Pajak Memalak, Islam Melarang

 


Oleh Dewi Purnasari

Aktivis Dakwah Politik


Pada maret 2024 penerimaan pajak negara mengalami penurunan drastis. Anjloknya setoran pajak ini terjadi di sektor industri manufaktur hingga sektor industri pertambangan. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa menurunnya setoran pajak di sektor industri ini menggambarkan kondisi ekonomi dalam negeri mengalami tekanan dari ekonomi global (Konferensi Pers APBN edisi April 2024 di kantor Kemenkeu, Jakarta 26/4/2024).


Tercatat total penerimaan pajak pada kuartal I-2024 hanya sebesar Rp 393,9 triliun atau turun 8,8% dari penerimaan pajak periode yang sama tahun lalu (Rp 431,9 triliun). Setoran bidang industri pengolahan turun menjadi 13,6% disebabkan oleh menurunnya harga komoditas dan meningkatnya restitusi pajak di subsektor industri sawit dan logam dasar. Setoran pajak sektor perdagangan juga anjlok (1,6%) pada kuartal I-2024 ini. Demikian pula pada industri pertambangan (58,2%).


Namun, Sri Mulyani tidak merisaukan kondisi ini karena tercatat masih meningkatnya setoran pajak di sektor jasa keuangan dan asuransi, sektor industri konstruksi dan real estat serta di sektor informasi dan komunikasi. Bahkan menurutnya, pemerintah Indonesia telah menyiapkan strategi dalam menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh di kisaran 5%. Caranya adalah dengan menjaga kualitas kesejahteraan rakyat Indonesia, contohnya melalui penguatan kebijakan perlindungan sosial, pendidikan dan kesehatan.


Namun, patut dipertanyakan, bagaimana pemerintah bisa menjaga kualitas kesejahteraan rakyat jika masih ada 7,2 juta orang Indonesia menganggur menurut data BPS pada Februari 2024? Mirisnya jumlah angkatan kerja di negeri ini meningkat dan persentase orang setengah pengangguran juga terus meningkat, menurut data BPS. Sementara upah rata-rata buruh hanya Rp 3,04 juta per bulan di tengah tingginya harga pangan yang terpantau menuju pada kondisi meningkatnya inflasi volatile food dan meningkatnya PPN yang merangkak menuju 12%.


Sedangkan wacana menjaga kualitas kesejahteraan rakyat dengan upaya penguatan kebijakan perlindungan sosial, pendidikan dan kesehatan sangat nyata sulit untuk mencapai hasil. Pasalnya program perlidungan sosial apa yang selama ini dijalankan oleh pemerintah dan membuahkan hasil signifikan? Apakah Program Keluarga Harapan (PKH), Program Indonesia Pintar (PIP), Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, atau bantuan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mampu memberikan jaminan perlindungan sosial dan kesejahteraan bagi rakyat? Nyatanya jauh panggang dari api dan semua program itu terbukti tidak bisa menjadi solusi bagi kesulitan rakyat.


Sementara itu, setoran pajak yang menurun tentu berpotensi mendorong pemerintah untuk menambah utang baru untuk menutupi kebutuhan belanja negara. Apalagi belanja pemerintah selalu jor-joran, sedangkan ekspor menurun karena Cina sebagai negara tujuan utama ekspor Indonesia sedang lesu perekonomiannya, Tempo (2/5/2024). Di sisi lain, utang pemerintah per akhir Januari 2024 tercatat meningkat menjadi Rp 8.253,09 triliun (dari dokumen APBN Kinerja dan Fakta Januari 2024, 27/2/2024).


Pajak dalam Pandangan Islam


Secara umum, pengertian pajak dalam sistem demokrasi adalah pungutan wajib berupa uang yang berasal dari rakyat dan diberikan kepada pemerintah. Sehingga pajak merupakan kewajiban bagi seluruh rakyat Indonesia agar negara mampu memperoleh pendapatan dan menjalankan pembangunan. Sedangkan menurut pandangan Islam pajak (dlaribah) adalah harta yang wajib dibayar oleh kaum Muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran kas negara (Baitul Mal) saat kondisi Baitul Mal kosong saja.


Sesungguhnya pemasukan Baitul Mal ada 12 sumber, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Sumber-sumber tersebut adalah dari fai’, ghanimah, anfal, usyur, kharaj, jizyah, hasil dari sumber-sumber daya alam yang merupakan milik umum seluruh rakyat, harta milik negara, khumus, rikaz dan zakat. Sebelas sumber itu sifatnya pemasukan rutin bagi Baitul Mal. Sedang satu lagi yaitu dlaribah (pajak) sifatnya temporer dipungutnya, bukan secara rutin.


Pada dasarnya 12 sumber pemasukan Baitul Mal sangat cukup, bahkan surplus untuk membiayai keperluan rakyat dan kemaslahatannya, seperti membayar gaji pejabat negara, gaji tentara, gaji pegawai negara, untuk membeli peralatan perang, untuk menjamin sandang, pangan dan papan rakyat, santunan bagi fakir miskin, untuk keperluan darurat seperti dana bencana alam dan lain-lain. 


Dalam kondisi Baitul mal memiliki cukup harta untuk keperluan penyelenggaraan negara (Daulah Islam) maka tidak diperlukan penarikan dlaribah atas kaum Muslim. Namun, bisa saja satu saat Baitul Mal tidak cukup memiliki harta/dana untuk pembiayaan pos-pos pengeluaran yang wajib dibayar seperti gaji pegawai negara dan gaji tentara. Maka pada kondisi seperti itu, karena darurat, Allah mewajibkan kaum Muslim untuk membiayainya. Di saat inilah dlaribah yang sifatnya temporer dipungut dari kaum Muslim. 


Dlaribah kemudian dipungut hanya sampai batas waktu tertentu, yaitu sampai Baitul Mal memiliki dana yang cukup kembali untuk membiayai semua keperluan negara dan rakyat. Jadi tidak dipungut terus menerus seperti pungutan pajak pada negara yang menerapkan sistem Demokrasi Kapitalisme. Dlaribah juga hanya dipungut dari kaum Muslim saja. Non-Muslim yang tinggal dalam negara Daulah Islam dan tunduk pada aturan Islam yang diterapkan tidak dipungut dlaribah. Dlaribah juga dipungut atas Muslim yang kaya saja, fakir miskin tidak dipungut dlaribah. 


Perbedaan Dlaribah dengan Pajak dalam Sistem Kapitalisme


Dalam pandangan Islam, daulah (negara) memiliki kewajiban untuk mengurusi seluruh rakyat baik Muslim maupun non-Muslim. Jangan sampai rakyat dalam daulah tidak mendapatkan hak-haknya. Dalam hal ini pemimpin (amir) Daulah Islam sebagai ra’in (pelayan) rakyat akan diminta pertanggungjawaban di dunia dan di akhirat atas amanah kepemimpinannya. Karenanya, jika Baitul Mal tidak mempunyai dana yang cukup untuk keperluan rakyat, harus segera mencari dana tersebut. Jangan sampai karena tidak ada dana, maka rakyat mendapatkan kemudharatan. 


Adapun dana dari Baitul mal yang urgent ada adalah untuk keperluan gaji tentara, pegawai, hakim, guru dan lain-lain. Juga diperlukan untuk membiayai kehidupan para fuqaha, orang miskin, ibnu sabil, keperluan jika tiba-tiba terjadi bencana alam, untuk pembiayaan jihad, serta pembiayayaan industri militer dan industri-industri penunjangnya. Karenanya saat kondisi kas Baitul Mal tidak mencukupi untuk membiayai semua itu, amir wajib memungut dlaribah.


Namun, dalam aturan Islam, daulah tidak boleh memberlakukan kewajiban pajak tanpa adanya kondisi mendesak. Daulah juga tidak boleh mewajibkan pajak atas keputusan pengadilan konstitusi ataupun berupa pungutan biaya di muka. Daulah juga tidak boleh mewajibkan pajak atas transaksi jual beli tanah, jual beli barang-barang, kendaraan pribadi, gedung dan bangunan, serta pada pengurusan surat-surat. Islam juga melarang pemungutan bea cukai dalam perdagangan antar negara. Hal ini karena menurut pandangan Islam pajak dan pungutan-pungutan seperti itu adalah tindak kezaliman yang dilarang oleh Allah SWT. 


Ini sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Asy-Syura ayat 42, yang artinya: “Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.” 


Di negeri ini pajak dipungut dengan paksa laksana tindak pemalakan kepada rakyat. Sementara rakyat yang kondisinya sulit di segala aspek kehidupan menjadi semakin sulit dengan harus membayar pajak di berbagai  transaksi dan kesempatan. Bagaikan sapi perah yang tidak diurus dan kekurangan makan, rakyat dipaksa harus memeras tenaga demi menjalankan roda perekonomian Kapitalisme yang menyengsarakan. []


Posting Komentar

0 Komentar