Tujuan Tak Menghalalkan Segala Cara



Oleh Rini Sarah


Sah! Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menjadi Presiden dan Wakil Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini ditandai dengan penetapan Paslon no urut 2 sebagai pemenang Pemilu 2024 oleh KPU pascakandasnya gugatan Paslon Presiden-Wapres no urut 1 dan 3, Anies Baswedan-Cak Imin  dan Ganjar-Mahfudz, di Mahkamah Konstitusi. (detik.com, 25/4/2024)


Kemenangan ini bukan tanpa kontroversi. Isu-isu kecurangan bertebaran hingga berujung pelaporan ke MK. Gambaran kecurangan tersebut bisa dilihat dari materi gugatan Paslon no urut 1 dan 3. 


Tim hukum Anies Baswedan menyampaikan sejumlah kecurangan yang disebut terjadi di Pilpres 2024, termasuk saat KPU menerima pendaftaran Gibran sebagai wapres sebelum merevisi peraturan mengenai syarat pencalonan, serta nepotisme Presiden Joko Widodo yang menguntungkan Prabowo-Gibran demi "melanggengkan kekuasaannya". ( BBC.com, 27/3/2024)


Pelanggaran lain yang disebut adalah penyalahgunaan program bantuan sosial atau bansos, keterlibatan sejumlah kepala daerah untuk menggerakkan struktur di bawahnya demi memenangkan Prabowo-Gibran, serta intervensi kekuasaan yang membuat MK mengubah ketentuan soal syarat pencalonan presiden dan wakil presiden.


Setali tiga uang dengan kubu Anis, Tim Ganjar-Mahfudz juga memerinci kecurangan yang dilakukan Tim Prabowo-Gibran hingga menyentil ada nepotisme. kubu Ganjar menganggap telah terjadi pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam Pilpres 2024, khususnya dalam bentuk nepotisme yang dilakukan Presiden Joko Widodo untuk memenangkan Prabowo-Gibran dalam satu putaran, serta pelanggaran prosedur pemilu, merujuk dokumen permohonan kubu Ganjar.


Nepotisme Jokowi disebut melahirkan penyalahgunaan kekuasaan, termasuk dengan menggerakkan adik iparnya Anwar Usman sebagai ketua MK untuk "mengubah aturan main" agar bisa mendaftarkan Gibran sebagai cawapres serta menggunakan program bansos untuk memenangkan Prabowo-Gibran.


Jika hal ini terbukti benar, maka kita bisa menilai  kekhawatiran Mahfud bahwa pemilu hanya bisa dimenangkan oleh pihak yang mempunyai uang dan kekuasaan itu cukup beralasan. Karena dalam politik demokrasi uang adalah panglima dan praktik Politik Machiavelis yang menghalalkan segala cara demi tujuan berkuasa bisa sah adanya.


Tujuan Tidak Menghalalkan Berbagai Cara


Praktik politik Machiavelistic yang mehalalkan berbagai macam cara hingga merubah aturan yang ada tentu saja tidak akan terjadi dalam sistem pemerintahan Islam yaitu Khilafah. Karena khilafah adalah sebuah institusi pelaksana dari syariah Islam. Syariah Islam yang berasal dari Allah Swt. merupakan tata aturan yang wajib dijalankan tidak boleh diutak-atik sesuai hawa nafsu manusia. 


Dalam Islam dikenal sebuah kaidah masyhur yaitu; 

الْغَايَةُ لاَ تُبَرِّرُ الْوَسِيْلَةَ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ

“Tujuan tidak membolehkan wasilah (cara) kecuali dengan dalil”

Sebelum membahas kaidah tersebut, ada baiknya kita definisikan dahulu apa yang disebut dengan sarana atau wasilah dalam bahasa Arab. Sarana adalah sesuatu atau metode yang digunakan untuk meraih tujuan. 


Mengenai sarana, ada kaidah dalam Islam yang membahasnya. Kaidah itu adalah “Sarana memiliki hukum yang sama dengan tujuannya”  Maksud dari kaidah ini adalah hukum sarana mengikuti hukum tujuan. Jika tujuan yang ingin direalisasikan hukumnya wajib, maka hukum sarana pun wajib. Jika tujuan hukumnya sunnah maka sarana pun hukumnya sunnah. Demikian seterusnya. Sebagai contoh, jika kita mempunyai tujuan untuk menegakkan hukum Allah di muka bumi, maka hukum dari tujuan ini adalah wajib. Lalu, satu-satunya sarana untuk menegakkan hukum Allah itu adalah tegaknya Khilafah, maka tegaknya Khilafah menjadi wajib juga hukumnya.


Hanya saja, perlu kita cermati bahwa, sarana itu terbagi dua, sarana yang baik (yang sesuai dengan syariat Islam), inilah sarana yang dimaksud oleh kaidah yang menyebutkan sarana mempunyai hukum yang sama dengan tujuannya.


Lalu, ada juga sarana yang tidak baik yaitu sarana yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Sarana ini tidak boleh dilakukan, meski tujuan dan niatnya baik. Sebab dalam agama Islam, maksud yang baik tidak bisa membolehkan atau menghalalkan sarana yang haram (terlarang), seperti mencuri untuk membelanjai keluarga. Mencuri hukumnya tetap haram, meski tujuannya bagus yaitu mencukupi kebutuhan belanja keluarga. Jadi, sarana yang haram tetap terlarang, sekalipun tujuannya baik.


Hal ini menunjukkan bahwa dalam syariat Islam, maksud itu harus baik dan sarananya juga harus baik. Baik dalam artian sesuai dengan hukum Allah dan mendatangkan rida Allah. Sebab tujuan tidak menghalalkan sarana atau cara yang haram menurut syariat kecuali dalam kondisi darurat yang itu juga berlandaskan kepada syariat. Hal ini berdasarkan kaidah:

الضَّرُوْرَةُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ

“(Keadaan) yang darurat menyebabkan sesuatu yang terlarang menjadi boleh” Dan kaidah lain yaitu:

الضَّرُوْرَةُ يُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا

“(Keadaan) darurat diukur dengan kadarnya”


Dengan demikian jelaslah bahwa kaidah “tujuan membolehkan segala cara” adalah sebuah kaidah yang keliru dan batil. Akan tetapi, kaidah yang benar adalah:

الْغَايَةُ لاَ تُبَرِّرُ الْوَسِيْلَةَ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ

“Tujuan tidak membolehkan wasilah (cara) kecuali dengan dalil”


Hingga dapat disimpulkan, bahwa sarana-sarana yang haram tidak bisa dipakai untuk merealisasikan suatu tujuan. Kecurangan merupakan salah satu hal yang diharamkan oleh Allah Swt. Kecurangan dalam hal apa pun, baik perkara “kecil” semacam mengurangi timbangan atau perkara yang berkali-kali lipat lebih besar dari itu, yaitu menjadi penguasa bagi umat.


Posting Komentar

0 Komentar