Deflasi dan Kesejahteraan yang Terabaikan: Indonesia Tidak Baik-baik Saja

 



#Suara Muslimah - Deflasi menjadi isu yang sangat hangat di media massa beberapa pekan ini. Banyak kalangan menengah jatuh miskin karena deflasi membayangi negeri ini. Apa itu deflasi, apa pengaruhnya dalam kehidupan kita, dan bagaimana menyikapinya? 


Wawancara kami dengan narasumber Suara Muslimah, seorang pakar ekonomi, Ibu Dr. Ira Geraldina, SE., Ak., M.S.Ak., CA., akan menjawabnya untuk pembaca Muslimah Jakarta, berikut ini.


MJ: Masyarakat awam memahami deflasi itu lawannya inflasi. Apa sebenarnya deflasi    itu, Bu?

Tokoh: Deflasi secara umum adalah penurunan. Inflasi adalah kenaikan barang dan jasa, maka deflasi adalah penurunan barang dan jasa. Inflasi atau kenaikan harga biasanya membuat masyarakat menjerit karena melihat harga barang dan jasa menjadi mahal. Berbeda dengan deflasi, karena harga turun, seolah-olah good news. Misal, harga komoditas beras dan cabai turun. Sekilas dari penurunan harga komoditas tersebut, seolah-olah harga bisa terjangkau oleh masyarakat luas. Namun, sebenarnya dengan deflasi yang terus-menerus selama 4 bulan terjadi karena komoditas sembako dan transportasi, info media seperti itu, tentu banyak faktor yang menyebabkannya.


MJ: Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan deflasi?

Tokoh: Penyebab deflasi ini banyak, salah satunya karena: (1) Peredaran uang yang sedang menurun; (2) Permintaan (barang/jasa) yang sedang menurun; (3) Ketersediaan produk komoditas yang sedang meningkat atau kebijakan moneter yang ketat. Kita belum tahu penyebab deflasi yang sekarang terjadi di Indonesia ini apa. Misal, karena peredaran uang yang sedang menurun berarti aktivitas ekonomi sedang lesu. Ini sebenarnya bisa dicek dengan data, apakah ada penurunan peredaran uang atau tidak. 


MJ: Mengapa faktor-faktor itu menyebabkan penurunan daya beli masyarakat?

Tokoh: Penyebab ini tentu berkaitan dengan daya beli. Saya sebagai ibu rumah tangga, misalnya, tentu akan menahan diri dari membeli komoditas tertentu, kecuali sangat dibutuhkan. Ini juga terlihat dari kecilnya investasi dan pembelian barang-barang tersier.

Kita ketahui bersama bahwa saat ini pemerintah sedang men-support, bahkan memberi subsidi pembelian mobil listrik. Targetnya untuk mengenjot penjualan mobil listrik, sedangkan daya beli masyarakat menurun. Masyarakat sedang menahan diri, ini bisa disebabkan oleh banyak hal. 

Deflasi sendiri ini terjadi secara global, sepertinya Indonesia sudah terkena dampaknya. Impact dari perekonomian global yang belum stabil. Pascapemilihan politik global, perang Ukraina beberapa waktu lalu, ditambah ketegangan di Palestina, boikot, Pilpres di AS. Bahkan, ribuan akuntan publik di negara Big Four mengalami PHK besar-besaran, ini berarti permintaan terhadap jasa konsultasi, jasa audit, dari profesi ini demand-nya tidak ada. PHK ribuan orang di Big Four tidak pernah terjadi kecuali saat ini. Itu menunjukkan bahwa tidak hanya komoditas barang, tapi juga jasa mengalami penurunan. 

Kita bisa melihat bahwa secara global perekonomian Indonesia sendiri memang belum ‘sembuh’ dari keterpurukan ekonomi pasca-Covid, diikuti oleh geopolitik yang tak menentu, membuat dampak ekonomi terasa. Pertumbuhan ekonomi biasa saja, tidak ada yang melonjak, stuck.

Nah, di situlah terjadi penurunan daya beli karena peredaran uang menurun, sehingga masyarakat menahan diri dari membeli sesuatu yang tidak penting. Kita juga melihat, harga emas yang melambung tinggi, meroket, karena banyak yang menabung emas. Ekonomi melemah karena investasi menjadi menurun, disebabkan banyak yang menabung dalam bentuk emas. Saat masa krisis, investasi emas memang pilihan tepat. 

Untuk kebijakan moneter yang ketat, kita perlu memeriksa dulu, apakah memang ada kebijakan moneter yang ketat.


MJ: Faktor lokal itu, apa ada Bu?

Tokoh: Saya sendiri belum meneliti fakta lebih dalam apa saja faktor lokal itu. Namun, kita sedang dalam masa transisi pemerintahan. Masa menunggu, termasuk industri, investor, dan masyarakat sedang menunggu-nunggu, jangan-jangan ada kebijakan apa. Saya pernah melakukan diskusi dengan para analis keuangan atau fund manager bahwa mereka masih menunggu kebijakan yang hadir itu nanti kondusif atau tidak untuk investasi. 


MJ: Ketika kondisinya seperti itu, yang paling kena imbasnya, paling terpukul secara langsung masyarakat dengan kriteria seperti apa?

Tokoh: Masyarakat kelas menengah, sudah pasti itu. Masyarakat bawah sudah pasti susah karena saat kondisi perekonomian normal saja, mereka sulit, tidak bisa bergerak. Berbeda dengan kondisi masyarakat menengah, mereka punya keluasaan sedikit untuk bersenang-senang, melakukan hiburan begitu ya, jadi menahan diri. 

Sesungguhnya, yang menopang perekonomian kita itu adalah kelas menengah. Jika kelas menengah itu terkoreksi, maka akan mengoreksi yang lainnya, ada kebijakan yang mengganggu spending mereka. Kondisinya memang spending masyarakat itu cukup besar.

Masyarakat menengah itu berada di tengah-tengah. Tidak terlalu kaya, pas-pas pun tidak. Mereka memiliki elastisitas tinggi, ketika ada shock, akan goyang. Misal karena potongan-potongan dana Tapera, pensiun, PPN naik, menghabiskan dana mereka, yang terdampak pun menjadi banyak.


MJ: Kondisi seperti itu, masukkan apa yang harus dilakukan, biasanya pemerintah melakukan apa?

Tokoh: Secara makro biasanya pemerintah memberikan insentif dalam aspek fiskal dan moneternya. Aspek fiskal salah satunya memberikan bansos, keringanan pajak yang seharusnya, karena selama ini hanya diberikan untuk industri, bukan untuk masyarakat. Pajak itu banyak macam, seperti PPN, PBB, PPH. Perhitungan PPH terbaru itu ber-impact cukup besar terhadap penghasilan masyarakat menengah.

Seharusnya ada insentif pajak, bukan untuk industri saja seperti pada industri otomotif yang mengembangkan mobil listrik. Sejatinya tidak perlu mengurangi subsidi masyarakat. Terlihat jika seperti ini, kebijakan penguasa memihak kepada siapa? 


MJ: Penguasa tidak melakukan hal-hal tersebut, apakah karena kondisi keuangan negara yang tidak mampu melakukan itu, Bu?

Tokoh: Ya, bisa jadi. Banyak faktor. Jika kita melihat APBN terakhir, Indonesia sudah banyak spending di infrastruktur dan membayar beban bunga utang luar negeri. Salah satu beban yang akan ditanggung pemerintahan baru adalah utang lama. Ditambah program makan siang gratis yang masih belum jelas dananya dari mana. Untuk program yang biasa saja kelabakan, apalagi dana untuk program-program strategis. IKN saja mengandalkan investor. 


MJ: Solusi dari Ibu, untuk deflasi ini seperti apa?

Tokoh: Solusi jangka pendek, seperti insentif tadi ya. Namun, itu bukan solusi jangka panjang, karena hal itu tidak menyelesaikan masalah keakar-akarnya. Nanti akan terbentur pada dana, karena pendapatan utama negara adalah pajak, bukan yang lain. 

Jadi, memang butuh kita tawarkan solusi alternatif. Ketika sumber utama pendapatan negara itu bukan dari pajak, pelaku ekonomi utama juga bukan swasta. Jika swasta seperti saat ini, saat situasi tidak kondusif akan menahan diri, tidak melakukan spending. Berbeda jika pelaku ekonomi utamanya negara, akan melayani, kembali kepada masyarakat. Jadi memang perlu ada perubahan paradigma adopsi sistem ekonomi baru (alternatif), untuk solusi jangka panjang.[]

Posting Komentar

0 Komentar