Ramadan telah berlalu, kemudian hadirlah bulan Syawal. Suasana Idul Fitri pun masih terasa, halal bihalal masih ramai dibanyak circle masyarakat. Muslimah Jakarta pun mengadakan Halal Bihalal yang dihadiri oleh para tokoh di sekitar Jakarta. Dengan bertemakan "Pererat Ukhuwah Perjuangan Islam Kaffah".
Acara Liqo Syawal yang berlangsung hangat dan dihadiri oleh puluhan tokoh ini diawali dengan keynote speach dari bu dr. Estyningtyas. Beliau menyampaikan bahwa hasil dari Ramadan adalah ketakwaan yang sebenarnya. Sebagaimana saat Abu Hurairah ditanya oleh seseorang apa makna takwa.
Lalu Abu Hurairah kembali bertanya kepada orang tersebut, “Pernahkah engkau melihat jalan yang penuh liku? Lalu apa yang akan engkau kerjakan saat melaluinya?” Lalu orang tersebut menjawab, “Aku akan berjalan dengan hati-hati, aku akan memilih jalan yang tidak ada durinya. Aku akan melangkahi duri itu atau aku akan mundur.” Kemudian Abu Hurairah menjawab,” Itulah takwa.”
Ibu Esty menerangkan bahwa takwa yang dimaksud dari percakapan tersebut adalah kehati-hatian saat memilih berbagai aktivitas agar tidak jatuh kepada kemaksiatan yang pastinya akan mengantarkan pada neraka.
Beliau meneruskan bahwa seharusnya takwa seperti inilah yang terwujud pada diri setiap individu muslim siapapun mereka dan apapun posisinya. Sebagai masyarakat biasa kehati-hatian dalam bertindak tersebut salah satunya terwujud dalam aktivitas muamalah.
Sebagai pedagang, janganlah mengurangi takaran. Jika sebagai guru, janganlah mengajarkan hal-hal yang bermaksiat pada anak didik. Begitupula saat menjadi seorang pemimpin, haruslah dengan penuh pertimbangan, agar tidak mengambil hak orang lain, kepemilikan rakyat, membuat progam yang mengatasnamakan rakyat namun untuk kepentingan dirinya.
Sebagai contoh nyata adalah pada diri Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada suatu masa, ujar ustazah Esty, bahwa sang khalifah sedang menyelesaikan tugas-tugas kenegaraannya dengan diterangi lentera. Lalu anaknya mengetuk pintu dan meminta ijin untuk masuk.
“Atas urusan apa engkau berbicara denganku?” tanya sang khalifah, “urusan keluarga,” ujar sang anak. Mendengar hal itu, seketika itu pula Umar mematikan lentera yang menerangi ruangannya. “Mengapa engkau mematikan lentera itu wahai ayah?” tanya sang anak. “Karena yang akan engkau bicarakan adalah urusan keluarga, sementara lentera ini diterangi oleh minyak yang dibeli dengan uang rakyat,” jelas Umar bin Abdul Aziz.
Padahal posisi Umar menjadi yang tertinggi di negara khilafah namun ia bisa mencegah dirinya untuk melakukan yang demikian. Yang bisa mencegah dirinya berbuat demikian adalah karena keimanan dan ketakwaannya pada Allah Swt., bukan yang lain.
Sehingga iman dan takwa pada Allah Swt., ujar ustazah Esty, adalah syarat pertama seorang pemimpin. Karena Islam mensyaratkan seorang pemimpin haruslah muslim dan mengimani Allah Swt. Menjadi pemimpin tidak sekedar dilihat dari visi dan misinya, tidak juga harus menggambarkan program-program kerjanya, bahan menjanjikan makan siang secara gratis pada rakyatnya.
“Namun yang dipentingkan dalam Islam adalah apakah dalam diri seorang pemimpin tersebut mempunyai ketakwaan,” tegas ustazah Esty. Karena takwa inilah yang akan menjadi rem untuk mengambil kebijakan yang akan menzalimi rakyat.
Sehingga ketakwaan ini merupakan hal yang sangat penting agar seorang muslim berjalan sesuai ketetapan yang Allah telah syariatkan. Atas dasar itu, memilih seorang pemimpin pun demikian.
Sebagai penutup, ustazah Esty menyampaikan ungkapan dari Abu Yazid tentang Idul Fitri, ”Idul Fitri itu bukan milik orang yang memakai baju baru dan memakan daging yang enak. Tetapi Idul Fitri itu adalah bagi orang yang ketaatan dan rasa takutnya bertambah pada Allah Swt..” Wallahualam.
0 Komentar