Tapera: Kebijakan Zalim, Tak Menjamin Terpenuhinya Kebutuhan Perumahan

 



Oleh: dr. Alik Munfaidah, Alumnus FK Universitas Brawijaya, Malang

 

Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2024 yang mewajibkan para pekerja untuk menjadi peserta Badan Pengelola (BP) Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) mengakibatkan pekerja dengan gaji di atas UMR akan dikenakan iuran sebesar 3% dari penghasilan mereka. Tapera merupakan simpanan berkala yang dilakukan oleh peserta dalam periode waktu tertentu yang hanya bisa digunakan untuk pembiayaan perumahan atau dikembalikan bersama dengan hasil investasinya setelah masa kepesertaan berakhir.

Tapera ini diklaim sebagai manuver pemerintah dalam menyelesaikan problem masyarakat Indonesia yang belum memiliki rumah. Setiap tahun ada sekitar 700 sampai 800.000 permintaan rumah, namun kemampuan pemintah dan swasta mensuplai rumah baru sekitar 400.000an. Terlebih, anggaran pemerintah untuk alokasi pengadaan rumah yang hanya sekitar 200.000 unit rata-rata per tahun sekitar Rp19 triliun dan pada tahun ini hanya sekitar Rp13 triliun. Bisa dikatakan kebijakan ini janji manis pemerintah kepada masyarakat agar bisa mewujudkan mimpinya untuk memiliki rumah.

Kebijakan Zalim

Pemotongan gaji untuk Tapera yang dilakukan setiap bulan tentu menambah panjang berbagai pungutan yang sifatnya wajib untuk dibayarkan para pekerja. Beberapa jenis potongan yang sudah berlangsung misalnya BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, Jaminan kecelakaan kerja, Jaminan pensiun, PPH 21 dan lain-lain yang jika diakumulasikan besarannya mencapai 11-12 %, belum lagi dengan kebijakan yang sudah ada berupa pengenaan PPN 11%, artinya total potongan pendapatan pekerja dan pegawai oleh pemerintah 23% dari gaji yang berhak diterima.

Hal tersebut menunjukkan bahwa pekerja dibebani dengan berbagai kewajiban finansial yang menyebabkan semakin kecilnya gaji yang bisa mereka bawa pulang untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya. Terlebih, Tapera ini dikenakan kepada seluruh pekerja, baik itu aparatur sipil negara (ASN) termasuk PNS, TNI/Polri, Pejabat Negara, Pekerja/buruh BUMN, BUMD, hingga karyawan swasta pun tak luput dari kewajiban pembayaran iuran yang harus disetorkan paling lambat tanggal 10 setiap bulannya, mulai 2027 mendatang. Setiap pekerja dengan usia paling rendah 20 tahun atau sudah kawin yang memiliki penghasilan paling sedikit sebesar upah minimum, wajib menjadi peserta Tapera, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 PP Tapera.

Dalam pandangan Islam, iuran Tapera yang harusnya hak milik secara sah para pekerja atas kompensasi jasa yang mereka keluarkan, telah dikebiri oleh pemerintah dikarenakan dalam perturan tersebut dinyatakan bahwa para peserta Tapera ini tidak dapat mengambil iuran yang dibayarkannya hingga kepesertaannya berakhir kecuali karena kondisi khusus sebagaimana yang disebutkan dalam peraturan semisal peserta meninggal dunia, telah pensiun, telah berusia 58 tahun atau tidak memenuhi lagi kriteria sebagai peserta selama 5 (lima) tahun berturut-turut. Padahal jika benar menggunakan prinsip tabungan, maka seharusnya dana iurannya bisa ditarik kapan saja ketika dibutuhkan.

Selain itu, kezaliman Tapera ini juga dikarenakan adanya sanksi bagi pekerja mandiri yang sudah menjadi peserta Tapera namun tidak membayar iurannya, meskipun hanya bersifat administratif. Sedangkan sanksi yang diancamkan kepada pemberi kerja yang tidak mendaftarkan pekerja menjadi peserta Tapera, maka akan mendapatkan sanksi administratif yang lebih beragam, baik dalam bentuk peringatan tertulis, denda administratif, memublikasikan ketidakpatuhan pemberi kerja, pembekuan izin usaha, dan/atau pencabutan izin usaha. Denda sebagai sanksi para pemberi kerja ini dikenakan sebesar 0,1% setiap bulan dari simpanan yang seharusnya dibayarkan dan yang dihitung sejak peringatan tertulis selama 10 hari pertama berlalu, diperpanjang 10 hari kedua berakhir, hingga jatuhlah sanksi denda.

Tidak Menjamin Terpenuhinya Kebutuhan Perumahan

Beberapa ahli ekonomi di antaranya peneliti senior INDEF, Didik J Rachbini menegaskan, tidak ada kepastian para peserta Tapera ini akan memiliki rumah yang mereka butuhkan. Bahkan ia menyatakan, kebijakan ini merupakan kesalahan fatal dari aspek legislasi prinsip manajemen keuangan manajemen. Pasalnya prinsip tabungan tapi dipraktikkan seperti asuransi wajib. Ia pun menjelaskan, isu yang diusung pemerintah adalah penyediaan rumah, padahal orang-orang yang menabung di Tapera belum tentu akan mendapatkan rumah karena pengumpulan dana ini dalam jangka yang relatif panjang dan kebijakan dalam bentuk pengumpulan dana masyarakat secara luas semacam ini berbahaya, sebagaimana kasus yang menimpa asuransi Bumi Putera, ASABRI, Jiwasraya dan lainnya.

Seperti yang dijanjikan, para peserta Tapera yang setiap bulan gajinya dipotong hanya mendapatkan bunga, itupun jika 30-40% dana yang terhimpun yang diinvestasikan dalam bentuk SUN dan lainnya mendapatkan keuntungan. Selebihnya yang digunakan untuk pembiayaan pengadaan rumah. Faktanya, pada masa krisis 2008 banyak perusahaan-perusahaan yang berbasis asuransi tabungan pekerja di Malaysia atau di Singapura yang  mengalami kerugian besar karena hampir semua returnnya di pasar modal negatif sehingga dana yang terhimpun terkuras. Sehingga memang tidak ada jaminan bahwa dana yang tersimpan akan aman di tengah kondisi ekonomi global yang masih belum terlepas dari krisis bahkan kecenderungannya makin memburuk.

Kebijakan zalim ini sejatinya merupakan buah dari penerapan sistem ekonomi kapitalis, karena terjadi liberalisasi ekonomi secara sistematis berupa pengalihan tanggung jawab negara kepada publik secara paksa melalui undang-undang, dikarenakan pemerintah kesulitan pendanaan, namun di lain sisi yang dilayani oleh penguasa adalah para korporat dan oligarki.

Tidak hanya itu, dengan kebijakan Tapera ini masyarakat diseret melakukan kemaksiatan karena terlibat model transaksi ribawi yang dijadikan skema pengelolaan dananya, padahal sudah jelas dalam Islam bahwa riba adalah salah satu kaba’ir (dosa besar).

Politik Ekonomi Islam Menyolusi Kebutuhan Rumah Rakyat

Namun lain halnya dengan Islam. Islam menetapkan rumah sebagai kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi oleh negara. Pasalnya, negara harus menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat akan perumahan yang aman, nyaman, dan syar’i.

Ada beberapa mekanisme yang akan dilaksanakan negara (Khilafah Islam), di antaranya, Islam telah menetapkan bahwa negaralah yang bertanggung jawab penuh untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pokok seluruh warganya. Mekanisme jaminan tersebut melalui beberapa tahap. Mulai dari mewajibkan laki-laki yang mampu untuk bekerja mencari nafkah agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya baik pangan, sandang maupun papan secara mandiri. Negara memfasilitasi mereka, dengan cara menciptakan lapangan pekerjaan, memberikan subsidi berupa lahan, peralatan, dan modal secara cuma-cuma hingga setiap individu rakyat terpenuhi seluruh kebutuhan primernya, bahkan memudahkan mereka melengkapi kebutuhan sekunder dan tersiernya.

Selanjutnya, jika individu tersebut belum mampu memenuhi sendiri kebutuhannya, maka kepala keluarga sebagai penanggung nafkah utama, kemudian ahli waris dan kerabatnya yang akan diperintahkan oleh khalifah untuk menyantuni mereka sebagaimana aturan (hukum) Islam dalam menyantuni makanan dan pakaiannya.  Sehingga yang tidak mampu untuk membeli, membangun, atau menyewa rumah sendiri, baik karena alasan pendapatan yang tidak mencukupi atau dikarenakan tidak mampu bekerja, akan beralih menjadi tanggungan bersama para ahli waris, dan kerabatnya.

Jika masih belum juga tercukupi kebutuhannya, barulah negara Khilafah dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah, termasuk dalam politik penyediaan perumahan, yang akan menyelesaikan problem tersebut. Sebagaimana dulu Rasulullah SAW telah mencontohkan, saat awal hijrah, beliau mengurus tempat tinggal kaum Muhajirin di Madinah karena mereka hijrah tanpa membawa harta sama sekali. Beliau sendiri yang menggariskan beberapa langkah dan menentukan beberapa distrik agar para Muhajirin dapat membangun rumah-rumah mereka. Para khalifah setelah beliau pun telah mengatur tata kota dengan sebaik baiknya, termasuk mengatur lahan perumahan.

Khilafah juga memastikan rumah yang dibangun haruslah layak huni, nyaman, dan syar’i. Islam telah mengajarkan agar setiap orang tua memisahkan tempat tidur anak laki-laki dan perempuan saat mereka menjelang usia baligh. Selain itu, ada pula perintah untuk meminta anggota keluarga mengetuk kamar orang tua saat ingin masuk pada tiga waktu, setelah isya, sebelum subuh, dan saat istirahat pada siang hari. Hal ini mengindikasikan bahwa rumah yang syar’i harus memiliki kamar untuk orang tua, anak laki-laki, dan anak perempuan, serta satu kamar khusus untuk tamu.

Selain itu, Khilafah juga harus memastikan bahwa harga rumah yang dibangun bisa dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Rumah sendiri merupakan kebutuhan pokok individu dengan skema jaminan pemenuhannya berdasarkan penanggung jawab nafkah. Fungsi negara dan sistem kehidupan Islam yang diterapkan mendukung penuh fungsi dan kewajiban individu tersebut.

Masyarakat dengan penghasilan rendah akan dibantu negara dengan skema subsidi, kredit tanpa bunga, dan lain-lain. Bahkan, negara bisa memberikan rumah kepada fakir miskin yang memang tidak mampu membeli rumah. Alhasil, setiap individu rakyat akan benar-benar merasakan jaminan pemenuhan kebutuhan perumahan.

Seluruh pembiayaan untuk tata kelola perumahan negara khilafah berasal dari Baitul mal. Saat kas negara kosong, sedangkan masih banyak rakyat yang tidak memiliki rumah, negara bisa menarik pajak dari orang kaya. Namun, pungutan seketika akan dihentikan begitu kebutuhan terpenuhi.

Khilafah juga akan memastikan semua sumber daya bagi pembangunan perumahan akan termanfaatkan secara maksimal bagi terwujudnya jaminan pemenuhan kebutuhan rumah setiap individu masyarakat. Tercatat dalam sejarah peradaban Islam, penyelenggaraan kemaslahatan publik Khilafah benar-benar berada di puncak kebaikan, tidak terkecuali pembangunan pemukiman penduduk dan perkotaan.

Dengan penerapan syariat Islam secara kaffah, maka khilafah akan terhindar dari kebijakan zalim yang menyebabkan penguasa secara sewenang-wenang memungut bahkan memalak rakyat, karena setiap sumber pemasukan dan penegeluaran harus dilandaskan pada dalil syar’iy. Tidak seperti saat ini, dengan dalih untuk memenuhi kebutuhan perumahan rakyat yang berpenghasilan rendah maka mewajibkan tabungan yang semestinya bersifat sukarela. Di sisi lain, menjerat masyarakat terlibat dengan aktivitas ribawi demi menghimpun dana, sementara melegalkan perampokan SDA melimpah untuk dikuasai swasta dan asing padahal hal itu diharamkan oleh syara’.[]

Posting Komentar

0 Komentar