Demokrasi Rusak: Islam Solusinya



#CatatanRedaksi - Kondisi demokrasi hari ini terus menjadi sorotan, mulai dari tingkah parpol yang loncat sana-sini tidak mau rugi untuk sebuah keuntungan koalisi, bahkan jegal-menjegal demi sebuah kursi. Apalagi tingkah politisinya yang tidak kalah lucu dan aneh. Sama saja, ketika mereka masih berkuasa ataupun yang akan berkuasa. Simak saja polemik “fufufafa” yang terus menggelinding bahkan semakin memanas jelang pelantikan Oktober mendatang.


Dilansir dari BBCnewsIndonesia.com (17/9/2024), Gibran membantah kepemilikan akun Fufufafa dengan mengatakan, "Ya, tanya yang punya akun. Kok ke saya?" Dalam perkembangan lainnya, Ketua Harian Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, mengatakan, "Pak Prabowo tidak terlalu pusing-pusing yang begitu." Begitu pula, Ormas ProJokowi (Projo) yang menilai isu ini sebagai 'gendang pecah belah'.


Bahkan, seorang pakar komunikasi politik melihat perbincangan warganet soal akun “Fufufafa” bisa berpotensi mengakselerasi keretakan hubungan Prabowo-Jokowi. Malahan, dia menduga hubungan keduanya dapat berlangsung ibarat panggung sandiwara. Artinya, antara yang ditampilkan ke publik berbeda dari apa yang terjadi di balik layar.


Di tempat lain, media pemantau media sosial berbasis kecerdasan buatan, Drone Emprit, menilai bahwa polemik ini dapat merusak reputasi dan citra publik Gibran, polarisasi pendukung, hingga krisis kepercayaan publik terhadap kepemimpinan. Sementara kaitannya dengan kasus anak 'Raja Jawa' ketika pergi ke AS naik jet pribadi yang sempat viral beberapa waktu lalu juga masuk babak baru, setelah sebelumnya Menhub Budi Arie menyampaikan karena Erina Gudono (Istri Kaesang-pen) hamil jadi tidak boleh naik angkutan umum (CNNIndonesia.com, 11/9/2024).


Banyak statement yang lucu dan mengundang gelak tawa seantero nusantara. Di  antaranya, “Sepertinya di negeri ini yang hamil hanya dia, bagaimana nasib rakyat kecil di desa yang harus ditandu ketika hamil tua dan melahirkan karena tidak ada fasilitas ambulans dan jalan yang kurang memadai.” Bahkan ada komentar juga, “Karena dia menantu presiden, coba kalau dia rakyat jelata.” Pascamenghilang sementara, Kaesang pun mendatangi KPK dan menyampaikan pengakuan bahwa dia naik jet pribadi karena nebeng punya temannya.


Berkembang isu liar dugaan gratifikasi terkait jet pribadi tersebut. Dengan isu yang santer itu, rakyat berharap KPK tidak 'ompong' lagi untuk menangani kasus yang menimpa orang nomor satu di negeri ini. Koordinator Divisi Korupsi Politik, Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, juga menganggap dugaan gratifikasi itu seharusnya bisa membuka pintu ke perkara lebih besar, seperti kasus yang pernah heboh sebelumnya. Ia merujuk pada kasus korupsi eks pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Rafael Alun Trisambodo, yang bermula dari penelusuran terhadap gaya hidup mewah anaknya, Mario Dandy Satriyo. “Poinnya adalah KPK sebetulnya bisa menelusuri secara mandiri apa yang sedang ramai dibicarakan di publik,” ucap Egi (bbc.com, 20/9/2024).


Jadi, apakah KPK masih punya taji untuk mengusut semuanya, ataukah menguap begitu saja seperti yang sudah-sudah? waktulah yang berbicara. Sebenarnya, jika kita teliti semua kejadian yang dipertontonkan di atas tadi, semakin menambah bukti deretan panjang absurdnya demokrasi di negeri ini. Tahun 2024 sebagai tahun politik dengan laga pilpres dan pilkada serentak yang akan digelar beberapa bulan mendatang seolah membuka mata siapa pun yang mau berpikir. Akrobat politik yang tidak terduga, peringatan darurat karena usaha sabotase perundang-undangan dan hukum demi kepentingan satu keluarga yang berkuasa, seolah sudah biasa ditayangkan secara live di depan publik. Aneka kejadian yang terjadi mengarah kepada keharusan tunduk atas titah sang 'Raja Jawa'. Akhirnya, demokrasi akan bergeser menjadi sebuah otoritarianisme, bahkan tangan besi dengan tameng sang raja dan kroninya.


Francis Fukuyama yang terkenal dengan bukunya The End of History di tahun 1992, kembali diwawancarai oleh Internationale Politics quarterly.com (29/4/2024). Menyikapi kembalinya Donald Trump masuk ke pemilihan Presiden di AS. Artikel yang berjudul “Pemerintahan Otoriter yang Kuat Sedang Bangkit” menunjukkan demokrasi AS saat ini telah berubah secara dramatis selama 30 tahun terakhir. Kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih tidak dapat dikesampingkan. Trump telah bermain-main dengan gagasan menjadi seorang diktator, meskipun hanya selama sehari. Ia mengagumi orang-orang kuat di seluruh dunia yang berkuasa seumur hidup.


Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pascakembalinya Trump dalam Pilpres AS sebagai kandidat dari Partai Republik menyampaikan secara jelas bahwa Trump mengatakan Vladimir Putin, Kim Jong Un, Xi Jinping, dan Viktor Orban berada di puncak karier mereka, suka atau tidak (Washingtonpost.com, 24/5/2024). Seperti ada sinyalemen di awal kekuasaannya dia mau menerapkan otoritarianisme atas kepemimpinannya.


Jadi, diakui atau tidak fakta hari ini membuktikan bahwa demokrasi yang katanya kepemimpinan ideal, menampung aspirasi rakyat ternyata bergeser menjadi diktator meskipun dia mengatakan hanya diawal kekuasaannya. AS sebagai kampium demokrasi yang menjajakan dan mengontrol pelaksanaan demokrasi di dunia termasuk Indonesia ternyata tidak konsisten juga.


Sesungguhnya, hal ini tidak mengherankan terjadi karena elastisitas demokrasi bisa mudah berubah sesuai kepentingan pihak yang berkuasa atau bahkan pihak yang bermodal besar. Itu pula potret yang terjadi di negeri ini. 


Dengan demikian, apa lagi yang mau dipertahankan jika sistem flexible ini justru lebih banyak menguntungkan segelintir elite kekuasaan dan merugikan rakyat secara umum. Tidak inginkah umat Islam yang mayoritas di negeri ini terlepas dari jebakan demokrasi yang rusak dan merusak?


Umat Islam sejatinya tidak membutuhkan aturan ala demokrasi, muncul dari ideologi sekuler yang bertentangan dengan Islam. Islam sudah sempurna mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, bahkan hanya Islam yang telah mempunyai peradaban gemilang selama 13 abad dan telah memimpin 2/3 dunia. Sungguh janji Allah Swt. dan Rasulullah saw. bahwa peradaban itu akan kembali lagi di akhir zaman. Allah berfirman yang artinya, "Dan Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh, Dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridai.” (QS an-Nur: 55)


Kemudian kabar gembira Rasulullah saw. setelah periode mulkan jabariyyan (kekuasaan yang diktator),


«… ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً، فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ نُبُوَّةٍ»


Kemudian akan ada kekuasaan yang diktator, ia akan ada dengan kehendak Allah akan tetap ada. Kemudian, Allah mengangkatnya, jika Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah berdasarkan metode kenabian.” (HR Ahmad)


Akankah kita menjadi bagian yang memperjuangkannya dengan kepala tegak, menyambut kemenangan gemilang itu untuk kedua kalinya? Ataukah malah sebaliknya, menjadi penentangnya. Pilihan itu ada di tangan kita. Wallahu a'lam bi asshawwab.



Hanin Syahidah, S.Pd.


Posting Komentar

0 Komentar