Oleh
Ruruh Hapsari
#CatatanRedaksi#
Penerimaan mahasiswa baru sudah beberapa bulan ini terlaksana. Persiapan
menggapai Perguruan Tinggi Negeri (PTN) tentu butuh kekuatan ekstra, dari belajar
trik menyelesaikan soal hingga jurusan apa yang akan dituju. Dengan persiapan
itu para siswa merasa telah siap untuk berjuang guna masuk PTN yang diidamkan.
Namun,
saat perjuangan hampir usai, pemerintah menetapkan naiknya Uang Kuliah Tunggal
di beberapa PTN. Tentunya hal ini bukan hanya membuat kecewa orang tua murid,
pun para siswa yang mungkin saja pilihan jurusan dan kampusnya termasuk pada
UKT yang naik tersebut. Niat awal untuk meringankan beban ekonomi orang tua
dengan biaya ringan, apa boleh buat ternyata penguasalah yang justru
melenyapkan tekat tersebut.
Kapitalisasi Pendidikan
Sebelum
kisruh kenaikan UKT awal Mei 2024 ini, beberapa tahun lalu pemerintah telah
melahirkan kebijakan dengan adanya status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan
Hukum (PTNBH) yang menjadikan kampus sebagai lahan bisnis, tentunya dengan
menaikkan uang pangkal dan UKT.
Guru
Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Cecep Gunawan tidak memungkiri
bahwa dengan kampus diberikan hak otonom untuk mengelola anggaran institusinya
menjadikan UKT naik. Ia melanjutkan, namun dengan begitu pemerintah jangan
lepas tangan dengan status tersebut, sehingga bantuan anggaran tetaplah
disokong pemerintah. (Kompas.com, 18/5/2024)
Bukannya
diturunkan, UKT tahun ini justru melonjak drastis. Dalam hal ini
Mendikbudristek, Nadiem Makarim menegaskan bahwa kenaikan UKT tersebut hanya
berlaku pada mahasiswa baru dan tidak berengaruh pada mahasiswa lama. Padahal
akibat ketetapan kenaikan UKT, sudah ada beberapa calon mahasiswa berprestasi
justru mundur dari PTN.
Alih-alih
berpihak pada masyarakat, justru Sekretaris Dirjen Pendidikan Tinggi
Kemendikbud Ristek, Tjitjik Sri Tjahyani menyatakan bahwa perguruan tinggi
merupakan Pendidikan tersier yang bersifat opsional atau pilihan. Mendengar hal
itu Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda berkomentar bahwa dengan pernyataan
dari petinggi Kemendikbud itu justru menebalkan persepsi bahwa orang miskin
dilarang kuliah.
Padahal
alokasi belanja pendidikan negeri ini meningkat sebesar 30,4% dari tahun
sebelumnya menjadi Rp665,02 triliun. Sementara pada 2025 pemerintah menetapkan
alokasi anggaran untuk pos pendidikan dalam kisaran Rp708,2 – Rp741,7 triliun.
Membangun Generasi Tangguh
Sayangnya
di saat yang sama pemerintah sedang menggenjot para siswa untuk menempuh
pendidikan vokasi yang menghasilkan manusia siap kerja di industri. Seharusnya
pemerintah mencetak para pemikir yang akan menjadi agen perubah masa depan,
bukan malah memperbanyak para pesuruh yang akan menjadi alas kaki para korporat
berdasi.
Oleh
karenanya negara harus mempunyai rencana besar dalam mengelola generasi mudanya
sebagai penerus bangsa untuk menjadi generasi berkualitas. Apalagi saat
generasi muda melimpah jumlahnya seperti sekarang, justru kesempatan besar
tersebut jangan disia-siakan.
Pembangunan
generasi merupakan hal utama yang harus diupayakan oleh negara, karenanya poin penting
setelah keimanan yang kokoh adalah pendidikan yang berkualitas. Pendidikan
sesungguhnya merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakat dan hal itu tidak
terbantahkan. Baik itu pendidikan dasar, menengah, atas, maupun tinggi.
Pendidikanlah
yang mengarahakan akal manusia kepada manusia yang beradab. Bukankah Allah Swt.
dalam wahyu pertama memerintahkan manusia untuk membaca atau mempelajari sekitar
dengan berpikir.
Seperti
dicontohkan saat Khilafah Abbasiyah membangun Baitul Hikmah (661 M), pusat
penelitian dan ilmu pengetahuan sekaligus perguruan tinggi di Baghdad. Dalam
perkembangannya pusat ilmu pegetahuan ini, Khalifah Al Makmun menggelorkan dana
yang cukup besar.
Walaupun
kerap dikenal sebagai perpustakaan, namun fungsinya sangatlah lengkap. Tersebab
di Baitul Hikmah sendiri menjadi pusat penerjemahan teks-teks kuno dari bahasa Yunani,
China, Sansakerta ke bahsa Arab dan beberapa bahasa lainnya.
Teks
yang diterjemahkan pun dari berbagai bidang keilmuan, mulai dari matematika,
fisika, biologi, astronomi, hingga sastra. Kemudian pada era Khalifah Al Ma’mun
dilengkapilah dengan fasilitas laboratorium khusus untuk mengobservasi bintang.
Tingginya
suasana kelimuan pada zaman itu, tidak mengherankan bila banyak lahir ilmuwan
Islam ternama seperti Al Kindi, Al Farabi, Al Ghazali, Al Khawarizmi, Al
Battani, Ibnu Sina, dan masih banyak yang lainnya. Mereka banyak melahirkan
teori-teori ilmu yang sampai saat ini pun masih digunakan.
Semua
itu bisa berjalan karena iman menjadi dasarnya dan syariat menjadi penghulunya.
Baik asas negara, sistem yang dijalankan, pemimpin dan perangkat di bawahnya,
tidak ketinggalan pula masyarakat yang dipimpin pun bertakwa pada Allah Swt. Dengan
asas akidah, tentu negara memimpin masyarakatnya sesuai dengan syariat,
mengayomi masyarakat hingga tiap individu terpenuhi hajatnya dalam segala hal
termasuk pendidikan.
Puluhan
abad telah berlalu, keadaan saat ini bukanlah membaik justru semakin sangat
merosot di semua lini kehidupan. Perbedaan yang sangat kentara adalah dari sisi
terterapkannya aturan Allah Swt. di muka bumi. Bila tidak menggunakan aturan
Allah, maka pasti keberpihakan akan selalu ada karena negara menjalankan
kekuasaannya menggunakan aturan manusia. Wallahualam.
0 Komentar