MinyaKita: Milik Kita?




Aisyah Nurul Afyna 

Mahasiswa Universitas Gunadarma


Kenaikan harga MinyaKita telah mengundang pertanyaan besar di kalangan masyarakat. MinyaKita, benarkah milik kita? Pasalnya, MinyaKita, yang dirancang menjadi solusi minyak goreng yang berkualitas dan terjangkau bagi rakyat, kini harganya semakin melambung tinggi. Kondisi ini terasa ironis, mengingat Indonesia merupakan produsen sawit terbesar di dunia, menurut data United States Department of Agriculture (USDA). Lantas, mengapa harga minyak goreng domestik justru terus meroket?

Laporan dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyebutkan bahwa kenaikan harga eceran tertinggi (HET) MinyaKita dari Rp14.000 menjadi Rp15.700 per liter merupakan langkah yang tidak masuk akal. Bahkan di pasar tradisional, harga minyak ini bisa menembus angka Rp16.000. Kenaikan ini jelas membebani masyarakat yang telah terbiasa mendapatkan minyak goreng dengan harga terjangkau. 

Ternyata, usulan kenaikan HET untuk MinyaKita datang dari Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan. Dikutip dari CNBC Indonesia (19/7/2024), Zulkifli beralasan bahwa penyesuaian harga minyak goreng tersebut diperlukan karena nilai tukar rupiah telah merosot hingga Rp16.344. "Sebelumnya, Rupiah berada di kisaran 14.500 per Dolar AS, sekarang sudah mencapai Rp16.000. Kalau tidak disesuaikan, khawatir angka ekspornya akan berbeda jauh, dan kita bisa kewalahan," ujarnya saat ditemui di Kementerian Perdagangan, Jakarta Pusat, Rabu, 18 Juni 2024.

Kebijakan ini menuai kritik dari Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, yang menilai tidak masuk akal bagi Indonesia sebagai eksportir minyak sawit mentah (CPO) untuk mengalami kenaikan harga minyak goreng. "Tidak masuk akal jika kita memiliki banyak CPO, tetapi harga minyak goreng justru naik," katanya saat dihubungi Tempo pada Sabtu, 20 Juli 2024.

Menurut laporan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), stok awal CPO pada Januari 2024 mencapai 3,146 juta ton. Dari jumlah tersebut, konsumsi dalam negeri sebesar 1,942 juta ton, sementara ekspor mencapai 2,802 juta ton. Tulus berpendapat bahwa situasinya akan berbeda jika Indonesia adalah importir CPO. Dalam hal itu, kenaikan harga minyak goreng karena faktor internasional dan nilai kurs mata uang akan menjadi rasional.


Peneliti dari Center of Reform on Economics (CORE), Eliza Mardian, menyatakan bahwa kenaikan HET MinyaKita lebih disebabkan oleh masalah distribusi. Menurutnya, distribusi minyak goreng rakyat ini lebih banyak dilakukan oleh pihak swasta daripada BUMN pangan. "Kalau kita telaah, penyebab kenaikan HET minyak goreng lebih banyak karena distribusi, bukan produksi," katanya saat dihubungi Tempo pada Selasa, 18 Juni 2024.

Berdasarkan berbagai pernyataan tersebut, penyebab utama kenaikan harga MinyaKita adalah masalah distribusi, yang lebih banyak dilakukan oleh pihak swasta dibandingkan dengan BUMN pangan. Hal ini merupakan dampak dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang mendominasi tata kelola distribusi sawit di Indonesia, dan perusahaan-perusahaan besar menguasai distribusi minyak goreng dan memperpanjang rantai distribusi, sehingga meningkatkan biaya dan menyebabkan harga minyak goreng di tingkat konsumen semakin mahal.

Sistem ekonomi kapitalisme sering kali menempatkan keuntungan di atas kepentingan publik. Dalam kasus MinyaKita, perusahaan besar lebih fokus pada profit maksimal ketimbang memastikan kebutuhan pokok rakyat terpenuhi. Kondisi ini menunjukkan perlunya penataan ulang kebijakan ekonomi agar lebih berpihak kepada rakyat.

Lain halnya dengan Islam. Islam memandang bahwa pemenuhan kebutuhan pokok, termasuk minyak goreng, adalah tanggung jawab negara. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surah al-Baqarah ayat 29 yang artinya, "Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu..." 

Ayat di atas mengingatkan bahwa segala sumber daya alam, termasuk sawit, seharusnya dikelola untuk kemaslahatan umat manusia. Dalam sistem ekonomi Islam, negara berperan aktif dalam memastikan distribusi dan pengelolaan sumber daya dilakukan secara adil dan merata. Mekanisme ini bertujuan agar setiap individu dapat memenuhi kebutuhannya tanpa harus dibebani harga yang tidak wajar. Penerapan sistem ini dapat menjadikan minyak goreng lebih mudah diakses oleh semua lapisan masyarakat.

Dengan mengadopsi sistem ekonomi Islam, negara dapat menjadi pengendali utama dalam distribusi kebutuhan pokok, termasuk minyak goreng. Hal ini akan membantu menstabilkan harga dan memastikan bahwa minyak goreng tersedia dengan harga yang lebih terjangkau bagi masyarakat. Sistem ini mendorong distribusi yang adil dan menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya. Secara keseluruhan, penerapan sistem ekonomi Islam akan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Negara bertindak sebagai pelindung dan pengendali utama dalam memenuhi kebutuhan pokok, memastikan bahwa setiap individu mendapatkan akses yang adil terhadap sumber daya. Ini bukan hanya tentang harga, tetapi tentang kesejahteraan yang merata.

Kesejahteraan rakyat adalah tanggung jawab utama dari setiap pemerintah. Dengan meninjau kembali kebijakan ekonomi dan mempertimbangkan penerapan prinsip-prinsip ekonomi Islam, diharapkan kebutuhan pokok rakyat dapat terpenuhi dengan lebih baik dan adil. MinyaKita harus benar-benar menjadi milik kita, bukan sekadar alat untuk keuntungan segelintir pihak.

Posting Komentar

0 Komentar