Oleh Hanin Syahidah
Publik kembali dihebohkan dengan ramainya penolakan potongan gaji pegawai 3% untuk Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat). Dilansir media detiknews.com (28/5/2024), dasar hukum tentang Tapera diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera.
Tapera adalah penyimpanan yang dilakukan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir (Pasal 1 PP No. 25/2020).
Yang dimaksud dengan Peserta Tapera adalah setiap warga negara Indonesia (WNI) dan warga negara asing (WNA) pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia paling singkat 6 bulan yang telah membayar simpanan. Yakni sejumlah uang yang dibayar secara periodik oleh Peserta dan/atau Pemberi Kerja.
Peserta Tapera terdiri dari Pekerja dan Pekerja Mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum, dan telah berusia paling rendah 20 tahun atau sudah kawin pada saat mendaftar. Untuk pekerja mandiri yang berpenghasilan di bawah upah minimum juga dapat menjadi Peserta Tapera (Pasal 5).
Pekerja sebagaimana dimaksud di atas meliputi calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN), prajurit TNI, prajurit siswa TNI, anggota Polri, pejabat negara, pekerja/buruh BUMN, pekerja/buruh BUMD, pekerja/buruh BUMS, dan pekerja lainnya yang menerima gaji atau upah (Pasal 7).
Kepesertaan Tapera berakhir apabila memenuhi syarat yang meliputi; telah pensiun bagi Pekerja, telah mencapai usia 58 tahun bagi Pekerja Mandiri, Peserta meninggal dunia, dan Peserta tidak memenuhi lagi kriteria sebagai Peserta selama 5 tahun berturut-turut (Pasal 23).
Adapun untuk
mendapatkan pembiayaan perumahan dari Tapera harus memenuhi persyaratan (sesuai
Pasal 38), yaitu:
- Mempunyai
masa Kepesertaan Tapera paling singkat 12 bulan;
- Peserta
termasuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR);
- Peserta
belum memiliki rumah;
- Peserta menggunakannya untuk pembiayaan pemilikan rumah pertama, pembangunan rumah pertama, atau perbaikan rumah pertama.
Pengelolaan Tapera dilakukan oleh badan hukum yang disebut Badan Pengelola Tapera atau disingkat BP Tapera. Yang dimaksud dengan Pengelolaan Tapera yaitu meliputi Pengerahan Dana Tapera, Pemupukan Dana Tapera, dan Pemanfaatan Dana Tapera.
Berdasarkan PP Nomor 21 Tahun 2024, besaran simpanan peserta atau iuran Tapera adalah 3% dari gaji atau upah peserta, 0,5% ditanggung perusahaan/pihak pemberi kerja, 2,5% ditanggung oleh pekerja baik PNS atau Pegawai swasta.
Tapera mulai berlaku sejak tanggal diundangkan yakni pada Senin, 20 Mei 2024. Pemberi Kerja wajib mendaftarkan pekerja kepada Badan Pengelola Tapera paling lambat 7 tahun sejak tanggal berlaku aturan ini. Pendaftaran kepesertaan Tapera dapat dilakukan sebelum tahun 2027 (Detik.com, 28/5/2024).
Sedangkan untuk masyarakat yang sudah punya rumah, Komisioner Badan Pengelolaan Tapera (BP Tapera), Heru Pudyo Nugroho sempat menjelaskan bahwa masyarakat yang sudah memiliki rumah juga tetap ikut membayar simpanan Tapera. Nantinya, sebagian uang tabungan masyarakat yang sudah punya rumah akan digunakan untuk membantu masyarakat yang ingin memiliki rumah. Skema tersebut dinilai sesuai dengan prinsip BP Tapera yaitu gotong royong. Termasuk bisa jg untuk kebutuhan renovasi rumah (Detik.com, 31/5/2024).
Banyak pihak menilai kebijakan ini mengada-ada bahkan terang-terangan menolak dilakukan karena kebijakan ini semakin menyulitkan kehidupan rakyat. Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) menolak program pemerintah Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Presiden KSBSI, Elly Rosita Silaban menilai Tapera terlalu membebani pekerja karena bersifat wajib, terlebih bagi mereka yang memiliki pendapatan pas-pasan (KompasTV.com, 31/5/2024).
Senada dengan hal itu, Ekonom The Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didin Damanhuri menganggap bisa membebankan pihak swasta. Pasalnya, pihak swasta sudah banyak dibebankan oleh beberapa hal, misal Jamsostek, dan sebagainya. Didin juga menduga iuran Tapera bisa diartikan untuk mengambil dana publik. Dia menyebut nantinya bisa saja dana tersebut berpotensi ditempatkan di Surat Berharga Negara (SBN). "Selain itu, bisa untuk mengejar rasio pajak 23% dengan klaim iuran jaminan sosial sebagai rasio pajak seperti di Jepang. Ditambah bisa untuk menambal APBN karena mau membiayai program makan siang gratis atau untuk membiayai Ibu Kota Negara (IKN)," katanya kepada Kontan, Rabu (29/5). Menurut Didin, kalau nantinya dana Tapera masuk SBN, memang bisa menambah pendapatan negara dengan masuknya swasta baik asing atau domestik (Kontan.co.id, 29/5/2024).
Selain buruh, pengusaha juga menolak adanya Tapera ini. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani juga telah menyatakan tidak sepakat bila para karyawan kini harus dibebani potongan gaji untuk tabungan perumahan rakyat. Ia pun mengungkapkan sederat potongan gaji yang telah menjadi beban pendapatan kelas pekerja saat ini dan membebani potongan pengusaha. Meskipun adanya janji transparansi dana tabungan, tetapi tetap terjadi penolakan massif di tengah masyarakat (CNBCIndonesia.com, 31/5/2024).
Seolah masyarakat sudah kenyang dengan janji-janji manis tidak pernah teralisasi yang ujung-ujungnya selalu saja rakyat yang dirugikan. Bagaimana tidak, di tengah kondisi harga pangan melonjak naik, potongan bpjs, potongan pajak penghasilan, biaya pendidikan dan kesehatan yang mahal. Tapera menjadikan derita rakyat semakin sempurna.
Skema Tapera untuk UMR Jakarta, dilansir
oleh infobanknews.com (28/5/2024), misalkan pekerja swasta dengan gaji UMR Jakarta
sebesar Rp5.067.381, maka besaran iuran Tapera yang perlu dibayarkan sebesar
Rp126.684 per bulan. Ini hasil perhitungan Rp5.067.381 dikalikan 2,5 persen.
Sementara itu, untuk perusahaan dan pemberi kerja akan membayarkan iuran peserta atau pekerja sebesar Rp25.336 (Rp5.067.381 × 0,5 persen). Jadi, simpanan Tapera yang didapat peserta atau pekerja, gaji UMR Jakarta sebesar Rp152.020 tiap bulan. Menariknya, apabila iuran tersebut dilakukan selama 30 tahun (saat masa pensiun), dengan asumsi imbal hasil 20 persen per tahun, maka pada masa pensiun pekerja tersebut akan mendapat Rp3,550,841,867.
Berdasarkan
pada hitungan tersebut, ada syarat pekerja gaji UMR bisa mendapatkan uang Rp3,5
miliar setelah pensiun dari Tapera, antara lain :
1. Inflasi
rendah;
2. Dana
Tapera dikelola dengan baik dan tidak dikorupsi;
3. Pengelola harus menemukan instrumen investasi dengan imbal besar.
Masalahnya, kepercayaan rakyat sudah semakin rendah bahkan hilang terkait terkelolanya dana keuangan dengan baik, tidak dikorupsi. Simak saja korupsi Jiwasraya, ASABRI, dan Taspen sampai sekarang belum jelas entah kapan selesainya. Isu ini sepertinya akan terus bergulir meskipun terjadi penolakan di mana-mana karena menurut Menteri Perekonomian, Airlangga Hartarto kebijakan ini tidak bisa dibatalkan karena ini diatur oleh Undang-Undang. Luar biasa, negara sukses menjadi pemalak bagi rakyat. Di tengah himpitan ekonomi yang semakin sempit, negara malah menambah beban rakyat yang semakin sulit.
Beginilah sejatinya peradaban kapitalisme yang pemasukan utama negaranya dipusatkan pada sektor pajak, termasuk juga aneka pungutan untuk berjalannya ekonomi rakyat, karena negara dalam sistem kapitalisme berposisi sebagai pebisnis besar dan rakyat sebagai lahan bisnis besarnya. Maka wajar semua standarisasi kebutuhan pokok yang di dalamnya adalah sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan menjadi lahan bisnis negara terhadap rakyatnya. Karena negara tidak mengurusi kebutuhan rakyatnya, tapi menyerahkan semua kebutuhan rakyat itu kepada pihak-pihak swasta (baik dalam maupun luar negeri) untuk mengelolanya. Bahkan tidak jarang menarik pungutan berupa tabungan, pajak bahkan iuran untuk mencukupinya. Padahal, aset-aset sumber daya alam yang kaya untuk mensubsidi semua kebutuhan rakyat yang meliputi minyak, gas, dan barang tambang malah diberikan kepada swasta, bahkan dikuasai oleh swasta baik dalam negeri dan asing, sehingga yang sejahtera hanya segelintir orang yakni para pemilik modal (pengusaha) atau pejabat yang masuk dalam pusaran pemerintahan.
Jadi, sudahlah negara tidak punya dana untuk menyejahterakan rakyat (terbukti dengan utang yang terus naik), negara juga tidak punya political will untuk mengurusi rakyat. Tentu hal ini sangat berbeda dengan sistem Islam, di mana negara adalah pengurus urusan rakyatnya. Dengan memastikan segala kebutuhan pokok rakyat yang ada di dalamnya meliputi sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan bisa terpenuhi individu per individu karena semua adalah tanggung jawab negara, dengan dana-dana yang bersumber dari baytulmaal yang ada aneka pos pemasukannya seperti pendapatan sumber daya alam dan sebagainya.
Negara memastikan individu per individu bisa mencukupi kebutuhannnya termasuk terkait papan/perumahan. Negara memberi kesempatan seluas-luasnya lapangan pekerjaan kepada rakyat atau modal untuk dikelola atau dikembangkan rakyat. Sehingga mereka akan mampu mencukupi kebutuhan pokoknya. Namun, jika masih ada yang tidak mampu misalkan dia cacat maka negara akan memberi kemudahan yang lain, bahkan memberikan kepadanya tempat tinggal yang layak untuknya. Begitulah Islam mengurusi rakyatnya dengan penuh keadilan dan kesejahteraan.
Maka, selama
sistem hidup yang ada hari ini termasuk yang diadopsi negeri ini adalah sistem
kapitalisme, rakyat akan terus terlunta-lunta. Hal ini karena pemerintah tidak
merasa mempunyai tugas untuk menyejahterakan rakyat. Sebaliknya justru semakin
menambah pungutan yang memeras keringat rakyat. Wallahu a'lam bi asshawwab.
0 Komentar