Mengulik Kebijakan Pengelolaan Tambang Ormas Keagamaan di Tanah Air

 



Dewi Purnasari

Aktivis Dakwah Politik


Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 mendapat banyak kritik dari berbagai pihak. Peraturan yang diberlakukan mulai 30 Mei 2024 ini memperbolehkan organisasi masyarakat (ormas) keagamaan memiliki izin mengelola tambang di tanah air. Tahun 2021, Jokowi memang pernah menjanjikan konsensi pertambangan mineral dan batubara kepada generasi muda Nahdlatul Ulama (NU). Lahirnya PP ini juga tidak terlepas dari campur tangan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia yang berkeras agar ormas keagamaan bisa memperoleh izin usaha pertambangan khusus. Dilansir dari Majalah Tempo, 14 April 2024.


Sebenarnya, substansi izin penambangan bagi ormas keagamaan ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Hal ini karena dalam UU tersebut Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) seharusnya diprioritaskan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), bukan kepada ormas keagamaan. Jika BUMN dan BUMD tidak berminat, barulah ditawarkan kepada pihak swasta lewat proses lelang. Bahkan jika mengacu pada UU Minerba, ormas keagamaan tidak termasuk pihak yang diprioritaskan mendapat penawaran. Jadi jelas, Jokowi membuat regulasi baru dengan menabrak UU sebelumnya.


Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai bahwa memberikan izin penambangan kepada ormas keagamaan dengan alasan pemerataan ekonomi sesungguhnya hanyalah dalih untuk mengobral konsesi demi menjinakkan ormas-ormas keagamaan. Pasalnya, pihak yang kompeten dan kredibel mengelola Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) tentu saja BUMN atau BUMD, bukan ormas keagamaan. Terlebih lagi dalam PP tersebut ormas keagamaan hanya bisa mendapat izin konsesi untuk komoditas batubara di wilayah bekas Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) saja. Namun, meski bekas PKP2B, tambang batubara tersebut masih besar hasilnya.

 

Bahaya di Balik PP Nomor 25 Tahun 2024

Sejatinya banyak masalah yang bisa terjadi jika PP Nomor 25 Tahun 2024 ini dijalankan di antaranya, ormas-ormas keagamaan sejatinya tidak mempunyai kemampuan untuk mengelola tambang. Skema yang memungkinkan untuk diterapkan adalah ormas hanya menjadi pemegang konsesi, sedangkan pengelola tambangnya adalah perusahaan operator. Ini berarti sama saja dengan para pemegang IUP yang pengelolaan tambangnya dikerjakan oleh perusahaan operator. Namun, dengan skema tersebut dikawatirkan perusahaan-perusahaan menjadi lebih mudah untuk masuk ke wilayah pertambangan khusus, yaitu melalui ormas keagaman, tanpa lewat proses lelang. 


Dikhawatirkan juga terjadinya perluasan area tambang yang tidak didasari oleh Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Sehingga semakin menambah dampak buruk bagi masyarakat dan lingkungan. Jadi, pengelolaan tambang oleh ormas keagamaan justru memperburuk tata kelola pertambangan dan pengelolaan tambang yang baik dan berkelanjutan. 


Kedua, ormas keagamaan dijadikan alat oleh perusahaan-perusahaan untuk mendapat izin tambang-tambang baru. Di lain sisi, ormas tidak mampu mengurangi apalagi menghapus kejahatan di industri ekstraktif. Industri ekstraktif adalah industri yang bahan bakunya didapat langsung dari alam, seperti industri hasil pertanian, perikanan, dan kehutanan. Kita ketahui bersama bahwa perusahaan-perusahaan kapitalis memang hanya mengutamakan keuntungan tanpa mempedulikan dampak buruk yang dihasilkan pada masyarakat dan alam.   


Ketiga, dapat memicu konflik horizontal antar ormas keagamaan dengan masyarakat adat. Masyarakat adat ini berhadapan dengan perusahaan yang dilindungi oleh aparat demi mempertahankan tanah yang telah lama mereka tempati ketika tanah mereka terkena konsesi tambang. Mereka harus terusir karena selama ini memang belum ada pengakuan negara atas tanah-tanah adat yang didiami. 


Keempat, korban konsesi pertambangan akan berhadapan dengan ormas keagamaan. Pada praktik ekstraksi pertambangan oleh perusahaan pertambangan hari ini, korbannya juga merupakan umat beragama dari ormas-ormas keagamaan. Contohnya, konflik lahan di Desa Wadas tahun 2019. Mayoritas warga yang terdampak Proyek Strategis Nasional (PSN) penambangan batu andesit tersebut adalah warga Nahdliyin (NU). Alhasil, ikut sertanya ormas keagamaan dalam pusaran konsesi tambang justru berpotensi membahayakan kerukunan antar umat beragama.


Kelima, ormas keagamaan bisa berpotensi menjadi pihak yang berkontribusi menghasilkan ketidakadilan. Kasus tambang emas di Trenggalek, Jawa Timur adalah contohnya. Pada Oktober 2022, ormas Muhammadiyah melayangkan surat penolakan mereka terhadap eksplorasi penambangan emas di Trenggalek kepada Presiden Joko Widodo. Namun, anehnya pada bulan Juli 2023 para petinggi Muhammadiyah justru menyambut kedatangan investor Cina dari Chenxi Chengetai Investments untuk menambang emas di Trenggalek.


Keenam, bagi-bagi konsesi tambang diprediksi menjadi alat untuk menjinakkan ormas-ormas keagamaan. Sehingga ormas keagamaan tidak peka terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak memihak rakyat. Bahkan lebih jauh kebijakan ini berpotensi membungkam sikap kritis ormas keagamaan terhadap kebijakan pemerintah. Sejatinya, ormas-ormas keagamaan harus berada di sisi umat dengan melakukan aktivitas untuk melahirkan kemaslahatan bagi umat. Seharusnya ormas keagamaan memang tidak berjalan bersama pemerintah, terutama jika kebijakan tersebut menyengsarakan rakyat.


Pengelolaan Tambang Menurut Islam

Menurut Islam tambang adalah harta milik umum. Harta milik umum adalah harta yang telah ditentukan kepemilikannya oleh Allah Swt. yaitu diperuntukkan menjadi milik bersama seluruh penduduk Daulah Islam terutama kaum muslim. Individu diperbolehkan mengambil manfaat dari harta milik umum ini, tetapi dilarang memilikinya secara pribadi. Pemerintah (Ulil Amri) wajib mengeksplorasinya, mengolahnya, dan mendistribusikannya kepada seluruh penduduk Daulah Islam. 


Dalilnya adalah hadis Rasulullah saw., “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, dalam air, padang rumput [gembalaan], dan api.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah). Dalam hal ini, tambang termasuk dalam api yang dimaksud hadis tersebut. Dalam Kitab al-Amwal, Syekh Abdul Qadim Zallum menjelaskan sebagaimana penjelasan Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Kitab an-Nidzamul al-Iqtishadiy fil Islam bahwa harta milik umum dibagi menjadi tiga kelompok, di antaranya adalah sumber daya alam (tambang) yang jumlahnya tidak terbatas.


Tambang yang hasilnya sangat banyak tidak boleh dimiliki oleh perorangan atau kelompok orang. Dilarang pula dieksploitasi oleh seseorang atau lembaga tertentu, baik sumber alam tersebut berada di permukaan bumi seperti tambang garam dan batu celak mata, ataupun berada di bawah permukaan tanah seperti emas, perak, minyak bumi, gas alam, besi, tembaga, timah, uranium, dan lain-lain.


Adapun dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Abidh bin Hamal al-Mazaniy, yang artinya, “Sesungguhnya dia bermaksud meminta (tambang) garam kepada Rasulullah saw., maka Rasul memberikannya. Ketika beliau memberikannya, berkata salah seorang laki-laki yang ada di dalam majelis, “Apakah engkau mengetahui apa yang telah engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya apa yang telah engkau berikan itu laksana (memberikan) air yang mengalir.” Akhirnya Nabi saw. bersabda, “(Kalau begitu) tarik kembali darinya.”


Tambang-tambang yang hasilnya sedikit boleh dimiliki oleh individu ataupun kelompok individu. Rasulullah saw. membolehkan Bilal bin Harits al-Mazaniy memiliki dan mengelola sumber tambang yang sudah ada sejak lama di wilayah Hijaz. Terkait hal ini, Bilal wajib membayar khumus (seperlima) dari hasil tambangnya, baik diekploitasi sedikit atau banyak dan disetorkan ke Baitul Mal. 


Pemanfaatan Harta Milik Umum dan Pendapatannya

Oleh sebab harta milik umum dan juga hasilnya merupakan milik seluruh kaum muslim, maka setiap individu rakyat berhak mendapatkan manfaat dari harta milik umum dan juga pendapatannya. Pemanfaatannya ada yang sangat mudah dimanfaatkan seperti air, padang rumput, jalan-jalan umum, air laut, danau, sungai atau kanal. Adapula yang pemanfaatannya harus melalui proses eksplorasi dan eksploitasi yang memerlukan sains dan biaya pengelolaan yang besar seperti minyak bumi, gas alam, dan barang tambang lain.


Pendapatan milik umum dikeluarkan untuk membangun gedung-gedung, perkantoran, biaya perawatan perangkat dan sistem-sistemnya, gaji para pegawai instansi, biaya sarana kesehatan dan rumah sakit, biaya untuk penelitian dan gaji penelitinya, untuk membangun perangkat eksplorasi dan eksploitasi barang tambang, pembangkit listrik dan perangkatnya, macam-macam kendaraan umum dan perawatannya, serta sarana umum dan perawatannya.


Di samping itu, hasil tambang juga harus didistribusikan kepada individu-individu rakyat dengan mekanisme yang diatur dalam kebijakan Ulil Amri. Pemimpin Daulah Islam harus membagikan air, listrik, minyak bumi, gas, dan segala sesuatu yang diperlukan oleh rakyat sehari-hari. Pendistribusiannya bisa dengan disalurkan langsung ke rumah-rumah warga, kantor-kantor, pasar-pasar, dan semua fasilitas umum tanpa perlu membayar.


Boleh juga Ulil Amri menjual harta milik umum ini kepada rakyat dengan harga yang sangat murah. Kemudian juga boleh membagikan uang hasil keuntungan penjualan harta milik umum itu kepada rakyat. Semua kebijakan Ulil Amri tersebut dipilih dan diupayakan dalam rangka mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan bagi seluruh rakyat Daulah Islam.


Demikian sekelumit gambaran pengelolaan tambang menurut Islam. Tampak jelas sekali perbedaan cara pengelolaan tambang menurut sistem Kapitalisme dalam bingkai negara demokrasi dengan cara menurut Islam dalam bingkai Daulah Islam. Perbedaannya mulai dari akarnya hingga ke daunnya. Mulai dari pandangan ideologinya hingga hasil akhirnya. Seharusnya, para petinggi ormas Islam memahami hal ini. Sehingga tidak tergiur tawaran yang dilarang oleh Allah Swt. dan Rasul-Nya untuk mengelola harta milik umum berupa tambang batubara.[]

Posting Komentar

0 Komentar