judi online dianggap memiliki nilai manfaat, misalnya sebagai salah satu sumber pendapatan negara, maka keberadaannya bukan lagi sesuatu yang harus dilarang. Dengan alasan cuan pula kemudian para provider judi online bisa dengan mudahnya menggandeng aparat untuk menjamin keberlangsungan usaha mereka. Oleh karenanya, jika Indonesia tetap berpegang teguh menerapkan sistem liberal-kapitalis, mustahil bagi negeri ini untuk terlepas dari jeratan judi online.  


Padahal telah nyata kerusakan yang ditimbulkan oleh aktivitas judi online. Tidak hanya sekedar memberikan efek candu bagi para pemainnya, judi online lebih jauh mampu merusak tatanan sosial masyarakat seperti menimbulkan ketidakharmonisan keluarga, menyuburkan pola hidup konsumtif hingga memicu tingginya angka kriminalitas di negeri ini. Maka wajar jika Allah Swt. telah memerintahkan hamba-Nya untuk menjauhi perilaku judi sebagaimana tertera dalam firman-Nya, “Sungguh setan hanya bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian melalui minuman keras dan judi; juga (bermaksud) menghalangi kalian dari mengingat Allah dan (melaksanakan) shalat. Karena itu tidakkah kalian mau berhenti?” (TQS Almaidah: 91).  Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Posting Komentar

0 Komentar