Kurikulum Merdeka Menghapus Tiga Dosa Besar Pendidikan, antara Harapan dan Realita




#Reportase - Jum'at, 28 Juni 2024, Komunitas Guru Muslimah Inspiratif (KGMI) mengadakan seminar dengan tema "Dua Tahun Kurikulum Merdeka, Mampukah Menghapus Tiga Dosa Besar Pendidikan?" Berlokasi di Jakarta Pusat, seminar ini dihadiri sekitar 30 orang tokoh yang mayoritasnya adalah guru, dari tingkat PAUD hingga SMA.

Materi pertama disampaikan oleh Ibu Dina Faujiaty, S.Pd. "Kurikulum Merdeka Menghapus Tiga Dosa Besar Pendidikan, antara Harapan dan Realita", sebagai tema pengantar. Beliau memaparkan bagaimana Kurikulum Merdeka diharapkan jadi solusi untuk mengatasi tiga dosa besar pendidikan yakni perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi. Tiga dosa besar ini dianggap sebagai permasalahan dalam kualitas pendidikan di Indonesia. Pemerintah berupaya melakukan transformasi untuk menghadirkan iklim sekolah yang aman sebagai terobosan merdeka belajar yang diharapkan mampu mengatasi tiga masalah tersebut.

Selanjutnya, beliau mengajak peserta membaca realitas bahwa tercatat 202 anak di sekolah mengalami kekerasan seksual selama Januari-Mei 2023. 135 kasus kekerasan terjadi di sekolah sepanjang tahun 2023, 19 orang diantaranya meninggal dunia. Data dari KPAI, disebutkan terjadi 2355 kasus perundungan terhadap anak di sekolah sepanjang 2023. Beliau juga sampaikan data dari tahun ke tahun, yang justru kasusnya terus meningkat.

Pernyataan menarik bahwa sekolah sekarang ini ibarat mesin cuci, karena menurut beliau problem-problem di kalangan siswa bukan hanya disebabkan kerusakan di lingkungan sekolah, akan tetapi justru sekolah yang dituntut untuk dapat menyelesaikan permasalahan tersebut. Kecenderungan untuk melakukan kekerasan termasuk kekerasan seksual terbentuk dari mental generasi saat ini yang serapuh kertas. Sikap menghormati terhadap sesama teman bahkan orang tua yang semakin hilang justru lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan kondisi keluarga. Kondisi ekonomi yang semakin sulit membuat orang tua semakin sibuk bekerja, lalu menyerahkan sepenuhnya pendidikan putra-putri mereka kepada pihak sekolah. Lantas siapa yang mendampingi dan membina mereka di luar jam sekolah?  Di sisi lain, informasi dan hiburan dengan nilai-nilai liberal kian bebas memasuki ruang hidup siswa melalui gawai dan akses internet yang semakin mudah.

Karenanya, pemateri yang merupakan guru di tingkat SMP ini berpendapat bahwa permasalahan di dunia pendidikan merupakan permasalahan sistemik sementara perubahan kurikulum merupakan perbaikan parsial yang tidak akan relevan dalam menyelesaikan masalah tersebut.

Narasumber kedua, Ibu Hesty Noviastuty, M.Pd, menyatakan bahwa akar dari persoalan di dunia pendidikan adalah penerapan sistem kehidupan yang sekuler, liberal, dan kapitalistik. Agama disingkirkan dari kehidupan, norma agama dianggap tidak layak dipakai sebagai aturan kehidupan. Bahkan seorang guru bisa diajukan ke meja hijau karena menyuruh siswa untuk menjalankan shalat ataupun menutup aurat, karena dianggap melanggar hak kebebasan anak. Demikianlah liberalisme menjadi nilai yang dijunjung tinggi dalam kehidupan saat ini. Kurikulum sekolah pun didesain berdasarkan nilai materialistik-kapitalistik semata.

Sepakat dengan pemateri pertama, bahwa tiga dosa besar pendidikan merupakan problem sistemik, produk dari sistem kehidupan sekuler-liberal dan kapitalistik. Selama pendidikan dibangun dengan paradigma tersebut, mustahil bisa menghapus tiga dosa besar pendidikan.

Sebagaimana permasalahan pendidikan merupakan permasalahan sistemik, maka penyelesaiannya pun membutuhkan penyelesaian yang sistemik, integratif dengan seluruh bidang kehidupan. Narasumber menyatakan diperlukan tiga pilar dalam hal ini, yakni ketakwaan individu dan keluarga, kontrol masyarakat, dan peran negara dalam penerapan syariat Islam.

Ketakwaan individu dan keluarga dapat mendorong setiap pribadi untuk senantiasa terikat dengan aturan Islam secara keseluruhan. Pondasi ketakwaan individu yang disertai ketakwaan keluargalah yang akan menjadi benteng pencegah kemaksiatan. Kontrol masyarakat diperlukan untuk mencegah budaya permisif dan mencegah menjamurnya tindakan brutal dan dan kejahatan yang dilakukan anak-anak.  Pilar terakhir, peran negara dalam menjamin kehidupan yang aman dari berbagai kemungkinan rakyatnya untuk bermaksiat. Negara juga berperan untuk menghilangkan berbagai hal yang dapat merangsang tindakan maksiat seperti peredaran miras dan tayangan-tayangan yang merusak di televisi ataupun media sosial. Pemateri juga menyatakan bahwa negara wajib menyelenggarakan kurikulum yang mampu menghasilkan anak didik yang berkepribadian Islam.

Di sesi diskusi, undangan yang hadir menyadari realitas anak didik saat ini beserta ruang kehidupan semakin jauh dari Islam. Kurikulum pendidikan minus agama tidak akan dapat menghasilkan pribadi yang unggul, tangguh sekaligus berakhlak mulia, memicu perilaku rusak dan merusakan. Para undangan  juga menyepakati bahwa meraka sebagai pendidik berperan besar sekaligus bertanggung jawab untuk berkontribusi membina peserta didik agar berkepribadian Islam, sekalipun hari ini hal tersebut butuh effort yang sangat besar.

Menutup forum diskusi, kedua pembicara mengajak para guru untuk terus membina diri dengan Islam sebagai modal utama untuk membina peserta didik mereka dengan optimal.

Posting Komentar

0 Komentar