Karina Fitriani Fatimah
(Alumnus of master degree of applied
computer science, Albert-Ludwigs- Universität Freiburg, Germany)
#Telaah Utama- Bertepatan dengan Hari Anak
Nasional yang diperingati pada 23 Juli lalu, sebanyak 1.138 anak binaan
menerima pengurangan masa pidana. Pengurangan masa pidana Hari Anak Nasional I
(pengurangan sebagian) diberikan kepada 1.105 anak dan 33 anak lainnya
mendapatkan pengurangan masa pidana Hari Anak Nasional II (langsung bebas).
Besaran pengurangan masa pidana anak binaan pun bervariasi, mulai dari satu
hingga enam bulan (tribunnews.com, 23/07/24).
Dalam hal ini Menkumham, Yasonna H. Laoly
menjelaskan pengurangan masa pidana ini adalah bentuk penghargaan yang
diberikan oleh negara kepada anak binaan yang terus berbuat baik dan
memperbaiki diri selama masa tahanan mereka. Hal ini dapat terlihat dari
bagaimana mereka telah mematuhi peraturan dan mengikuti program pembinaan
dengan baik. Di sisi lain, pengurangan masa pidana pada Hari Anak Nasional
tersebut diklaim membantu negara menghemat biaya makan anak binaan hingga
sebesar Rp826.710.000.
Miris memang! Karena realitanya anak-anak
yang menjadi pelaku kejahatan terus meningkat dari tahun ke tahun dan terjadi
di berbagai wilayah Indonesia. Kasus di mana anak sebagai pelaku kejahatan
tidak lagi kasuistik, tetapi menjadi fenomena 'lumrah' yang menunjukkan betapa
rusaknya anak-anak Indonesia. Padahal pemberitaan yang selama ini beredar
hanyalah fenomena gunung es, karena hakikatnya tidak semua kasus yang terjadi
dilaporkan. Dari sini kita melihat adanya problem serius, baik pada keluarga,
lingkungan, ataupun negara yang kemudian menyebabkan rusaknya anak-anak negeri
ini yang ironisnya menjadi pelaku kejahatan.
Terekam dalam catatan Kemen PPPA
(Kementrian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak) berturut-turut sejak 2019-2022,
kejahatan dan kekerasan anak, yakni sebanyak 11.057, 11.278, 14.517, dan 16.106
kasus. Bentuk kejahatan yang dilakukan pun beragam dari mulai tawuran,
pencurian, jambret, hingga pembunuhan, bahkan ada pula kasus kekerasan seksual.
Untuk kasus kekerasan seksual, pelaku paling banyak terlaporkan adalah teman
atau sebaya korban sendiri dengan rentang usia 13-17 tahun (47-73%). Lihatlah
betapa mirisnya kondisi anak negeri, padahal kejahatan seksual pada anak adalah
kejahatan luar biasa.
Kerusakan moral anak sesungguhnya adalah
permasalahan pelik layaknya lingkaran setan yang akan sangat sulit diurai tanpa
solusi yang tepat. Dimulai dari rusaknya entitas keluarga yang tidak lain
adalah lingkungan terdekat anak. Keluarga terutama ibu yang sepatutnya menjadi
sekolah pertama anak dalam pelajaran moral dan akidah justru tidak berjalan
secara optimal. Pasalnya tidak jarang kini ditemukan para ibu yang tidak dapat
menjalankan peran fitrahnya sebagai ummu warabbatul bait. Fenomena
maraknya ibu bekerja, baik karena arus kesetaraan gender maupun keterpaksaan
karena kemiskinan menjadi salah satu dari sekian banyak terbatasnya peran ibu
dalam pendidikan anak di rumah. Selain itu tingginya angka perceraian di
Indonesia juga berpengaruh terhadap rapuhnya kepribadian anak.
Di sisi lain, lingkungan sekitar anak yang
tidak didasari nilai-nilai akidah dalam setiap interaksi anggota masyarakat
menjadikan anak terkaburkan dari sistem sosial Islam. Anak pun kian sulit
mendapat contoh yang berkesesuaian dengan nilai-nilai Islam dan
mencampuradukkan nilai-nilai Barat nan kufur dalam kehidupan mereka. Jadilah
kehidupan seks bebas, hedonisme, materialisme, hingga permisifisme begitu
kental dengan generasi muda negeri ini.
Tidak hanya entitas keluarga dan masyarakat
yang memberi pengaruh besar bagi maraknya kejahatan anak, tetapi juga minimnya
peran penguasa dalam filterisasi informasi yang beredar di dunia maya. Kian
mudahnya anak mengakses informasi via internet justru membuka lebar-lebar
kemungkinan mereka terpapar konten-konten bermuatan pornografi, pornoaksi,
hingga berbagai konten brutal nan keji termasuk banyak video games yang pada
akhirnya mematikan empati anak. Pengaruh internet pun kian terasa dalam
keseharian anak yang menjadikan mereka terdorong untuk menjalani gaya hidup
flexing sekalipun harus terjerat pinjol, judol bahkan tidak sedikit yang pada
akhirnya melakukan tindakan kriminal ekstrim seperti pembegalan, perampokan,
atau pembunuhan.
Akar masalah rusaknya moral anak negeri
yang begitu memprihatinkan sesungguhnya berawal dari penerapan sistem sekuler
di negeri ini yang kemudian memisahkan peran agama dari kehidupan. Hal ini
menjadikan nilai benar-salah tidak lagi berlandaskan akidah. Asas ini
selanjutnya melahirkan paham liberal yang mengagung-agungkan ide-ide kebebasan
yakni kebebasan berakidah, berpendapat, berkepemilikan, dan bertingkah laku.
Paham liberal inilah yang semakin memarjinalkan aturan-aturan agama dan
menjadikan hawa nafsu sebagai standar kebenaran di tengah-tengah umat.
Celakanya, sekolah yang seharusnya
bertindak sebagai institusi pendidikan justru gagal mencetak anak-anak generasi
emas yang memiliki kepribadian kuat. Banyak dari mereka yang justru menjadi
generasi strawberry yang dibayangi mental illness (gangguan
mental/jiwa). Kurikulum yang diterapkan di dalam sistem kapitalisme negeri ini
hanya mampu mencetak anak-anak 'pintar' yang pandai berhitung dan menghafal
tetapi minim adab dan empati. Hal semacam ini wajar saja terjadi karena memang
di dalam sistem pendidikan kapitalistik, anak-anak negeri difokuskan
pendidikannya untuk menjadi para pekerja di dalam industri yang mampu
menghasilkan cuan bagi kaum borjuis. Sedangkan nilai-nilai Islam tidak banyak
diperhitungkan dan bahkan disepelekan.
Dari sini terlihat jelas bahwa maraknya
kejahatan anak adalah buah dari penerapan sistem kapitalisme-sekuler-liberal
yang rusak dan merusak, menggiring manusia pada keburukan dan kenestapaan tanpa
pandang bulu. Menekan angka kejahatan anak pun tidak bisa hanya dengan
memberikan pidana kurungan yang nantinya bisa diremisi sewaktu-waktu oleh
penguasa dengan dalih pengurangan biaya makan tahanan. Karena sesungguhnya yang
dibutuhkan negeri ini adalah sistem Islam yang secara menyeluruh menjamin
penanaman akidah Islam baik di ruang lingkup keluarga, sektor pendidikan,
masyarakat, hingga bernegara. Ditambah dengan sistem sanksi yang tegas sesuai
dengan hukum-hukum Allah, yang diberlakukan bagi setiap mukalaf yakni orang
yang berakal sehat, baligh dan punya daya pilih meski berusia di bawah 18 tahun.
Oleh karenanya diperlukan peran negara
dalam mewujudkan kehidupan Islam kafah di tengah-tengah umat dengan
mencampakkan sistem rusak kapitalisme-sekuler-liberal, dan bersegera
menggantinya dengan sistem Islam. Negara pun harus berperan aktif dalam membentengi
masyarakat dari masuknya pemikiran-pemikiran busuk yang banyak ditemui di dunia
maya. Selain itu, sistem sanksi Islam yang tegas dan menjerakan akan menjadi
benteng pertahanan umat dalam mencegah dirinya dari perbuatan maksiat dan
kemaksiatan. Dan semua itu hanya akan terwujud dalam negara yang menjalankan
sistem Islam kafah dalam wadah Khilafah Islamiyah yang sesuai dengan manhaj
kenabian. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
0 Komentar